Ekonomi berbiaya tinggi akibat korupsi merupakan kendala utama investasi dan iklim usaha. Hal ini tak bisa hanya dijawab lewat kemudahan berusaha dalam UU Cipta Kerja.
Oleh
Agnes Theodora/Karina Isna Irawan
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang peraturan turunannya akan disahkan lima hari lagi disebut-sebut pemerintah sebagai penentu pemulihan dan transformasi ekonomi saat pandemi. Namun, pemulihan yang dinantikan itu akan menghadapi tantangan besar seiring dengan korupsi yang semakin menjadi-jadi di dalam negeri.
Ekonom senior Institute for Development on Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, Kamis (28/1/2021), mengatakan, persoalan utama yang menjadi kendala investasi dan iklim usaha di Indonesia adalah ekonomi berbiaya tinggi yang disebabkan praktik korupsi yang merajalela. Masalah utama ini tidak bisa serta-merta dijawab lewat penyederhanaan proses perizinan berusaha sebagaimana tujuan UU Cipta Kerja.
Letak sumber persoalan bukan hanya di regulasi, melainkan berbagai faktor di lapangan, seperti birokrasi, indeks logistik yang mahal, masalah infrastruktur, teknologi, serta mental dan kualitas sumber daya manusia.
”Jangan lupa, kendala utama investasi adalah korupsi, sementara kondisi tingkat korupsi kita sekarang memburuk. Ini bisa menjadikan upaya pemulihan ekonomi kontraproduktif meski kita sudah merombak regulasi sedemikian rupa lewat UU Cipta Kerja,” kata Enny.
Masalah utama ekonomi berbiaya tinggi ini tidak bisa serta-merta dijawab lewat penyederhanaan proses perizinan berusaha sebagaimana tujuan UU Cipta Kerja.
Laporan Global Competitiveness Report 2017-2018 Forum Ekonomi Dunia (WEF) memetakan, faktor utama penghambat investasi di Indonesia adalah korupsi, disusul dengan inefisiensi birokrasi, infrastruktur tidak memadai, dan kebijakan yang tidak stabil. Korupsi menciptakan ekonomi berbiaya tinggi, bertentangan dengan prinsip pengusaha yang mengutamakan efisiensi.
Sementara itu, mengacu pada hasil Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2020 yang dirilis Transparency International Indonesia, Kamis, skor persepsi korupsi di Indonesia anjlok dari level 40 dan ranking ke-85 menjadi level 37 dan ranking ke-102. Dengan skor itu, Indonesia kembali pada posisi di tahun 2016 dan 2017.
Penurunan terbesar IPK 2020 adalah pada indikator ekonomi dan investasi, seperti tampak pada data Global Insight Country Risk Ratings oleh IHS Markit Economics yang turun 12 poin dibandingkan tahun 2019 dan data PRS International Country Risk Guide oleh PRS Group yang turun 8 poin.
Global Insight Country Risk menganalisis risiko suap dan praktik korup lainnya yang harus dihadapi pelaku usaha saat berusaha atau berinvestasi di suatu negara. Hal ini, antara lain, mencakup pengurusan kontrak bisnis, perizinan ekspor-impor, dan dokumen-dokumen kecil keseharian.
Sementara, International Country Risk Guide menganalisis korelasi antara korupsi finansial dan sistem politik. Data PRS menyoroti praktik korupsi di sektor bisnis, seperti nepotisme, suap, relasi patron-klien antara politisi dan pebisnis, proteksi korporasi oleh polisi, dan urusan perpajakan.
Enny mengatakan, selain praktik korupsi yang semakin menjadi-jadi, implementasi UU Cipta Kerja juga bisa terganjal karena peraturan turunan yang saat ini disusun sifatnya masih parsial dan sektoral. Padahal, tujuan utama dibuatnya UU sapu jagat itu adalah untuk menyinkronkan dan mengintegrasikan berbagai kebijakan itu untuk memudahkan pelaku usaha.
Secara terpisah, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, tahun 2021 adalah tahun pemulihan kesehatan dan ekonomi nasional. Ada dua faktor yang akan menjadi penentu perubahan (game changer), yaitu vaksinasi dan penerapan UU Cipta Kerja.
”Pekan depan, pemerintah akan merilis peraturan turunan UU Cipta Kerja untuk segera mendongkrak perekonomian,” ujarnya.
Pekan depan, pemerintah akan merilis peraturan turunan UU Cipta Kerja untuk segera mendongkrak perekonomian.
Secara total, ada 52 peraturan pelaksana UU Cipta Kerja yang disusun pemerintah. Dari jumlah itu, dua peraturan sudah terbit, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 73 Tahun 2020 tentang modal awal lembaga pengelola investasi (LPI) dan PP No 74/2020 tentang LPI. Jumlah total peraturan pelaksana itu bertambah dari sebelumnya 44 peraturan pelaksana.
Delapan peraturan pelaksana ”tambahan” itu berasal dari dua RPP yang terkait sektor perhubungan serta pekerjaan umum dan perumahan rakyat (PUPR). RPP sektor perhubungan dipecah dari satu menjadi empat RPP, sementara sektor PUPR dipecah dari satu menjadi enam RPP. Penyusunan ulang dilakukan karena substansi yang terlalu luas dan tidak memungkinkan dimuat dalam satu RPP.
”Jadi, intinya ini hanya urusan memecah dan menyederhanakan regulasi saja, bukan menambah rancangan peraturan pelaksana yang baru lagi,” kata Ketua Tim Serap Aspirasi UU Cipta Kerja Franky Sibarani.
Sementara Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso menuturkan, sisa 50 peraturan pelaksana UU Cipta Kerja akan tetap selesai sesuai target tenggat 2 Februari 2021. Sebagian besar peraturan pelaksana berupa rancangan PP itu kini sudah memasuki tahap harmonisasi.
”Perkembangan sampai awal minggu lalu sudah selesai 27 RPP. Sisanya dalam tahap harmonisasi dan dua RPP masih dalam tahap legal drafting (penyusunan konsep dasar draf),” katanya.
Kendati nantinya target itu tercapai, tidak semua RPP bisa langsung diimplementasikan. Sebagai contoh, RPP tentang Perizinan Berusaha Berbasis Risiko baru bisa berjalan setidaknya Juli 2021. Hal ini karena perlu transisi sistem pengajuan perizinan di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
”Pengajuan perizinan akan menggunakan sistem OSS (online single submission/sistem perizinan berusaha terintegrasi elektronik) baru di mana uji coba baru akan dijadwalkan pada Juni dan baru dioperasikan Juli 2021,” kata Susiwijono.
Kendati nantinya target itu tercapai, tidak semua RPP bisa langsung diimplementasikan.
Susiwijono menekankan, secara khusus tidak ada implikasi hukum jika penyusunan RPP melampaui tenggat 2 Februari. Namun, pemerintah berupaya memanfaatkan momentum pandemi Covid-19 agar UU Cipta Kerja bisa segera diimplementasikan. UU Cipta Kerja dan program vaksinasi diyakini sebagai game changer perekonomian.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Suryadi Sasmita berpendapat, kluster perpajakan menjadi salah satu RPP yang dinilai menguntungkan dunia usaha. Hampir semua ketentuan dalam RPP perpajakan sesuai keinginan pengusaha.
”Kami merasa semua peraturan perpajakan yang dimasukan ke UU Cipta Kerja sudah yang terbaik. Tidak sepenuhnya sesuai keinginan, tetapi mendekati,” katanya.
Menurut dia, paling tidak ada tiga masalah investasi yang akan diselesaikan UU Cipta Kerja, yaitu kepastian hukum, sentralisasi perizinan di tingkat pusat, dan ketenagakerjaan. Dari ketiga masalah itu, hanya isu ketenagakerjaan yang sampai saat ini pembahasannya masih alot.