Pandemi dan Perubahan Tren Cepat Jadi Tantangan Pengusaha Mode
Memasuki 2021, pandemi masih menjadi tantangan bagi pelaku usaha, termasuk pengusaha di industri fashion. Dengan tren mode yang terus berkembang, pengusaha juga tidak boleh berhenti berinovasi.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Memasuki 2021, pandemi masih menjadi tantangan bagi pelaku usaha, termasuk pengusaha di industri mode (fashion). Dengan tren mode yang terus berkembang, pengusaha juga tidak boleh berhenti berinovasi.
Bergantungnya penjualan fashion pada gerai fisik membuat industri ini terhambat selama pandemi masih mengharuskan orang untuk membatasi fisik dan sosial. Laporan Business of Fashion oleh Imran Amed dan Achim Berg menyebut, pandemi membuat industri fashion semakin suram.
Dikutip dari pemberitaan BBC, Jumat (29/1/2021), pada triwulan pertama 2020, tiga perempat dari perusahaan mode yang terdaftar mengalami penurunan penjualan sebesar 34 persen. Krisis ekonomi akibat pandemi membuat konsumen mengurangi pengeluaran untuk belanja fashion.
”Masyarakat fokus membeli barang-barang penting dan esensial untuk bertahan selama lockdown,” kata Amed.
Pada akhir 2020, analisis McKinsey Global Fashion Index melaporkan, tingkat laba industri fashion turun hingga 90 persen dibanding 2019. Pelaku industri pun harus putar otak untuk mengubah strategi dan model bisnis baru agar bisa bertahan.
Inovasi
Hal itu pun dilakukan pengusaha fashion di dalam negeri. Pendiri usaha mode wanita muslim Dilva Scarf, Dita A Aboebakar, dalam diskusi virtual ”Tren Bisnis Fashion 2021: Ubah Peluang Jadi Uang”, mengatakan, pandemi mengubah perilaku masyarakat. Ini jadi peluang yang harus dimanfaatkan untuk usahanya yang fokus pada jilbab motif cetak.
”Sekarang, ketika masih banyak orang kerja di rumah, perempuan mungkin banyak yang malas mandi atau sekadar pakai daster untuk kerja, jadi malas untuk pakai jilbab segi empat yang ribet. Makanya, kami sediakan jilbab instan bergo,” tuturnya.
Selain menangkap peluang dari tren di rumah saja, tren bersepeda di masa pandemi juga dimanfaatkan Dita. ”Sekarang ada kecenderungan ibu-ibu dan remaja putri yang bersepeda pakai seragam. Kita lalu bikin jaket beragam corak untuk memenuhi tren ini,” kata Dita.
Memulai bisnis di 2017, Dita menyebut, tantangan yang dihadapi pelaku usaha fashion saat ini tidak berbeda dengan tantangan sebelum pandemi. Selain perlu perencanaan bisnis, keberanian untuk mengeksekusi segera keputusan yang mengikuti tren jadi jalan agar bisnis fashion sukses.
Co-founder RAP Concept Raisya Widjaya, pada kesempatan sama membaca, tren fashion saat ini juga unik karena beragam tren mode dari masa lalu kembali diminati. Konsep busana berwarna-warni, seperti di era 80-an, dan tren monokrom menciptakan peluang pasar yang beragam.
Untuk memastikan produk yang dihasilkan mampu menangkap pasar yang sesuai dan menghasilkan untung, maka perlu daya analisis yang kuat. Kemampuan ini jadi modal mentalitas usaha, yang harus dibangun dari awal. ”Materi memang perlu, tapi ketika mental kita bagus, materi bisa dicari,” katanya.
Selain itu, mencari teman berbisnis yang bisa diajak kolaborasi, memiliki kesamaan visi dan misi, serta mau bergerak cepat juga penting. ”Bisnis RAP sejauh ini lumayan, walaupun harus sering berjuang karena harus bisa menyatukan suara empat orang,” pungkas Raisya.
Pemasaran
Selain inovasi, pemasaran juga jadi tantangan selanjutnya yang harus digarap pelaku usaha. Dengan terbatasnya pemasaran luar jaringan atau offline, maka kanal pemasaran dalam jaringan jadi strategi penting.
Media sosial yang menjadi salah satu kanal pemasaran terjangkau bisa dimanfaatkan pelaku usaha. Namun, perlu strategi agar brand tidak hanya dikenal tetapi juga mendorong orang untuk membeli.
Strategic Partner Manager Instagram Indonesia, Efrata Puji Harsono, mempelajari tiga strategi sukses pemilik usaha fesyen yang memasarkan produk mereka melalui media sosial Instagram (IG).
”Pertama, strategi visual, di IG enggak cukup hanya bagus, tetapi harus bisa menginspirasi. Kedua, tahu jelas siapa audience-nya, misal targetnya ibu-ibu, akan berbeda fotonya, penulisan keterangan fotonya, hingga cara komunikasinya dengan target pasar laki-laki,” terangnya.
Terakhir, pemasar harus bisa menjembatani inspirasi menjadi aksi. Jembatan tersebut, dikatakan Efrata, sudah disediakan Instagram melalui fitur berbelanja yang baru diluncurkan tahun lalu.
Instagram, kini menjadi media sosial yang banyak dipakai untuk berbisnis. Menurut penelitian internal mereka, 90 persen dari 100 juta lebih pengguna Instagram di seluruh Indonesia mengikuti satu akun bisnis.