KKP Minta Waktu Satu Bulan untuk Evaluasi Cantrang
Kementerian Kelautan dan Perikanan tengah meninjau ulang legalisasi alat tangkap cantrang. Selain merusak lingkungan, kebijakan itu dinilai memicu konflik sosial di lapangan. KKP minta waktu sebulan untuk evaluasi.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini/Pandu Wiyoga
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Kelautan dan Perikanan mengevaluasi pelegalan cantrang sebagai alat tangkap kapal perikanan. Legalisasi cantrang dinilai merusak lingkungan, mengganggu nelayan kecil, dan memicu konflik sosial di lapangan. Pemerintah pusat berencana untuk tidak lagi memberikan izin penambahan kapal cantrang.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Muhammad Zaini menyatakan, pihaknya menerima keluhan terkait operasional cantrang yang mengganggu nelayan kecil dan memicu konflik sosial. Keluhan disampaikan oleh lembaga swadaya masyarakat, perwakilan nelayan, serta wakil dinas dan anggota DPRD Kabupaten Anambas dan DPRD Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau.
KKP kini tengah meninjau ulang legalisasi cantrang. Proses evaluasi direncanakan berlangsung selama satu bulan dan hasilnya akan dilaporkan ke Komisi IV DPR. ”Kami masih mencari formula agar (cantrang) tidak mengganggu. Beberapa alternatif solusi sedang disiapkan,” kata Zaini, Kamis (28/1/2021).
Masalah yang dievaluasi antara lain soal wilayah tangkapan nelayan dengan kapal cantrang yang berbenturan dengan nelayan kecil setempat. Kapal-kapal cantrang dilaporkan masuk hingga ke zona perairan di bawah 12 mil yang menjadi wilayah tangkapan nelayan kecil sehingga memicu konflik sosial antarnelayan. Pihaknya mengkaji solusi agar zonasi wilayah kapal cantrang menjadi di atas 30 mil.
Persoalan lain, operasional cantrang dinilai tidak ramah lingkungan dan merusak terumbu karang. Menurut Zaini, mata jaring cantrang yang kecil menyebabkan banyak ikan kecil terjaring. Terkait itu, secara teknis, akan diatur ukuran mata jaring dan bentuk mata jaring. Selain itu, alat cantrang yang masuk kategori pukat hela tengah dikaji agar dapat diubah ke kategori pukat tarik sehingga tidak merusak.
Stop izin
Hingga saat ini jumlah kapal cantrang berukuran di atas 30 gros ton (GT) yang memperoleh izin dari KKP terdata 874 unit. Izin itu untuk operasional kapal di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 711 dan WPP 712. Pemerintah pusat berencana tidak lagi memberikan izin atas penambahan kapal cantrang.
”Tidak akan ada penambahan izin kapal cantrang. Izin operasional diberikan hanya untuk kapal cantrang yang ada saat ini. Kalau kapal rusak, ya, tidak boleh ada penggantian,” katanya.
Sementara itu, jumlah kapal berukuran di bawah 30 GT dengan alat tangkap cantrang dan sejenisnya di daerah diperkirakan mencapai ribuan unit. Pihaknya meminta pemerintah daerah mengatur perizinan kapal-kapal tersebut dan bertanggung jawab terhadap izin yang diterbitkan agar jangan sampai memunculkan konflik antarnelayan.
Sebelumnya, dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR, Rabu (27/1/2021), Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengatakan, pihaknya tengah mengkaji dan mengevaluasi legalisasi kembali alat tangkap cantrang dengan melibatkan masukan dari berbagai pihak. Saat ini, pihaknya menunda legalisasi cantrang yang diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 59 Tahun 2020 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan Laut Lepas.
Aturan itu menggantikan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 71 Tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di WPP RI. Dalam peraturan menteri ini, alat tangkap berupa cantrang, dogol, dan pukat hela dasar udang tergolong alat tangkap aktif dan dilarang beroperasi di seluruh WPP RI. Cantrang dan sejenisnya yang tergolong pukat tarik (seine nets) dinilai sebagai alat tangkap yang merusak.
Anggota Komisi IV DPR, Johan Rosihan, juga mendorong KKP mencabut legalisasi penggunaan alat tangkap cantrang. Penolakan bukan datang dari dirinya saja, melainkan juga masyarakat di Kepulauan Riau.
Mengganggu
Ketua Aliansi Nelayan Natuna Hendri menilai, beroperasinya kapal cantrang di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) Laut Natuna Utara akan menyebabkan penangkapan ikan berlebih di WPP 711. Selain itu, penggunaan cantrang juga dinilai tidak ramah lingkungan karena alat itu dapat merusak karang acropora yang menjadi habitat ikan karang.
”Tadi sudah disepakati bahwa pemerintah pusat akan menunda pemberian SIUP (surat izin usaha perikanan) dan SIPI (surat izin penangkapan ikan) untuk sementara kepada kapal cantrang dari pantura Jawa yang akan beroperasi di WPP 711,” kata Hendri.
Menurut dia, Direktorat Perikanan Tangkap KKP telah menyatakan dengan gamblang bahwa belum pernah mengeluarkan izin kepada kapal cantrang dari pantura Jawa untuk beroperasi di WPP 711. Apabila nanti nelayan Natuna menemukan ada kapal cantrang yang beroperasi di sana, mereka akan menangkap kapal itu lalu menyerahkannya kepada petugas pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan terdekat.
Dalam pertemuan bersama Pelaksana Tugas Dirjen Perikanan Tangkap Muhammad Zaini, para perwakilan nelayan Kepulauan Riau juga meminta pemerintah tidak membatasi wilayah operasi nelayan tradisional hanya di Jalur Penangkapan Ikan I atau zona 0-4 mil. Menurut Hendri, nelayan tradisional di Kepulauan Riau yang kapalnya hanya berukuran 3-7 GT sudah terbiasa mencari ikan hingga perairan yang berjarak hingga lebih dari 30 mil.
”Kami ingin nelayan tradisional Kepulauan Riau boleh beroperasi hingga 30-50 mil dari bibir pantai. Untuk itu, kami juga meminta zona tersebut bebas dari kapal cantrang,” ujar Hendri.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kepulauan Riau Agus Sukarno menambahkan, pemerintah provinsi mendukung upaya nelayan lokal untuk melindungi perairan Kepulauan Riau dari kegiatan penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan. Pemerintah pusat diharapkan meninjau ulang Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 59/2020 agar ke depan nelayan tradisional juga dapat ikut menikmati kekayaan sumber daya perikanan di WPP 711.
”Kami ingin kepentingan nelayan Kepulauan Riau diutamakan dalam pembuatan kebijakan pengelolaan perikanan di WPP 711. Kalau memang kami dipandang belum mampu bersaing dengan nelayan asing, tolong kami dibantu berkembang,” kata Agus.