Antisipasi Dampak Cuaca Ekstrem dalam Pembangunan Infrastruktur
Perencanaan infrastruktur energi mesti memasukkan faktor risiko cuaca ekstrem.
JAKARTA, KOMPAS — Orientasi perencanaan infrastruktur energi mesti mengantipasi dampak cuaca ekstrem. Apalagi, cuaca ekstrem berpotensi semakin sering terjadi seiring perubahan iklim.
Faktor risiko cuaca ekstrem harus dimasukkan dalam perencanaan infrastruktur energi. Tujuan pembangunan infrastruktur energi perlu diarahkan pada pencapaian sistem yang memiliki ketahanan.
”Dampak cuaca ekstrem tidak hanya pada penyediaan bahan bakar untuk pembangkit, tetapi juga di setiap tahap rantai pasok tenaga listrik, seperti di pusat pembangkit, transmisi, dan distribusi,” kata ekonom transportasi dan energi Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA), Alloysius Joko Purwanto, ketika dihubungi, Kamis (28/1/2021).
Joko menyampaikan hal itu ketika dimintai pandangan terkait penjagaan rantai pasok energi, khususnya batubara, untuk pembangkit listrik. Suplai batubara berkaitan dengan kondisi terkini, yakni banjir di lokasi tambang dan akses jalan serta gelombang tinggi yang memperlambat pelayaran tongkang dari daerah penghasil batubara menuju lokasi pembangkit listrik.
Joko menuturkan, perubahan iklim yang semakin cepat mengakibatkan cuaca ekstrem akan semakin sering terjadi. Hal ini menuntut perubahan paradigma dalam perencanaan infrastruktur energi maupun penunjangnya, seperti transportasi.
Baca juga : Pemerintah Jamin Tidak Ada Pemadaman Listrik, Pasokan Batubara Diatasi
Menurut Joko, perubahan paradigma tersebut berupa pergantian orientasi perencanaan. Perencanaan yang bersifat reaktif terhadap dampak cuaca ekstrem harus diganti menjadi perencanaan yang bersifat mengantisipasi dampak yang akan terjadi di masa mendatang.
”Perencanaan mengantisipasi dampak yang akan datang berarti juga mengelaborasi rencana atau strategi pembangunan jangka panjang yang secara eksplisit memasukkan faktor risiko cuaca ekstrem dalam perencanaan,” ujar Joko.
Menurut dia, langkah ini memperkirakan dampak fisik dan ekonomi dari cuaca ekstrem di masa depan. Dampak ekonomi termasuk biaya-biaya dari segala upaya adaptasi yang dilakukan berdasarkan peta jalan jangka panjang.
Joko berpendapat, tujuan pembangunan infrastruktur energi, khususnya tenaga listrik, harus diarahkan untuk mencapai sistem yang memiliki resiliensi atau ketahanan. Aspek yang harus dikejar untuk mencapai ketahanan sistem energi listrik adalah pembangunan microgrid, yakni suatu sistem energi listrik swasembada yang mencakup suatu wilayah geografi tertentu. Wilayah tertentu, misalnya kampung, desa, sekolah, dan kompleks perkantoran, idealnya didukung serangkaian pembangkit listrik berenergi terbarukan yang terdistribusi, seperti tenaga surya, minihidro, dan CHP (combined heat-power).
Tujuan pembangunan infrastruktur energi, khususnya tenaga listrik, harus diarahkan untuk mencapai sistem yang memiliki resiliensi atau ketahanan.
Joko mengatakan, sistem jaringan berdasarkan microgrid akan memberi fleksibilitas sistem jaringan secara keseluruhan. ”Jika jaringan mengalami gangguan, microgrid akan terputus dari jaringan utama dan berfungsi seperti sistem cadangan sampai gangguan jaringan utama bisa diselesaikan,” katanya.
Adapun aspek lain adalah digitalisasi sistem pasokan tenaga listrik. Digitalisasi akan memungkinkan konsumen perorangan dan perusahaan ikut memasok atau menjual listrik—seperti yang dihasilkan dari tenaga surya atau kelebihan listrik yang diproduksi oleh swasta—ke jaringan utama.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengaku sudah beberapa kali mengingatkan, salah satu tantangan infrastruktur energi di Indonesia adalah risiko yang muncul dari perubahan iklim.
”Perubahan iklim selama ini belum dimasukkan dalam penilaian risiko terkait pembangunan infrastruktur energi, baik PLTU, pembangkit listrik tenaga gas, maupun lainnya,” kata Fabby.
Baca juga : Sembilan PLTU Campurkan Biomassa dan Batubara
Fabby menambahkan, batubara untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang dibangun di Jawa berasal dari luar Jawa. Sebanyak 85 persen pasokan batubara nasional diproduksi di Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Sumatera Selatan.
”Ada faktor risiko iklim yang sangat tinggi. Contohnya, ketika banjir di Kalsel sudah dua minggu tidak surut, lahan tambang batubara dan jalan bisa jadi tergenang. Logistik atau transportasi batubara terganggu,” ujar Fabby.
Batubara untuk pembangkit listrik tenaga uap yang dibangun di Jawa berasal dari luar Jawa.
Menurut Fabby, kondisi yang sama bisa terjadi di daerah penghasil batubara lainnya. Apalagi, dampak perubahan iklim yang kian parah menyebabkan frekuensi cuaca ekstrem lebih sering.
”(Dalam hal ini) termasuk badai dan gelombang tinggi yang menyebabkan transportasi dari daerah produksi batubara ke pusat pembangkit listrik, misalnya di Jawa dan Sumatera, pasti mengalami kendala,” katanya.
Dalam konferensi pers secara virtual, Rabu (27/1/2021), Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ridwan Djamaluddin mengatakan, cuaca di daerah penghasil batubara sedang ekstrem, termasuk dilanda bencana. Kementerian ESDM bertugas memastikan pasokan batubara ke PLN.
Hal yang menjadi fokus saat ini adalah memastikan listrik tetap menyala. ”Ketika ada isu bahwa PLN kekurangan pasokan (batubara) atau akan kekurangan pasokan, tugas kami jelas, memastikan pasokan itu tidak kurang,” kata Ridwan.
Baca juga : Harga Batubara Naik Tinggi di Awal Tahun
Ridwan menuturkan, semua perusahaan pemasok batubara ke PLN sudah menyatakan komitmen untuk memenuhi kewajiban pada waktu yang sudah disepakati. Kementerian ESDM sudah mengundang perusahaan-perusahaan tersebut untuk rapat dengan PLN.
”Dari 54 perusahaan (yang diundang) ini sudah menyatakan komitmen akan memenuhi kewajibannya sesuai kesepakatan dan pada waktu yang disepakati,” ujar Ridwan.