Pemerintah Evaluasi Kelanjutan Ekspor Benih Lobster dan Cantrang
Pemerintah tengah mengevaluasi dan mengkaji kebijakan ekspor benih bening lobster dan legalisasi alat tangkap cantrang. Sistem dan alat pengawasan dinilai masih minim.
Oleh
BM Lukita Grahadyarini
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Kelautan dan Perikanan mengkaji kembali kebijakan ekspor benih lobster dan legalisasi penggunaan alat penangkap ikan cantrang. Pemerintah berjanji melakukan kajian dengan menyerap masukan sejumlah pihak.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono menyampaikan hal itu dalam Rapat Kerja dengan Komisi IV DPR RI, di Jakarta, Rabu (27/1/2021). Topik terkait kebijakan ekspor benih dan penggunaan cantrang mengemuka dan disoroti sejumlah anggota Komisi IV-DPR RI.
Menteri Trenggono mengemukakan, pemerintah tengah mengkaji kembali kebijakan ekspor benih bening lobster untuk mencari solusi terbaik. Banyak masyarakat nelayan dinilai menggantungkan nafkah dari mencari benih lobster. Di sisi lain, belum ada peralatan memadai untuk mengawasi peredaran benih lobster yang keluar.
Ia mengakui kebijakan menghentikan ekspor benih lobster tidak menutup kemungkinan adanya penyelundupan benih. Sebab Indonesia belum memiliki alat pengawasan yang memadai di bandara dan pelabuhan pintu keluar yang mendeteksi pergerakan benih lobster. Pihaknya telah meminta Badan Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) untuk menyediakan model dan alat untuk mendeteksi penyelundupan benih. ”Saya butuh (waktu) evaluasi,” kata Menteri Trenggono, dalam rapat kerja dengan Komisi IV DPR RI, di Jakarta, Rabu (27/1/2021).
Kajian dan evaluasi juga tengah dilakukan terkait legalisasi kembali alat tangkap cantrang dengan melibatkan masukan dari berbagai pihak. Saat ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan menunda pelaksanaan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 59 Tahun 2020 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan Laut Lepas.
Aturan itu menggantikan Permen KP Nomor 71 Tahun 2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perairan RI. Dalam Permen KP ini, alat tangkap berupa cantrang, dogol, dan pukat hela dasar udang tergolong alat tangkap aktif dan dilarang beroperasi di seluruh wilayah pengelolaan perairan Indonesia. Cantrang dan sejenisnya yang tergolong pukat tarik (seine nets) dinilai sebagai alat tangkap yang merusak.
Sebelumnya, kebijakan ekspor benih bening lobster dan legalisasi alat tangkap cantrang yang dilarang menuai polemik. Kebijakan pemberlakuan cantrang dan sejenisnya dinilai sebagai langkah mundur yang semakin merugikan nelayan kecil tradisional serta mengancam keberlanjutan sumber daya ikan. Adapun kebijakan ekspor benih lobster dinilai menguras sumber daya dan memukul usaha pengembangan budidaya lobster dalam negeri.
Wakil Ketua Komisi IV DPR Hasan Aminuddin mendukung langkah Kementerian Kelautan dan Perikanan menghentikan sepenuhnya kebijakan ekspor benih lobster untuk menuju kesejahteraan rakyat. ”Jangan tanggung, stop, cabut saja. Kita nanti bersepakat dalam rekomendasi Komisi IV, bersepakat dengan Menteri Kelautan dan Perikanan untuk mencabut (kebijakan ekspor benih),” tegasnya.
Anggota Komisi IV DPR, Johan Rosihan, juga mendorong Kementerian Kelautan dan Perikanan mencabut legalisasi penggunaan alat tangkap cantrang. Penolakan bukan datang dari dirinya saja, melainkan juga dari masyarakat di Kepulauan Riau.
Kejahatan marak
Sementara itu, kapal pengawas perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan menangkap empat kapal ikan ilegal berbendera Malaysia di Selat Malaka. Kapal-kapal itu beroperasi dengan jaring pukat harimau (trawl). Saat ditangkap, dua kapal asing tersebut berupaya melawan dengan memotong jaring trawl yang kemudian menjerat dan merusak baling-baling kapal pengawas milik Kementerian Kelautan Perikanan.
Direktur Pemantauan dan Operasi Armada Kementerian Kelautan Perikanan Pung Nugroho Saksono menuturkan, modus memotong jaring dengan tujuan menjerat baling-baling kapal pengawas saat ini memang marak. Kondisi hari yang masih gelap membuat awak kapal pengawas kesulitan melihat posisi jaring, tetapi petugas mampu mengatasi perlawanan tersebut.
Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Mohammad Abdi Suhufan, berpendapat, kejahatan di laut Indonesia tinggi pada awal tahun 2021. Tercatat 12 kejahatan atau pelanggaran yang tertangkap aparat penegak hukum, meliputi 10 kapal asing dan 3 kapal dalam negeri. Hal ini mengindikasikan kerawanan laut Indonesia atas kegiatan kejahatan maritim.
”Modus kejahatan di laut antara lain perikanan ilegal, penyelundupan lobster, penyelundupan bahan bakar minyak, dan narkoba,” kata Abdi. Kapal-kapal ilegal itu juga ditenggarai mematikan sistem identifikasi otomatis (AIS) kapal.
Pihaknya juga menemukan adanya unsur kesengajaan serta upaya melawan hukum nasional dan ketentuan internasional yang dilakukan oleh kapal asing yang melintasi perairan Indonesia.