Derita Ganda Peternak, Pakan Naik Saat Telur Babak Belur
Para peternak ayam petelur tengah mendapat tekanan ganda. Harga pakan naik seiring naiknya harga bungkil kedelai, sementara harga jual telur tertekan oleh permintaan yang cenderung turun. Peternak babak belur.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para peternak ayam petelur tengah menghadapi beban ganda awal tahun ini. Selain kenaikan harga pakan yang terdongkrak kenaikan harga bungkil kedelai, mereka mesti terimpit oleh turunnya harga jual telur di tengah pembatasan pergerakan masyarakat akibat pandemi Covid-19.
Ketua Umum Pengurus Pusat Pehimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Indonesia Singgih Januratmoko menyebutkan, harga jual telur di tingkat peternak di wilayah Jawa Tengah Rp 16.000-Rp 16.500 per kilogram (kg). ”Dua pekan terakhir, harga telur di tingkat peternak menurun karena permintaan merosot 20-30 persen,” ujarnya saat dihubungi, Rabu (27/1/2021).
Harga jual telur itu lebih rendah dibandingkan harga acuan yang ditetapkan pemerintah. Menurut Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 7 Tahun 2020 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen, harga acuan pembelian telur di tingkat peternak ditetapkan Rp 19.000-Rp 21.000 per kg.
Di sisi lain, harga pakan unggas naik 15 persen sehingga berdampak pada kenaikan ongkos produksi. Kenaikan pakan terutama dipicu oleh naiknya harga bungkil kedelai seiring dengan kenaikan harga kedelai di pasar global.
Selain itu, rantai distribusi telur masih melibatkan sekitar tiga pihak perantara atau broker. Singgih khawatir ada pengendalian harga di tingkat perantara yang menghambat distribusi telur hingga ke konsumen.
Pinsar Indonesia, kata Singgih, sudah berkoordinasi dengan Kementerian Perdagangan dan menyampaikan situasi terkini. ”Kami mengharapkan telur-telur ini dapat difasilitasi untuk diserap oleh ritel,” katanya.
Presiden Peternak Layer Nasional Ki Musbar Mesdi berharap pemerintah dapat memprioritaskan telur hasil produksi sentra peternakan untuk dimasukkan dalam paket bantuan sosial. Langkah ini penting untuk mengatasi merosotnya permintaan akibat menurunnya daya beli.
Ketua Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) Yeka Hendra Fatika memaparkan, pandemi Covid-19 membuat suplai telur berlebih di tingkat peternak. ”Sejumlah warung makan tutup atau membatasi operasionalnya selama masa pembatasan yang diberlakukan pemerintah. Padahal, stok telur saat ini sudah dihitung sejak impor ayam galur murni (grandparent stock) dua tahun lalu,” ujarnya saat dihubungi, Rabu.
Dalam jangka pendek, Yeka usul agar pemerintah menguatkan kampanye konsumsi telur sebagai sumber protein hewani untuk meningkatkan kualitas gizi masyarakat di tengah pandemi Covid-19. Pemerintah juga dapat menyalurkan suplai telur yang berlebih ke rumah tangga yang terdeteksi kurang gizi atau stunting. Proses pengadaan dan penyalurannya menggunakan anggaran pemerintah.
Senada dengan Yeka, Ketua Bidang Peternakan dan Perikanan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton J Supit menilai pemerintah perlu menjembatani penyaluran telur ayam dengan memetakan rumah tangga yang membutuhkannya. Selain itu, pemerintah juga dapat memetakan daerah-daerah yang membutuhkan telur.
Pemerintah dapat memetakan daerah yang membutuhkan telur dan menjembatani penyalurannya.
Pihak swasta tidak keberatan membantu penyerapan telur di tingkat peternak skala kecil asalkan pemerintah yang mengoordinasikan dan memfasilitasinya. Ke depan, setiap pihak perlu duduk bersama untuk membenahi tata niaga dan distribusi telur nasional.
Dalam jangka panjang, Anton menilai peternak ayam petelur skala kecil perlu berhimpun menjadi koperasi untuk meningkatkan daya tawar dan mengefisiensikan proses produksi. Dengan demikian, koperasi ini dapat memiliki kontrak dengan industri penyerap ataupun investor, salah satunya untuk mengembangkan pabrik produksi tepung telur.
Terkait fluktuasi harga unggas, Kementerian Pertanian berulang menerbitkan surat edaran guna mengendalikan produksi. Sejak 26 Agustus 2020 hingga Januari 2021, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian menerbitkan enam surat edaran pemotongan produksi guna menstabilkan harga.