Angka pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini yang dirilis lembaga internasional lebih rendah dari sebelumnya. Ekonomi dan keuangan syariah bersama UMKM pun digadang-gadang menjadi mesin harapan di tengah ketidakpastian.
Oleh
DWI BAYU RADIUS
·3 menit baca
[caption id="attachment_11528909" align="alignleft" width="720"] Ikatan Keluarga Alumni Fakultas Ekonomi dan Bisnis (IKAFEB) Universitas Padjadjaran (Unpad) menyelenggarakan webinar bertema ”Prospek Ekonomi, Bisnis, dan Investasi 2021”, Jumat (15/1/2021). Webinar itu didukung Center for Macroeconomics and Statistics Ikatan Keluarga Alumni (IKA) Unpad dan Center for Investment and Bussines Ecosystem IKA Unpad.[/caption]
BANDUNG, KOMPAS — Berbagai lembaga internasional merilis proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2021. Proyeksi terakhir menunjukkan angka pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan sebelumnya. Meski demikian, terdapat harapan di tengah situasi yang tak menentu.
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran (Unpad) Arief Anshory Yusuf di sela-sela webinar bertema ”Prospek Ekonomi, Bisnis, dan Investasi 2021”, pekan lalu, mengatakan, banyaknya revisi tersebut menunjukkan masih tingginya ketidakpastian.
Webinar tersebut diselenggarakan Ikatan Keluarga Alumni Fakultas Ekonomi dan Bisnis (IKAFEB) Unpad yang didukung Center for Macroeconomics and Statistics Ikatan Keluarga Alumni (IKA) Unpad dan Center for Investment and Bussines Ecosystem IKA Unpad.
Lembaga-lembaga yang merilis pertumbuhan ekonomi tersebut, antara lain, Dana Moneter Internasional (IMF), Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), Bank Dunia (World Bank), dan Bank Pembangunan Asia (ADB). Angka pertumbuhan ekonomi 2021 yang dirilis pada Desember 2020 berkisar 4,4-4,5 persen.
Angka itu lebih rendah dibandingkan sebelumnya atau rata-rata di atas 5 persen. Menurut Arief, belum adanya tanda-tanda pandemi terkendali menjadi faktor utama yang menyebabkan ketidakpastian. Rasio kasus positif (positivity rate) di Indonesia masih di atas 20 persen.
”Meminjam pendapat ahli pandemiologi, angka tersebut cukup untuk menunjukkan pandemi di Indonesia belum terkendali,” katanya. Kontraksi pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara lain. Eksposur perekonomian Indonesia terhadap perekonomian global pun termasuk rendah.
Pembatasan sosial (stringency) Indonesia memang relatif rendah dari negara-negara lain sehingga perekonomiannya lebih menggeliat. ”Mobilitas masyarakat lebih tinggi, tetapi stringency rendah bisa memicu peningkatan kasus sehingga dalam jangka panjang masih menjadi sumber ketidakpastian ekonomi,” ujarnya.
Menurut Peneliti Senior Bank Indonesia Ali Sakti, banyak negeara yang mulai fokus ke penguatan ekonomi domestik dengan terganggunya rantai pasok (supply chain) global. Krisis kali ini harus menjadi kesempatan Indonesia mengeksplorasi potensi ekonomi domestik.
”Misalnya, pembenahan UMKM dan keuangan syariah. Mengutip survei ADB, dampak pandemi terhadap UMKM di Indonesia relatif lebih ringan dari negara-negara tetangga,” ujarnya. Hanya sekitar 30 persen UMKM di dalam negeri yang mengalami penurunan permintaan domestik.
Angka itu sedikit lebih rendah dibandingkan Thailand atau 32 persen, tetapi jauh di bawah Filipina dan Laos yang bisa mencapai 40 persen. Demikian pula UMKM di Tanah Air yang tutup sementara, meski cukup tinggi, sebesar 48 persen, tetapi lebih rendah daripada Filipina atau 70 persen dan Laos atau 61 persen.
Dampak pembenahan UMKM sangat besar terhadap perekonomian mengingat 64,2 juta atau 99,99 persen dari jumlah pelaku usaha di Indonesia adalah UMKM. Sektor UMKM juga menyerap 97 persen tenaga kerja. Kontribusi UMKM terhadap PDB nasional 61,1 persen.
Cukup baiknya kemampuan adaptasi UMKM diproyeksikan mampu menjadi mesin harapan ekonomi yang tengah sakit. Daya tahan dan fleksibilitas UMKM diharapkan membuat usaha itu mampu beradaptasi terhadap keterbatasan gerak lewat pemanfaatan teknologi digital untuk menjual dan mengantar produknya.
Sementara, ekonomi dan keuangan syariah menunjukkan kinerja yang baik dengan pertumbuhan positif. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), industri keuangan syariah tumbuh 20,61 persen pada Juli 2020. Industri perbankan syariah juga tumbuh 9,27 persen pada November 2020.
Menurut Ali, ekonomi dan keuangan syariah layak diandalkan menjadi mesin pertumbuhan baru ekonomi nasional. Perkembangan sektor ekonomi dan keuangan syariah Indonesia perlahan membentuk ekosistem yang saling terkait sehingga pertumbuhannya diharapkan kian signifikan.
Head of Research RHB Securities Indonesia Andrey Wijaya mengatakan, diperlukan kehati-hatian jika memandang perekonomian Indonesia pada tahun 2021. ”Saya melihat dengan keoptimisan. Sisi positif misalnya, belanja pemerintah naik. Belanja sektor-sektor produktif juga meningkat,” ujarnya.
Sektor-sektor itu, antara lain, infrastruktur, transportasi, dan pertanian, banyak dipotong untuk dialihkan ke belanja sosial pada tahun 2020. Akan tetapi, Andrey memperkirakan aktivitas ekonomi semester I tahun 2021 akan berjalan lambat karena peningkatan kasus harian Covid-19.