Ekonomi Syariah Inklusif
Ekonomi syariah bersifat inklusif. Keterlibatan masyarakat dalam ekonomi syariah akan menekan kesenjangan ekonomi yang semakin dalam.
JAKARTA, KOMPAS — Keterlibatan masyarakat dalam ekosistem perekonomian syariah di tengah pandemi Covid-19 dinilai penting. Salah satu strateginya ialah melalui pembenahan koperasi syariah.
Hal itu disampaikan Wakil Presiden Ma’ruf Amin dalam Musyawarah Masyarakat Ekonomi Syariah, Sabtu (23/1/2021).
Wapres Ma’ruf memaparkan, ekonomi syariah bersifat inklusif karena berprinsip melibatkan seluruh masyarakat. Ekonomi syariah juga mewadahi kelompok yang sumber dayanya berlebih dan memberikan akses kepada yang belum berkecukupan.
Saat dihubungi pada Minggu (24/1/2021), peneliti ekonomi syariah dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Fauziah Rizki Yuniarti, memaparkan, basis ekonomi syariah Indonesia datang dari akar rumput dan bersifat masukan dari bawah ke atas. ”Oleh karena itu, peran lembaga keuangan nonbank mikro sangat penting, khususnya koperasi syariah yang menjamur di daerah,” ujarnya.
Basis ekonomi syariah Indonesia datang dari akar rumput dan bersifat masukan dari bawah ke atas.
Meskipun demikian, koperasi syariah perlu dibenahi. Pembenahan, antara lain, penguatan regulasi, sistem pemantauan, dan penegakan hukum.
Berdasarkan data yang dihimpunnya, hanya sekitar 100 koperasi syariah yang terpantau dari 4.000 koperasi syariah yang ada di Indonesia.
Karena tidak terpantau, kasus unit koperasi yang tidak bertanggung jawab dalam mengelola uang masyarakat mengemuka. Hal ini berdampak pada kepercayaan masyarakat terhadap ekonomi syariah yang tergerus.
Baca juga : Ekonomi Syariah Diperkuat melalui Digitalisasi dan Pondok Pesantren
Sementara itu, pengamat ekonomi syariah dari Sekolah Tinggi Ekonomi Islam SEBI, Aziz Setiawan, menilai, penguatan rantai produksi hingga konsumsi barang dan jasa halal turut mengoptimalkan keterlibatan masyarakat dalam ekosistem perekonomian syariah.
”Penguatan ini saling berkaitan secara positif dengan jasa keuangan syariah,” ujarnya.
Berdasarkan data sementara per akhir 2019 yang dikutip dari laman Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, ada 123.048 unit koperasi di Indonesia. Dari jumlah itu, sebanyak 35.761 unit koperasi memiliki sertifikat nomor induk koperasi. Kepemilikan sertifikat ini menandai koperasi aktif secara kelembagaan dan usaha, minimal telah melaksanakan rapat anggota tahunan dalam tiga tahun terakhir.
Kesenjangan
Dalam Laporan Ekonomi Islam Global 2020/2021, pandemi Covid-19 berdampak pada ekonomi syariah. Sebelum pandemi, pertumbuhan rata-rata ekonomi syariah periode 2018-2024 diperkirakan 6,2 persen secara tahunan. Namun, pascapandemi, pertumbuhan rata-rata diperkirakan 3,1 persen secara tahunan.
Sektor yang paling berat menanggung dampak pandemi adalah perjalanan, yang diperkirakan anjlok 70 persen. Adapun sektor lain adalah farmasi yang turun 6,9 persen, media dan rekreasi turun 3,9 persen, mode turun 2,9 persen, kosmetik turun 2,5 persen, serta makanan halal turun 0,2 persen.
Baca juga : Bank Syariah Indonesia Siapkan Strategi ”Naik Kelas” Masuk BUKU IV
Dalam acara Musyawarah Masyarakat Ekonomi Syariah, Wapres Ma’ruf Amin menyebutkan, prinsip-prinsip dalam ekonomi syariah dapat mengatasi kesenjangan yang kian lebar akibat pandemi. Masyarakat diajak semakin terlibat dalam ekosistem ekonomi dan keuangan syariah.
Prinsip-prinsip dalam ekonomi syariah dapat mengatasi kesenjangan yang kian lebar akibat pandemi.
”Tak ada jalan lain selain melibatkan sebanyak-banyaknya masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi. Saya menggarisbawahi pentingnya memanfaatkan peluang ekonomi dan keuangan syariah,” katanya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk miskin per Maret 2020 sebanyak 26,42 juta orang. Jumlah ini bertambah 1,28 juta orang dari Maret 2019.
Persentase penduduk miskin naik 0,37 persen menjadi 9,78 persen. Adapun ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur dengan rasio gini sebesar 0,381.
Wapres Ma’ruf menyebutkan, Indonesia memiliki sistem ekonomi ganda, yakni yang bersifat konvensional dan syariah. Keduanya tidak boleh dibenturkan, tetapi mesti disinergikan agar dapat sejalan demi menunjang kesejahteraan masyarakat, terutama di tengah pandemi Covid-19.
Baca juga : Kemiskinan dan Jurang Ketimpangan Kian Dalam
Terkait keterlibatan masyarakat, Ketua Umum Masyarakat Ekonomi Syariah sekaligus Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso menyoroti porsi aset keuangan syariah dibandingkan dengan aset sektor keuangan di Indonesia yang sebesar 9,9 persen. Sementara indeks literasi dan inklusi keuangan syariah masing-masing 8,93 persen dan 9,1 persen.
Porsi aset keuangan syariah dibandingkan dengan aset sektor keuangan di Indonesia sebesar 9,9 persen.
Padahal, porsi aset keuangan syariah diharapkan dapat mencapai 20 persen terhadap total aset keuangan di Indonesia.
”Salah satunya karena produk keuangan syariah cenderung ’datang belakangan’ setelah produk syariah. Semestinya keduanya hadir berbarengan sehingga masyarakat memiliki pilihan syariah,” ujarnya.
Produk keuangan syariah tersebut juga berkaitan dengan kehadiran ragam layanan teknologi finansial terkait. Menurut dia, sejumlah birokrasi perlu ditinjau agar produk layanan teknologi finansial syariah dapat muncul berbarengan dengan yang bersifat konvensional.
Pengamat ekonomi syariah dari IPB University, Irfan Syauqi Beik, menilai, ragam produk keuangan syariah yang ada saat ini sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Ia mencontohkan pinjaman yang bersifat konsumtif, seperti pembelian rumah dan kendaraan bermotor, pinjaman modal kerja, serta layanan digital perbankan untuk transaksi secara dalam jaringan.
Ragam produk keuangan syariah yang ada saat ini sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Khusus untuk pembiayaan proyek besar yang nilainya triliunan rupiah, jasa keuangan syariah belum bisa memfasilitasi. Menurut Irfan, kapasitas dan efisiensi perbankan syariah perlu ditingkatkan. Selain itu, penguatan ekosistem keuangan dan ekonomi syariah juga membutuhkan edukasi dan literasi masyarakat.
”Masyarakat perlu mendapatkan literasi mengenai produk-produk keuangan syariah, termasuk hingga ke sisi sistem akadnya,” ujarnya saat dihubungi, Sabtu.
Berdasarkan data OJK, per November 2020, total aset keuangan syariah Indonesia (tidak termasuk saham syariah) Rp 1.770,32 triliun. (JUD)