Kenaikan Harga Lahan Tak Sebanding Kenaikan Pendapatan
Masyarakat berpenghasilan rendah di sektor informal menghadapi tantangan untuk memiliki rumah. Kombinasi dukungan diperlukan untuk membantu mereka.
Oleh
CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Masyarakat berpenghasilan rendah, khususnya di sektor informal, menghadapi tantangan berat memiliki rumah. Ada sejumlah pilihan yang bisa diambil pemerintah untuk menjamin penyediaan rumah bagi masyarakat kelompok ini.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, ketika dihubungi, Rabu (20/1/2021), mengatakan, salah satu masalah klasik dalam penyediaan rumah adalah kenaikan harga lahan yang tidak sebanding dengan kenaikan pendapatan masyarakat. Hal ini terutama dirasakan masyarakat berpenghasilan rendah.
Menurut Bhima, ada sejumlah opsi untuk membantu masyarakat berpenghasilan rendah agar mendapatkan rumah layak huni. Pertama, dengan data yang ada bisa dibuat skema kredit pemilikan rumah dengan suku bunga di bawah bunga subsidi. Kedua, program pembangunan rumah susun sederhana milik (rusunami) perlu digencarkan hingga ke daerah. Sebab, rusunami dapat menyediakan hunian dalam jumlah lebih besar di satuan lahan yang sama dibandingkan dengan rumah tapak.
Pertama, dengan data yang ada bisa dibuat skema kredit pemilikan rumah dengan suku bunga di bawah bunga subsidi.
Selain kedua program tersebut, dimungkinkan juga bagi pemerintah menjalin semacam kerja sama model patungan dengan pengembang untuk membangun perumahan murah. Perumahan rumah bisa dibangun di atas lahan milik pemerintah atau BUMN, sedangkan biaya pembangunannya diserahkan kepada pengembang. ”Ada harga (rumah) yang relatif lebih terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah,” ujar Bhima.
Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional pada 2018, sekitar 14 juta dari 70 juta rumah tangga di Indonesia tidak memiliki rumah. Dari 14 juta rumah tangga itu, sekitar 5,52 juta rumah tangga di kelompok berpendapatan menengah-atas. Selebihnya, 6,51 juta rumah tangga di kelompok masyarakat berpenghasilan rendah dan 1,96 juta rumah tangga di kelompok miskin.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono menuturkan, sesuai rencana strategis 2020-2024, pemerintah menargetkan penyediaan 5 juta rumah. Jumlah itu terdiri dari 900.000 unit perumahan bersubsidi melalui fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP), subsidi selisih bunga, dan subsidi bantuan uang muka (SBUM). Adapun 100.000 rumah disediakan dengan bantuan pembiayaan perumahan berbasis tabungan (BP2BT), 500.000 rumah dengan tabungan perumahan rakyat (Tapera), dan 50.000 rumah melalui pembiayaan Sarana Multigriya Finansial.
”Ada juga 3,45 juta rumah dengan kolaborasi pemerintah, pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat,” kata Basuki pada diskusi kelompok terfokus bertema ”Mendorong Pemulihan Ekonomi Nasional Melalui Sektor Properti”, beberapa waktu lalu.
Ada juga 3,45 juta rumah dengan kolaborasi pemerintah, pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat.
Dalam program Sejuta Rumah yang dicanangkan Presiden Joko Widodo pada 2015, Kementerian PUPR berupaya mengatasi kekurangan rumah. Pada 2020, program ini membangun 965.217 rumah, yang 772.324 unit di antaranya untuk masyarakat berpenghasilan rendah, dan 192.893 rumah untuk non-masyarakat berpenghasilan rendah.
Secara terpisah, Deputi Komisioner Bidang Pengerahan Dana Badan Pengelola Tapera Eko Ariantoro mengatakan, pada 2021 akan menyalurkan pembiayaan untuk 51.000 rumah. ”Sebanyak 11.000 rumah dalam bentuk proyek inisial di semester I-2021 dan 40.000 unit rumah di semester II-2021,” kata Eko.