Lonjakan jumlah investor domestik di pasar modal menunjukkan gairah masyarakat untuk berinvestasi. Momentum itu mesti dijaga agar pasar modal berkembang makin kuat, antara lain dengan meningkatkan literasi masyarakat.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
Jagat maya tengah dihebohkan oleh viralnya tangkapan layar berisi percakapan seorang investor ritel. Intinya, sang investor mengaku membeli saham dengan modal hasil berutang. Tak tanggung-tanggung, dia berutang ke 10 platform pinjaman daring senilai hampir Rp 200 juta.
Terlepas dari kontroversinya, kisah itu bisa jadi cermin soal minat masyarakat berinvestasi yang makin baik. Investasi saham bahkan telah menjadi bagian gaya hidup, terutama di kalangan generasi milenial. Dana masyarakat tak sekadar mengendap di bank di tengah pandemi Covid-19.
Data PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) menyebutkan, hingga 29 Desember 2020, jumlah investor yang terdata dalam sistem identifikasi investor tunggal (single investor identification/SID) mencapai 3,87 juta investor, naik 56 persen dari posisi akhir 2019. Sebanyak 1,68 juta di antaranya adalah investor saham. Ada 94.000 investor aktif harian, investor yang setidaknya sekali bertransaksi dalam sehari, naik 73 persen dibandingkan akhir 2019.
Seiring meningkatnya investor ritel domestik, rekor baru transaksi perdagangan tertinggi dicapai pada 2020, yaitu 1,69 juta frekuensi transaksi harian saham pada 22 Desember 2020. Tren lonjakan investor pasar modal juga diikuti fenomena munculnya pemengaruh (influencer) di media sosial. Mereka menyampaikan ajakan atau rekomendasi untuk membeli saham tertentu. Namun, kebisingan yang dihasilkannya berpotensi mengganggu stabilitas pasar jika tidak disikapi dengan serius oleh otoritas pasar modal.
Contoh yang masih hangat adalah ketika selebritas Raffi Ahmad dan musisi Ari Lasso, yang notabene adalah pemengaruh di jagat maya, membagi pengalaman di akun Instagram setelah menaruh modal di emiten perusahaan digital awal tahun ini.
Lewat video singkat, keduanya mengajak masyarakat berinvestasi saham guna memperbaiki keadaan finansial. Keduanya merekomendasikan sebuah saham emiten sambil memberi testimoni dengan mengaku mendapat keuntungan berlipat karena harga saham mengalami kenaikan puluhan persen dalam waktu singkat.
Tak hanya dari industri hiburan, pengusaha UMKM Kaesang Pangarep hingga pemuka agama Yusuf Mansyur juga merekomendasikan saham tertentu. Fenomena ini tentu perlu disikapi dengan bijak. Di satu sisi, keberadaannya menggairahkan investasi, secara tak langsung membantu program Yuk Nabung Saham yang dijalankan otoritas.
Setidaknya mereka bisa membantu indeks inklusif dan literasi keuangan Indonesia yang masih lemah. Namun, menurut regulasi, seseorang mesti dibekali lisensi wakil perantara pedagang efek (WPPE) untuk bisa merekomendasikan saham kepada publik secara terbuka sebagaimana analis perusahaan sekuritas.
Minat tinggi tanpa pemahaman yang optimal soal produk investasi akan berisiko tinggi. Tanpa pemahaman yang baik, investor saham berpotensi kehilangan profit yang diharapkan dalam waktu singkat. Jual beli saham dengan keuntungan dan kerugian cepat, berdasarkan rekomendasi pihak tertentu, juga harus dipelajari masyarakat dengan baik.
Ada pula potensi tuntutan hukum dari para pengikut apabila mereka merasa dikecewakan akibat rekomendasi para pemengaruh. Apalagi, ada kekhawatiran terjadi aksi perdagangan dengan orang dalam (insider trading). Istilah ini ditujukkan untuk pembelian saham tertentu setelah mendapatkan fakta dan rencana emiten pada masa depan sebelum diketahui publik. Praktik dengan tujuan memperoleh keuntungan lebih ini termasuk tindak pidana sebagaimana diatur Undang-Undang Pasar Modal.
Oleh karena itu, respons yang bijak dari otoritas, terutama Bursa Efek Indonesia (BEI), dalam menyikapi fenomena pemengaruh di pasar saham harus konstruktif dan tepat sasaran. Sejauh ini, otoritas bursa telah merangkul para pemengaruh, mengajak mereka berdiskusi, dan menyamakan visi guna mengoptimalkan minat investasi masyarakat.
Kembali ke cerita pembuka tulisan, adanya investor ritel yang berutang untuk berinvestasi jelas menunjukkan literasi yang kurang. Oleh karena itu, masyarakat harus mendapat edukasi agar terhindar dari praktik buruk investasi. BEI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mesti didukung untuk mengawasi pasar dan mendorong literasi. Kepercayaan investor lokal harus dijaga agar pasar modal dalam negeri terus berkembang dan makin kuat menopang pertumbuhan ekonomi nasional.