Di tengah pandemi yang ibarat perang belum selesai, kita diajak untuk mengetahui dan belajar bagaimana pimpinan mengajak karyawan untuk mengatasi krisis.
Oleh
ANDREAS MARYOTO
·4 menit baca
Sebuah organisasi yang sedang dilanda krisis dan sukses keluar dari badai itu selalu melibatkan seluruh karyawan. Pimpinannya akan berusaha agar mereka merasa dalam satu perahu dan ikut mendayung. Keragu-raguan karyawan akan membuat perahu oleng atau lajunya terhambat. Mereka perlu diberi rasa nyaman dan aman di dalam perusahaan. Akan tetapi, kadang situasinya sangat jauh berbeda.
Penulis buku kepemimpinan Simon Sinek bulan lalu menerbitkan buku kelimanya berjudul The Infinite Game. Buku ini menjadi kontekstual ketika muncul krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 saat ini. Orang selalu bertanya, kapan pandemi akan selesai? Tidak ada yang bisa memastikan sehingga lebih tepat jika kita beranggapan tengah berada di medan pertempuran yang tak jelas ujungnya.
Semangat yang harus muncul adalah seperti saat orang membuat roket dan ingin mencapai bulan. Mereka mengalami kegagalan berkali-kali, tetapi tak patah semangat. Sekali roket diluncurkan dan hancur, mereka terus belajar dan mengetahui kesalahan mereka. Mereka kembali berusaha hingga akhirnya manusia bisa sampai di bulan dan terus mengeksplorasi. Oleh karena itu, saat pandemi, kita harus tak lelah mencari cara untuk bertahan dan menjadi pemenang serta lanjut berusaha.
Buku terbaru ini sangat terkait dengan buku Sinek sebelumnya yang berjudul Leaders Eat Last. Buku ini sudah lama terbit dan terkenal, tetapi tetap kontekstual dengan situasi sekarang. Di tengah pandemi yang ibarat perang belum selesai, kita diajak untuk mengetahui dan belajar bagaimana pimpinan mengajak karyawan untuk mengatasi krisis. Ibarat pasukan khusus yang tengah bertempur, pimpinan harus bisa memberi contoh dan memberi rasa aman bagi pasukan sehingga pasukan berkonsentrasi berperang.
Kita diajak untuk mengetahui dan belajar bagaimana pimpinan mengajak karyawan untuk mengatasi krisis.
Pimpinan makan belakangan. Tradisi ini muncul di pasukan marinir Amerika Serikat. Anggota pasukan akan menikmati kenyamanan lebih dahulu daripada pimpinan mereka. Keteladanan atau contoh pimpinan diwujudkan dalam hal sepele, mulai di meja makan hingga di medan tempur.
Pasukan di lapangan pasti merasa ketakutan ketika terjun di dalam operasi militer. Mereka tidak bisa dibiarkan terkurung dalam kecemasan. Oleh karena itu, pimpinan memilih meninggalkan kenikmatan dan berada di tengah pasukan, ikut terlibat, memberi contoh tetap tenang, dan yakin bakal memenangi pertempuran. Pasukan yang memiliki pimpinan seperti itu akan memiliki semangat lebih besar dibandingkan dengan pasukan yang dibiarkan komandannya.
Krisis ekonomi akibat pandemi telah membawa perusahaan seperti berada di tengah pertempuran. Mereka terus mencari cara untuk bertahan dan sedapat mungkin mengambil peluang agar selamat. Akan tetapi, di banyak organisasi, kadang kala pimpinan sibuk sendiri, tetap berada di zona nyaman, atau malah merasa bisa menyelesaikan pertempuran dan membiarkan karyawan. Energi besar karyawan dibiarkan sia-sia, padahal siap membantu perusahaan.
Kadang kala pimpinan sibuk sendiri, tetap berada di zona nyaman, atau malah merasa bisa menyelesaikan pertempuran dan membiarkan karyawan.
Karyawan sesungguhnya peduli dengan nasib perusahaan. Sebab, masa depan mereka dan keluarga mereka juga ditentukan masa depan perusahaan. Sebagai manusia, mereka tentu akan ikut mencari jawaban ketika menghadapi ketidakpastian dan kebingungan. Di tengah situasi seperti itu, karyawan yang tidak diajak terlibat dan kelebihan energi bisa menjadi destruktif. Mereka memiliki banyak ide untuk ikut dalam pertempuran, tetapi dibiarkan begitu saja. Sudah barang tentu mereka gemas dan ikut tegang menghadapi perusahaan yang sudah oleng atau bakal oleng.
Jika tidak disalurkan, ketegangan di dalam perusahaan malah menjadi bom waktu di internal perusahaan. Konflik internal akan meningkat dengan ciri-ciri, antara lain, saling menyalahkan yang kerap terjadi, komunikasi internal memburuk, dan keengganan bekerja sama meningkat. Kinerja bisnis yang sudah pasti terganggu karena pandemi akan semakin merosot atau setidaknya tak beranjak dari posisi semula karena energi banyak digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah internal.
Untuk menghadapi situasi seperti ini, sepertinya kita bisa melihat fenomena masyarakat ketika menghadapi pandemi. Mereka bergotong royong membantu yang kesulitan. Sebagai Homo sapiens, kita dilahirkan untuk berkolaborasi. Sejarah manusia memperlihatkan mereka yang bisa bertahan menghadapi masalah adalah yang berkolaborasi. Prinsip ini seharusnya diadopsi pimpinan perusahaan. Mereka harus membuka diri untuk kolaborasi, bahkan di internal perusahaan.
Prinsip ini seharusnya diadopsi pimpinan perusahaan.
Sayang sekali, kadang pimpinan perusahaan lebih bernafsu mengejar angka pertumbuhan dengan berbagai utak-atik angka dibandingkan dengan mengelola energi karyawan yang melimpah, tetapi tak termanfaatkan. Mitos-mitos kepentingan pemegang saham kerap menghantui mereka sehingga mereka tidak luwes bercengkerama dengan karyawan. Karyawan bukan angka semata, tetapi energi yang bisa ikut melakukan perubahan.