Insentif Pajak Mesti Pertimbangkan Daya Tahan dan Risiko Fiskal 2021
Pada 2021, pemerintah mengalokasikan anggaran insentif usaha dalam penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional senilai Rp 20,26 triliun.
Oleh
Karina Isna Irawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemberian insentif dan fasilitas pajak sepanjang 2021 mesti memperhatikan daya tahan anggaran pemerintah dan pengelolaan risiko fiskal. Oleh karena itu, insentif dan fasilitas pajak sebaiknya diarahkan untuk mendorong keterlibatan swasta dalam pemulihan ekonomi dan percepatan vaksinasi.
Pada 2021, pemerintah mengalokasikan anggaran insentif usaha dalam penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional senilai Rp 20,26 triliun. Insentif mencakup pajak ditanggung pemerintah, pengembalian Pajak Penghasilan (PPh) impor, dan pengembalian pendahuluan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Pada 2021, pemerintah mengalokasikan anggaran insentif usaha dalam penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional senilai Rp 20,26 triliun.
Insentif dunia usaha di luar insentif perpajakan untuk bidang kesehatan serta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Fasilitas insentif bidang kesehatan seperti PPh Pasal 22 impor dan PPN untuk produk farmasi. Adapun insentif pajak UMKM berupa PPh final UMKM ditanggung pemerintah. Seluruh insentif pajak diberikan hingga 31 Desember 2020.
Peneliti Danny Darussalam Tax Center, B Bawono Kristiaji, Minggu (17/1/2021), menuturkan, pemberian insentif pajak pada tahun ini seharusnya dikombinasikan dengan aspek-aspek terkait konsumsi dan investasi. Hal ini penting karena pemerintah harus mulai memperhatikan daya tahan anggaran dan pengelolaan risiko fiskal masa depan.
”Insentif dalam rangka mempercepat dan memperkokoh sektor konsumsi dan investasi atau peran swasta selama fase initial recovery mesti dipertimbangkan,” kata Bawono.
Salah satu insentif dan fasilitas pajak yang mesti diprioritaskan pemerintah pada tahun ini terkait sektor kesehatan. Pemberian insentif dan fasilitas pajak diarahkan untuk mendorong keterlibatan swasta dalam percepatan program vaksinasi. Apalagi, kondisi ekonomi saat ini dipengaruhi kemampuan pemerintah dalam mengelola kesehatan.
Bawono mengatakan, pemberian insentif pajak juga mesti mempertimbangkan dampaknya terhadap pelebaran belanja perpajakan atau tax expenditure. Oleh karena itu, kebijakan memperpanjang pemberian sejumlah insentif pajak harus lebih selektif. Perpanjangan insentif pajak terkait pengendalian aspek kesehatan sudah tepat.
”Jangan sampai pemberian insentif pajak disalahgunakan, menyasar pihak yang kurang tepat, dan harus dievaluasi dampaknya,” kata Bawono.
Pemberian insentif pajak juga mesti mempertimbangkan dampaknya terhadap pelebaran belanja perpajakan.
Pada 2019, realisasi belanja perpajakan Rp 257,2 triliun atau sekitar 1,62 persen produk domestik bruto (PDB). Angka ini meningkat dibandingkan dengan tahun 2018 yang sebesar Rp 225,2 triliun atau 1,52 persen PDB. Belanja perpajakan tahun 2020 diestimasi jauh lebih tinggi karena merespons kondisi ekonomi akibat pandemi Covid-19.
Proyeksi 2021
Bawono menambahkan, upaya untuk memperkuat penerimaan pajak harus mulai dilakukan jika pemerintah berencana mengembalikan defisit APBN ke batas normal 3 persen PDB. Namun, prinsip kehati-hatian untuk mengoptimalkan penerimaan pajak jangan sampai mendistorsi upaya pemulihan ekonomi.
”Pemerintah berupaya mengombinasikan kebijakan fiskal ekspansif dengan fiskal kondusif. Meski demikian, upaya menyeimbangkan keduanya bukan hal mudah,” kata Bawono.
Secara terpisah, Research Manager Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar dalam keterangan tertulis, Minggu, menambahkan, relaksasi pajak tetap harus dibarengi peningkatan pendapatan negara tanpa membebani pemulihan ekonomi. Ada beberapa opsi yang dapat ditempuh untuk meningkatkan penerimaan.
Salah satu opsi adalah menurunkan ambang batas pengusaha kena pajak sehingga dapat memberi keadilan bagi wajib pajak yang selama ini patuh, mengoptimalkan pungutan pajak digital, meningkatkan basis pajak, terutama wajib pajak orang pribadi, dan melanjutkan perbaikan administrasi.
”Peningkatan penerimaan pajak juga bisa ditempuh dengan memperkuat sinergi kelembagaan atau program bersama antara Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea Cukai, dan Direktorat Jenderal Anggaran Kemenkeu,” kata Fajry.
Relaksasi perpajakan masih dibutuhkan untuk menjaga momentum pemulihan ekonomi pada tahun ini. Namun, insentif yang telah diberikan harus dievaluasi, terutama dari sisi sektoral. Pemerintah perlu memastikan sektor yang diberikan insentif adalah sektor usaha paling terdampak Covid-19.
Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Suryo Utomo mengatakan, selain kondisi ekonomi yang lesu, penurunan penerimaan pajak juga disebabkan pemberian insentif pajak. Ia mencontohkan, total insentif pajak yang diberikan pada 2020 mencapai Rp 56 triliun untuk pajak ditanggung pemerintah dan potensi kehilangan penerimaan.
Pemerintah perlu memastikan sektor yang diberikan insentif adalah sektor usaha paling terdampak Covid-19.
Penerimaan pajak tidak akan meningkat signifikan selama masih dalam situasi pandemi Covid-19. Sebab, pelaksanaan ekstensifikasi dan intensifikasi pajak akan terganggu. Namun, untuk memperkecil risiko, Direktorat Jenderal Pajak akan mengoptimalkan penerimaan yang bersumber dari PPN atas produk digital.