Impor Indonesia didominasi bahan baku dan penolong untuk kebutuhan industri. Impor yang turun mesti diwaspadai.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 yang meruntuhkan perekonomian global berdampak pada neraca perdagangan Indonesia 2020. Kendati neraca perdagangan surplus, kinerja impor yang terkontraksi lebih dalam dibandingkan dengan ekspor menunjukkan perekonomian domestik masih diliputi masalah dan ketidakpastian.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik yang dirilis pada Jumat (15/1/2021), neraca perdagangan Indonesia pada Januari-Desember 2020 surplus 21,739 miliar dollar AS. Nilai surplus ini terbesar sejak 2011. Surplus terjadi karena impor pada 2020 terkontraksi lebih dalam dibandingkan dengan ekspor.
RI membukukan ekspor senilai 163,307 miliar dollar AS pada 2020 atau turun 2,61 persen dibandingkan dengan 2019, sementara impor sepanjang 2020 sebesar 141,568 miliar dollar AS atau terkontraksi 17,34 persen secara tahunan.
Impor bahan baku dan penolong yang menyokong proses produksi industri pada 2020 anjlok 18,32 persen dalam setahun. Adapun impor barang modal yang menandai geliat investasi merosot 16,73 persen. Impor barang konsumsi pada 2020 turun 10,93 persen dibandingkan dengan 2019.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede berpendapat, penurunan impor menunjukkan kondisi perekonomian Indonesia belum pulih. Permintaan yang masih lemah dari pasar domestik membuat produktivitas industri merosot sehingga kebutuhan industri terhadap impor bahan baku dan barang modal ikut turun.
Kondisi itu berdampak pada pengurangan pekerja dan daya beli masyarakat yang tertekan. Daya beli yang melemah menekan permintaan, sebagai motor penggerak industri.
”Produktivitas sektor ekonomi ternyata belum pulih. Hal ini merupakan fenomena yang terjadi di berbagai negara sebagai akibat dari pandemi,” katanya.
Permintaan yang masih lemah dari pasar domestik membuat produktivitas industri merosot.
Data Indeks Manufaktur (PMI) Indonesia menunjukkan, rata-rata PMI manufaktur Indonesia pada 2020 adalah 44,69. PMI Indonesia pada 2020 masih jauh di bawah PMI 2019 yang sebesar 49,74 atau PMI 2018, yakni 50,9. PMI pada posisi 50 penguatan aktivitas industri.
Kepala BPS Suhariyanto, Jumat, mengatakan, penurunan impor wajar terjadi karena pandemi mendisrupsi perdagangan global, baik dari sisi pasokan maupun permintaan. Meskipun beberapa sektor mulai tumbuh menjelang akhir tahun, pertumbuhan hampir semua sektor industri dalam negeri terkontraksi pada 2020.
Di masa mendatang, kondisi perekonomian tetap bergantung pada pengendalian Covid-19 dan keberhasilan vaksinasi.
”Kuncinya tetap pada penanganan kesehatan. Kita lihat beberapa negara di Eropa mengalami lockdown lagi. Kita tidak tahu dengan vaksinasi apakah Covid-19 akan langsung terkontrol atau tidak. Tetapi, mari optimistis pandemi ini segera berakhir,” ujarnya dalam keterangan pers secara daring di Jakarta.
Struktur impor Indonesia didominasi bahan baku dan penolong. Pada 2020, impor bahan baku dan penolong untuk kebutuhan industri mencapai 72,91 persen dari total nilai impor.
Kuncinya tetap pada penanganan kesehatan.
Kendati pada 2020 impor melemah, kinerja impor mulai menguat pada akhir tahun. Pada Desember 2020, impor senilai 14,44 miliar dollar AS atau naik 14 persen dibandingkan dengan November 2020. Impor pada akhir 2020 meningkat di semua jenis penggunaan barang, yakni barang konsumsi, bahan baku dan penolong, serta barang modal.
Menurut Josua, kondisi ini menumbuhkan optimisme perekonomian mulai membaik pada 2021. Namun, peningkatannya tidak akan drastis karena kondisi saat ini masih diliputi ketidakpastian.
Meskipun vaksinasi mulai dilakukan, tantangan yang dihadapi masih banyak. Tahun 2021 baru berjalan 15 hari, tetapi varian baru Covid-19 bermunculan di berbagai negara. Beberapa negara mitra dagang Indonesia terpaksa kembali memberlakukan karantina wilayah yang bisa memengaruhi perdagangan dunia dan kinerja ekspor-impor.
”Vaksinasi belum tentu bisa menjamin produktivitas usaha dan permintaan domestik akan langsung pulih. Oleh karena itu, semua masih sangat bergantung pada penanganan pandemi,” katanya.
Semua masih sangat bergantung pada penanganan pandemi.
Ekspor
Pelemahan kinerja ekspor pada 2020 dibandingkan dengan 2019 dinilai tidak terlalu dalam. ”Tahun 2020 luar biasa dengan pandemi dan permintaan global yang turun. Akan tetapi, melihat penurunan ekspor Indonesia sebesar 2,61 persen, posisi kita tidak seburuk yang dibayangkan,” kata Suhariyanto.
Ekspor paling banyak berasal dari lemak dan minyak hewan nabati (13,37 persen), diikuti bahan bakar mineral (11,14 persen). Pergerakan harga minyak sawit dan harga batubara sangat berpengaruh terhadap nilai ekspor. Harga kedua komoditas andalan Indonesia, yakni minyak sawit mentah dan batubara, meningkat signifikan, terutama menjelang akhir tahun 2020.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan, Indonesia memasuki tren perdagangan baru. Indonesia perlahan-lahan meninggalkan reputasi sebagai negara pengekspor barang mentah atau setengah jadi menjadi pengekspor barang industri berkualitas tinggi.
Indonesia memasuki tren perdagangan baru.
Untuk itu, Indonesia akan membuka diri terhadap pasar global demi mengundang investasi dan industrialisasi. ”Untuk menjual barang ekspor yang besar, kita harus membuka pasar lebih kompetitif,” katanya.