”Kekebalan komunal yang dicapai melalui vaksinasi bisa mengembalikan mobilitas masyarakat sehingga roda perekonomian bisa kembali berputar. Adanya kepastian keamanan kesehatan masyarakat akan mempercepat pemulihan ekonomi,” ujar Presiden.
Sepanjang tahun lalu, kerja sama pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan dinilai mampu menjaga stabilitas sektor keuangan. Stabilitas ini menopang surplus neraca perdagangan 2020 yang mencapai 21,7 miliar dollar AS, melonjak dibandingkan dengan tahun 2019 yang defisit 3,6 miliar dollar AS.
Stabilitas sektor keuangan menopang surplus neraca perdagangan pada 2020.
Stabilitas sektor keuangan juga berdampak pada peningkatan realisasi investasi. Presiden menyampaikan, realisasi investasi triwulan III-2020 mencapai Rp 611,6 triliun. Angka itu naik 8,9 persen dari triwulan I-2020 dan naik 1,6 persen dari triwulan III-2019. ”Capaian ini memberikan optimisme dan kita harap berlanjut pada 2021,” kata Presiden.
Meski begitu, Presiden mengingatkan agar para pemangku sektor keuangan tidak lekas puas. Optimisme tetap perlu dikelola, baik oleh regulator maupun pelaku industri keuangan, agar kepercayaan pasar dan masyarakat terjaga. ”Tahun ini jangan sampai ada perilaku dari pelaku industri keuangan yang merugikan masyarakat. Pengawasan OJK tidak boleh mandul, tidak boleh masuk angin, harus mengeluarkan taring untuk menjaga kredibilitas,” tegas Presiden.
Sebagai modal melanjutkan program pemulihan ekonomi nasional tahun 2021, pemerintah mengalokasikan dana Rp 372,3 triliun untuk mendongkrak daya beli masyarakat. Anggaran ini akan disalurkan melalui berbagai program, seperti subsidi bunga kredit usaha rakyat (KUR), program jaring pengaman sosial, dan alokasi sektor pembiayaan korporasi.
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso memastikan tahun ini otoritas akan menyusun kebijakan komprehensif untuk membantu industri keuangan melewati tantangan pada tahun 2021.
”Sejumlah tantangan tersebut di antaranya menciptakan permintaan pasar, percepatan penanganan pandemi Covid-19, serta pemanfaatan momentum kebutuhan digitalisasi untuk mendukung aktivitas ekonomi,” ujarnya.
Baca juga : Pemulihan Sektor Riil Bantu Jaga Kualitas Kredit Perbankan
Kebijakan tersebut termuat dalam Rencana Induk Sektor Jasa Keuangan Indonesia 2021-2025. Rencana induk ini diharapkan dapat menjawab tantangan jangka pendek dan tantangan struktural dalam mewujudkan sektor jasa keuangan nasional yang berdaya saing, kontributif, dan inklusif.
Secara struktural, lanjut Wimboh, industri jasa keuangan masih perlu menghadapi beberapa persoalan, yakni masih dangkalnya pasar keuangan, kebutuhan akan percepatan transformasi digital di sektor jasa keuangan, pengembangan industri keuangan syariah yang belum optimal, serta ketimpangan literasi dan inklusi keuangan.
Melalui berbagai kebijakan yang didukung sinergi pemerintah, Bank Indonesia, dan pemangku lainnya, kredit perbankan diperkirakan tumbuh di kisaran 6,5 persen-8,5 persen tahun 2021. Adapun dana pihak ketiga diperkirakan akan tumbuh di rentang 10 persen-12 persen.
Sementara itu, penghimpunan dana di pasar modal tahun 2021 diperkirakan meningkat sebagaimana sebelum pandemi, yakni di kisaran Rp 150 triliun-Rp 180 triliun, yang didukung maraknya penerbitan emisi dan surat utang. Situasi itu sebagai implikasi dari likuiditas global yang memadai dan berlanjutnya tren suku bunga rendah.
Sejalan dengan pertumbuhan kredit perbankan, piutang industri perusahaan pembiayaan diperkirakan juga akan menunjukkan pertumbuhan positif pada tahun 2021 seiring meningkatnya konsumsi masyarakat yang kembali pulih di kisaran 3 persen-5 persen.
Stabilitas terjaga
Di tengah pandemi Covid-19 yang turut memorakporandakan perekonomian nasional sepanjang tahun lalu, stabilitas sektor jasa keuangan cukup terjaga di sepanjang tahun 2020.
Menurut Wimboh, hal tersebut tidak terlepas dari sejumlah kebijakan visioner dan kebijakan kontrasiklus yang ditujukan untuk mengurangi volatilitas pasar, memberikan ruang bagi sektor riil untuk dapat bertahan, serta menjaga stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan.
Baca juga : Lonjakan Kasus Covid-19 Bisa Hambat Pemulihan Ekonomi
Di industri perbankan, perlambatan aktivitas di sektor riil dan belum penuh beroperasinya korporasi besar membuat pertumbuhan penyaluran kredit pada 2020 terkontraksi negatif 2,41 persen. Namun, pertumbuhan kredit masih terjadi di sejumlah kelompok bank, yakni bank BUMN sebesar 0,63 persen, bank pembangunan daerah (5,22 persen), serta bank syariah tumbuh (9,5 persen).
”Perusahaan korporasi belum berfungsi secara normal karena pandemi sehingga permintaan modal kerja masih minim. Namun, ini hanya berlangsung sementara karena permintaan kredit akan kembali meningkat seiring pemulihan aktivitas ekonomi,” ujar Wimboh.
Sejalan dengan itu, likuiditas perbankan masih cukup memadai ditandai oleh alat likuid perbankan yang terus meningkat mencapai Rp 2.111 triliun dibandingkan dengan tahun lalu Rp 1.251 triliun. Adapun dana pihak ketiga tumbuh sebesar 11,11 persen. ”Likuiditas ini akan cukup untuk memenuhi kebutuhan pemulihan ekonomi nasional pada tahun ini,” kata Wimboh.
Kebijakan restrukturisasi kredit perbankan telah mencapai Rp 971 triliun atau 18 persen dari total kredit dari sekitar 7,6 juta debitor UKM dan korporasi. Kebijakan ini turut mereduksi profil risiko perbankan dengan rasio kredit macet (NPL) di level 3,06 persen gross dan 0,98 persen net.
Baca juga : Pulihkan Permintaan Sebelum Ramadhan-Lebaran 2021
Kinerja intermediasi industri keuangan nonbank masih tertekan akibat pandemi Covid-19. Premi asuransi komersial terkontraksi 7,34 persen secara tahunan. Piutang perusahaan pembiayaan juga terkontraksi 17,1 persen secara tahunan akibat belum pulihnya berbagai sektor perekonomian.
Kebijakan restrukturisasi kredit di perusahaan pembiayaan juga berjalan dengan baik yang mencapai Rp 189,96 triliun atau 48,52 persen dari total pembiayaan dari 5 juta kontrak. Kebijakan ini turut menjaga profil risiko perusahaan pembiayaan dengan rasio pembiayaan bermasalah (NPF) yang masih terkendali sebesar 4,5 persen.
Di industri pasar modal, kebijakan pengendalian volatilitas yang dikeluarkan OJK sejak awal pandemi serta tindakan tegas pengawasan OJK dinilai telah meningkatkan kepercayaan investor, tecermin dengan membaiknya IHSG di atas 6.000 pada awal 2021 setelah terpuruk di posisi terendah di 3.937,6 pada 24 Maret 2020.
Penguatan IHSG tidak terlepas dari meningkatnya jumlah investor ritel di pasar modal yang mencapai 3,88 juta investor. Sementara penghimpunan dana melalui penawaran umum mencapai Rp 118,7 triliun dengan 53 emiten baru yang merupakan angka tertinggi di ASEAN.