Pasar Perbatasan RI-Timor Leste Ditutup, Pendapatan Warga Menurun Drastis
Masyarakat di perbatasan Motaain (RI)-Batu Gade (Timor Leste) kesulitan mencari uang setelah perbatasan RI-Timor Leste ditutup April 2020 akibat pandemi Covid-19.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·4 menit baca
ATAMBUA, KOMPAS — Masyarakat di perbatasan Motaain, Indonesia, dengan Batu Gade, Timor Leste, kesulitan mencari uang setelah perbatasan RI-Timor Leste ditutup April 2020 akibat pandemi Covid-19. Pasar itu hanya dibuka setiap Rabu, khusus bagi pedagang dari Indonesia untuk mengirim bahan pokok ke Timor Leste.
Koordinator Pasar Perbatasan Motaain-Timor Leste, Sukiman Tandang, dihubungi di Atambua, Sabtu (16/1/2021), mengatakan, pascapasar itu ditutup oleh Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur, April 2020, untuk mencegah penyebaran Covid-19, tidak ada satu warga lokal pun yang berjualan di dalam pasar tersebut.
”Memang pemerintah mengizinkan warga lokal tetap berjualan tanpa menyertakan penduduk dari Timor Leste yang berdiam di sekitar perbatasan. Tetapi, tidak ada warga lokal yang datang berjualan karena mereka menilai pembeli hasil pertanian, perkebunan, peternakan, dan makanan olahan selama ini di pasar itu adalah orang Timor Leste,” kata Tandang.
Akibat penutupan pasar tersebut, penghasilan warga perbatasan menurun drastis. Mereka itu adalah petani lahan kering dengan penghasilan tak menentu yang setiap hari berjualan di dalam pasar.
Dulu nelayan bisa menjual hasil tangkapan di pasar itu, sekarang tidak bisa sama sekali. Mereka juga tidak berdagang uang dollar lagi seperti dulu. Semuanya serba sulit sekarang. (Sintus Soares)
Sejak pasar itu beroperasi Agustus 2018, warga perbatasan cukup terbantu dengan kehadirannya. Hasil pertanian dan peternakan mereka bisa terserap meski dalam skala paling rendah. ”Sebelum pandemi Covid-19 mereka bisa dapat uang Rp 50.000 sampai lebih dari Rp 1 juta per orang, sekarang malah nihil,” katanya.
Warga RI di perbatasan biasanya memanfaatkan pasar itu untuk menjual singkong, ubi jalar, keladi, sayuran, pisang, dan buah-buahan lain hasil pertanian lokal. Mereka juga menjual ayam kampung dan telur ayam kampung, sarung tenun khas Atambua, dan hasil pertanian atau peternakan lain.
Ratusan anak muda yang tidak memiliki pekerjaan tetap memanfaatkan pasar itu untuk mencari uang. Mereka membersihkan sampah, mengangkut koper, tas, dan barang-barang milik warga Indonesia yang hendak menyeberang atau warga Timor Leste saat masuk melapor di petugas keimigrasian.
Sukiman Tandang sebagai pedagang uang dollar AS di dalam pasar itu mengatakan, sebelum ditutup, pasar itu digelar setiap Senin dari pukul 07.00 Wita hingga pukul 12.00 Wita. Setiap Sabtu, sekitar 500 pedagang dan pengunjung berada di dalam pasar itu, baik warga Desa Silawan, Kenebibi, dan Atapupu maupun warga Timor Leste dari desa-desa sekitar.
”Saat hari pasar saya bisa mengumpulkan 1.000 dollar AS lebih. Jual-beli dollar sesuai pergerakan kurs hari itu. Uang dollar itu saya beli dari warga Timor Leste yang berbelanja di pasar. Kalau mereka belanja langsung dengan uang dollar, maka satu mangkuk bakso, misalnya, dihargai dengan satu dollar, tetapi jika dibeli dengan uang rupiah hanya Rp 10.000 per mangkuk,” kata Tandang.
Agen BRI Link Atambua, Cesar Genggesu, mengatakan, sebelum pandemi Covid-19, masyarakat Desa Silawan bisa melakukan transaksi menabung, menarik, dan mengirim uang melalui BRI Link desa itu sebanyak sembilan sampai 10 kali per hari. ”Sekarang tidak sampai empat kali per hari. Mereka cukup tergantung dari pasar perbatasan itu,” katanya.
Kepala Dusun Motaain, Desa Silawan, Kecamatan Tasifeto Timur, Sintus Soares mengatakan, masyarakat di perbatasan RI-Timor Leste semakin sulit memenuhi kebutuhan hidup. ”Dulu nelayan bisa menjual hasil tangkapan di pasar itu, sekarang tidak bisa sama sekali. Mereka juga tidak berdagang uang dollar lagi seperti dulu. Semuanya serba sulit sekarang,” kata Sintus.
Saat pandemi sekarang, pasar perbatasan itu hanya dibuka setiap Rabu pada pukul 08.00-12.00 Wita. Itu pun khusus untuk pengiriman bahan kebutuhan pokok dari Indonesia ke Timor Leste dan tetap menjalankan protokol kesehatan.
Kendaraan pengangkut bahan pokok dari Kupang atau Atambua tidak boleh lanjut sampai ke Dili, tetapi berhenti di perbatasan, kemudian pengangkutan dilanjutkan ke Dili oleh perusahaan yang sama. Kendaraan pengangkut itu sudah siap di pintu gerbang negara Timor Leste.
”Warga saya setiap hari berjualan di dalam pasar. Satu orang bisa mendapatkan Rp 50.000-Rp 1 juta. Jenis barang paling mahal yang dijual adalah sarung tenun, menyusul ternak ayam, dan hasil pertanian, seperti singkong, sayur, dan buah-buahan. Sekarang, barang-barang itu tidak dipasarkan sama sekali karena tidak ada peminat,” katanya.
Juru bicara Satgas Covid-19 NTT, Marius Jelamu, mengatakan, penutupan perbatasan itu atas persetujuan pemerintah pusat, semata-mata untuk mencegah penyebaran Covid-19. Selama pandemi masih berlangsung, penutupan itu masih berlangsung.
Penutupan pasartersebut sama sekali tidak bermotif apa pun, kecuali pencegahan penularan Covid-19 antarwarga kedua negara jika pasar tetap digelar. Harapannya, dengan pemberian vaksin Covid-19 Sinovac nanti, kasus bisa diatasi sehingga masyarakat kembali hidup seperti biasa sehingga pasar perbatasan bisa beroperasi lagi. ”Memang, bagi masyarakat kecil di perbatasan, mereka sangat mengharapkan pengoperasian pasar itu,” kata Jelamu.