Indonesia Siap Hadapi Sengketa Nikel dengan Uni Eropa
Pemerintah RI bersiap menghadapi proses sengketa terkait nikel yang dilayangkan Uni Eropa melalui Organisasi Perdagangan Dunia.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dalam rangka memenuhi permintaan Uni Eropa untuk menyelesaikan sengketa nikel, Indonesia akan membentuk panel. Pemerintah juga menyiapkan strategi lobi yang berorientasi pada peningkatan nilai tambah industri pengguna nikel Indonesia dan Uni Eropa secara simultan.
Uni Eropa (UE) meminta pembentukan panel kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) untuk mendalami kebijakan pembatasan ekspor material mentah, seperti biji besi dan biji nikel, yang merupakan bahan baku baja tahan karat, Kamis (14/1/2021). UE juga meminta pertemuan Badan Penyelesaian Sengketa (DSB) WTO diselenggarakan pada 25 Januari mendatang.
Sengketa tersebut berasal dari gugatan yang dilayangkan UE melalui WTO dengan nomor kasus D592. Salah satu aturan yang dipersoalkan UE adalah Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara. Aturan ini menghapus klausul penjualan nikel dengan kadar kurang dari 1,7 persen ke luar negeri. Regulasi berlaku mulai 1 Januari 2020.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi menyatakan telah menerima notifikasi permintaan tersebut.
”Kami menyayangkan Eropa melanjutkan proses sengketa. Namun, sebagai negara hukum, kita akan mengikuti proses sengketa sesuai aturan dengan menyiapkan tim yang terdiri dari sumber daya manusia di bidang legal. Indonesia akan memperjuangkan haknya,” tuturnya dalam konferensi pers secara dalam jaringan, Jumat (15/1/2021).
Dia menilai, aturan mengenai ekspor nikel telah berada di jalur yang benar karena menjamin keberlanjutan sumber daya alam nasional. Sengketa ini muncul karena Indonesia tengah bertransformasi dari negara pengekspor bahan mentah atau setengah jadi ke eksportir barang industri.
Sebagai negara hukum, kita akan mengikuti proses sengketa sesuai aturan dengan menyiapkan tim yang terdiri dari sumber daya manusia di bidang legal.(Muhammad Lutfi)
Lutfi menambahkan, Indonesia akan mengajak UE berdiskusi terkait upaya menciptakan nilai tambah industri yang memanfaatkan nikel serta minyak nabati bagi kedua belah pihak. Langkah ini akan melibatkan Kementerian Perindustrian.
Pemerintah juga menawarkan diskusi terkait industri minyak nabati karena Indonesia tengah melayangkan gugatan kepada UE di WTO dengan nomor kasus DS593. Gugatan itu terkait penilaian atas dokumen Arahan Energi Terbarukan II atau RED II dan Delegated Regulation telah mendiskriminasi komoditas kelapa sawit.
Executive Vice President and Commissioner for Trade Uni Eropa Valdis Dombrovskis menyatakan, UE mengambil langkah lanjut di tingkat WTO. Menurut dia, tidak ada anggota WTO yang boleh membatasi ekspor bahan mentah seperti yang dilakukan Indonesia.
Saat ini, industri baja di negara-negara anggota UE tengah menghadapi sejumlah tantangan, di antaranya kapasitas berlebih di tingkat dunia, mekanisme subsidi ilegal, serta kebijakan pembatasan perdagangan. ”Kami akan mengambil langkah untuk mengembalikan kondisi yang setara bagi industri baja UE. Kami ingin menyokong para pelaku industri itu di tengah kondisi yang sulit ini,” katanya melalui siaran pers.
Kami akan mengambil langkah untuk mengembalikan kondisi yang setara bagi industri baja UE.
Berdasarkan data UE, ada 30.000 tenaga kerja langsung yang bergantung pada industri baja tahan karat di Eropa. UE juga menerima pengumuman dari empat pemain besar industri baja tahan karat mengenai rencana pemutusan hubungan kerja lebih dari 1.000 tenaga kerja hingga akhir 2021.
Sebelumnya, pada 30 Januari 2020, Indonesia telah mengadakan sesi konsultasi. UE menilai sesi ini gagal menyelesaikan permasalahan. Bagi UE, kebijakan Indonesia tak konsisten dengan Article XI:1 of the General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, berpendapat, pemerintah mesti menyiapkan kajian akademik dan hukum serta data ketenagakerjaan. Data dan kajian ini untuk meyakinkan kebijakan pelarangan ekspor biji nikel diperlukan Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Menurut dia, WTO akan memberi toleransi terhadap kebijakan perdagangan yang melindungi kepentingan ketenagakerjaan.
Data dan kajian ini untuk meyakinkan kebijakan pelarangan ekspor biji nikel diperlukan Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Heri menambahkan, pemerintah dapat menawarkan kepada UE untuk berinvestasi dan membangun pabrik pengolahan nikel di Indonesia.
”Pastikan Indonesia sudah memperbaiki iklim investasinya dengan kelancaran perizinan dan keberadaan insentif untuk memikat UE. Dengan demikian, langkah ini dapat menjadi jalan tengah bagi kedua belah pihak karena UE tetap dapat memperoleh produk nikel dari Indonesia,” tuturnya saat dihubungi.