Analisis terbaru WTO memprediksi perdagangan barang dunia akan turun 9,2 persen pada 2020 dan diikuti kenaikan 7,2 persen pada 2021. Kinerja perdagangan global yang mulai membaik pada triwulan III membawa optimisme pada tren pertumbuhan perdagangan.
Sejalan, kinerja perdagangan Indonesia juga berangsur membaik. Pada November 2020, nilai neraca perdagangan tercatat surplus 2,62 miliar dollar AS. Berbeda dari surplus sebelumnya yang terjadi karena penurunan impor lebih dalam ketimbang anjloknya ekspor, surplus kali ini disebabkan oleh kenaikan ekspor yang lebih tinggi daripada peningkatan impor. Secara bulanan, ekspor November juga merupakan yang tertinggi sejak Oktober 2018.
Di tengah tren positif itu, Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan (UNCTAD) mengingatkan, dampak negatif Covid-19 belum benar-benar berakhir. Potensi gelombang Covid-19 kedua dan ketiga, tanda tanya seputar efektivitas vaksin, serta ketidakmampuan beberapa negara mengontrol penyebaran virus bisa menarik mundur kondisi ekonomi yang mulai membaik.
Potensi gelombang Covid-19 kedua dan ketiga, tanda tanya seputar efektivitas vaksin, serta ketidakmampuan beberapa negara mengontrol penyebaran virus bisa menarik mundur kondisi ekonomi yang mulai membaik.
Untuk mengatasi ketidakpastian ke depan, keterbukaan dagang yang terukur tetap dibutuhkan. Seperti kata Sekretaris Jenderal UNCTAD Mukhisa Kituyi, bukan berarti proteksi dagang tidak diperbolehkan, tetapi sifatnya harus terarah dan sementara serta memperhatikan kepentingan negara-negara kurang berkembang.
Indonesia dengan yakin memilih membuka diri. Sepanjang 2020, berbagai perjanjian dagang internasional dikejar. Pada 15 November 2020, Indonesia menandatangani perjanjian dagang terbesar di dunia, perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) dengan 14 negara lainnya (sembilan negara ASEAN, China, Jepang, Korea Selatan, Selandia Baru, dan Australia).
Indonesia mengharapkan produk domestik bruto (PDB) nasional pada 2021-2023 meningkat sebesar 0,05 persen, pertumbuhan ekonomi 0,26 persen, serta peningkatan ekspor 8-11 persen dan investasi 18-22 persen dalam waktu lima tahun setelah ratifikasi RCEP.
Baca juga : Orientasikan Perjanjian Internasional pada Sumber Pertumbuhan Ekonomi

Indonesia juga menandatangani dan mengejar ratifikasi perjanjian dagang lainnya. Sepanjang Desember 2020 saja, ada tiga perjanjian dagang yang diteken pemerintah, yakni Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Korsel (IK-CEPA), Protokol Amendemen Kemitraan Ekonomi Komprehensif ASEAN-Jepang, dan Perjanjian Perdagangan Preferensial Indonesia-Mozambik (IM-PTA).
Beberapa perjanjian dagang juga berlaku mulai Juli 2020, seperti Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia (IA-CEPA), Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-Hong Kong, China (AHKFTA), dan Perjanjian Investasi ASEAN-Hong Kong (AHKIA).
Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga mengatakan, perjanjian dagang yang diteken dan berlaku pada 2020 bersifat strategis. Berbagai kemudahan dan keringanan diharapkan dimanfaatkan pelaku industri dalam negeri untuk menembus pasar dunia. Ke depan, Indonesia juga mengejar perjanjian dagang bilateral dengan negara mitra nontradisional, seperti Tunisia, Iran, dan Turki.
”Indonesia bisa memainkan peran strategis dalam forum global. Namun, kita harus mengubah perspektif, tidak hanya sebagai negara konsumen, tetapi juga negara produsen yang menyuplai barang secara global,” kata Jerry.
Indonesia bisa memainkan peran strategis dalam forum global. Namun, kita harus mengubah perspektif, tidak hanya sebagai negara konsumen, tetapi juga negara produsen yang menyuplai barang secara global.
Baca juga : Transformasi Investasi, Arahkan ke Sektor Berorientasi Ekspor
Kompetitif
Efektivitas kerja sama perdagangan internasional tidak semata-mata bergantung pada substansi kesepakatan dagang, tetapi pada kesiapan dan daya saing industri dalam negeri. Pasalnya, pasar yang semakin bebas dan inklusif membawa konsekuensi kompetisi yang semakin ketat.
RCEP, misalnya, dinilai akan memperketat persaingan perdagangan barang dan jasa di sejumlah sektor, seperti otomotif, tekstil, alas kaki, telekomunikasi, dan teknologi informasi. Pelaku industri tekstil dan produk tekstil kini waswas menanti dampak implementasi RCEP mengingat dominasi China dalam rantai nilai produk tekstil.
Baca juga : Tertibkan Importir Tekstil Ilegal
Sementara di panggung global, Indonesia masih kalah bersaing. Berdasarkan peringkat daya saing global 4.0 oleh Forum Ekonomi Dunia (WEF) pada 2019, Indonesia berada di peringkat ke-50, masih kalah dari Singapura (1), Jepang (6), Korea Selatan (13), Australia (16), Selandia Baru (19), Malaysia (27), China (28), dan Thailand (40).

Neraca perdagangan Indonesia juga masih defisit terhadap sejumlah mitra dagang utamanya. Per November 2020, Indonesia masih mengalami defisit dengan China senilai 572,6 juta dollar AS, dengan Hong Kong senilai 198 juta dollar AS, dan dengan Australia senilai 142,6 juta dollar AS. Padahal, Indonesia sudah terikat perjanjian perdagangan bebas dengan negara-negara itu.
Semakin terbukanya Indonesia di kancah perdagangan global harus diiringi kesiapan daya saing dan perlindungan industri dalam negeri, khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah. Jika tidak, Indonesia dengan jumlah penduduk yang banyak hanya akan dimanfaatkan sebagai pasar menggiurkan bagi produk negara lain atau semata-mata menjadi sumber bahan baku.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Indonesia Mohammad Faisal menilai, strategi lama menjadikan perjanjian dagang internasional sebagai ”obat” perdagangan harus diubah karena membuka diri ke pasar dunia saja tidak cukup. ”Perubahan ke depan harus transformatif, ekspor harus tumbuh lebih cepat daripada impor ketika ekonomi mulai pulih kelak,” kata Faisal.
Untuk itu, pemerintah harus menyelaraskan strategi investasi, industri, dan perdagangan. Perjanjian dagang hanya bisa dimanfaatkan jika suatu negara memiliki produk yang siap dipasarkan. Saat ini, sekitar 72 persen ekspor di pasar global adalah produk manufaktur, sementara ekspor Indonesia masih mengandalkan komoditas, seperti kelapa sawit dan batubara.
Investasi di sektor pengolahan atau manufaktur yang bernilai tambah dan berorientasi ekspor pun harus diperbanyak untuk mewujudkan peta jalan substitusi impor. ”Kita tidak bisa terus mengekspor yang mentah-mentah saja, dan itu perlahan mulai dilakukan. Data kami, produk yang menjadi andalan ekspor akhir-akhir ini rata-rata produk olahan dan produk jadi,” kata Jerry.
Di sisi lain, keterbukaan dagang dan globalisasi yang meningkat harus diiringi jaminan perlindungan dan dukungan terhadap kepentingan nasional tiap negara. Dalam laporan Indeks Daya Saing Global 2020, WEF mengingatkan, perlindungan ekstra dari dampak perdagangan bebas harus ditujukan ke sektor UMKM yang babak belur akibat pandemi.
Baca juga : UMKM Bidik Ekspor ke Timur Tengah

Terkait ini, peneliti Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Zamroni Salim, menilai, dalam negosiasi perjanjian dagang, Pemerintah Indonesia kurang kreatif dan tegas memperjuangkan dukungan dan perlindungan terhadap UMKM.
”Kreativitas pemerintah untuk memperoleh manfaat akses, pengembangan, dan perlindungan UMKM ini seharusnya menjadi poin penting yang diperhatikan negosiator Indonesia mengingat jumlah UMKM kita yang besar,” katanya.
Kreativitas pemerintah untuk memperoleh manfaat akses, pengembangan, dan perlindungan UMKM ini seharusnya menjadi poin penting yang diperhatikan negosiator Indonesia mengingat jumlah UMKM kita yang besar.

Wajah baru
Di akhir tahun, wajah baru hadir menggawangi Kementerian Perdagangan. Muhammad Lutfi, menteri perdagangan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang selama ini menjadi duta besar RI untuk Amerika Serikat, kembali ke Tanah Air menggantikan Agus Suparmanto. Pekerjaan rumah yang menantinya tidak mudah untuk memperbaiki kinerja perdagangan di kala pandemi.
Indonesia selama ini belum maksimal memanfaatkan peluang dari perjanjian dagang. Hal itu terlihat dari masih defisitnya neraca perdagangan Indonesia terhadap sejumlah negara mitra. Persoalan sistemik ini tidak bisa dibenahi hanya oleh Kementerian Perdagangan.
Dibutuhkan kecakapan menteri yang dapat berkoordinasi lintas kementerian dan sektor untuk mengubah paradigma dalam menyusun strategi perdagangan. Menteri perdagangan yang baru harus menjawab tantangan koordinasi dan kerja sama lintas sektoral itu.
Pandemi Covid-19 mengajarkan dengan pahit bahwa tidak ada jalan pintas untuk memulihkan ekonomi. Pembenahan besar-besaran harus ditempuh agar berbagai perjanjian dagang yang sudah diteken tidak semata-mata menjadikan kita sebagai pasar menggiurkan atau pemain tak berdaya di mata dunia.
Baca juga : Enam Strategi Meningkatkan Ekspor Disiapkan