Indonesia lebih agresif menggempur pasar China guna menyimbangkan perdagangan. Untuk mencapai titik kesimbangan itu, daya saing industri dalam negeri juga perlu ditingkatkan.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Indonesia terus berupaya menyeimbangkan relasi perdagangan dengan China. Diplomasi untuk membuka akses pasar dan mengatasi hambatan perdagangan getol dilakukan. Wadah kerja sama dan aplikasi daring pun diluncurkan untuk memudahkan pelaku usaha dalam negeri, khususnya skala kecil dan menengah, menembus pasar China.
Otoritas Bea dan Cukai China (GACC) mencatat, total perdagangan Indonesia-China pada periode Januari-November 2020 sebesar 69,64 miliar dollar AS. Selama pandemi, total nilai ekspor Indonesia ke China meningkat sekitar 6 persen menjadi 33,1 miliar dollar AS, sedangkan impor dari China ke Indonesia turun 11,5 persen.
Ekspor yang meningkat dan impor yang anjlok itu membuat defisit neraca perdagangan Indonesia-China pada Januari-November 2020 turun 66,67 persen. Indonesia masih mengalami defisit dengan China, tetapi selisihnya kini menjadi 3,2 miliar dollar AS, turun tajam dibandingkan dengan defisit pada periode sama tahun 2019 yang sebesar 9,6 miliar dollar AS.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi, Kamis (14/1/2021), mengatakan, relasi perdagangan Indonesia-China dari hari ke hari semakin baik. Indonesia yang saat ini sedang bertransformasi dari negara pengekspor barang mentah dan setengah jadi menjadi pengekspor barang industri juga akan lebih giat mengejar peluang demi memperluas akses pasar dan mendongkrak ekspor.
Komoditas utama yang saat ini diekspor Indonesia ke China adalah besi dan baja, kertas dan karton, tembaga, alas kaki, karet dan aluminium. Indonesia menempati posisi ke-14 negara pengekspor utama ke China.
”Kami ingin pengusaha Indonesia bisa menjadi tuan rumah di negara sendiri, bahkan bisa bermain di pasar regional dan kokoh di pasar global,” ujarnya dalam peluncuran aplikasi dagang IDNStore (Indonesia Store) secara virtual di Jakarta.
IDN Store adalah platform dagang digital untuk mempromosikan dan menjual produk Indonesia, khususnya skala kecil menengah (UKM), ke China, Hongkong, dan Taiwan. Aplikasi itu bersifat transaksi bisnis ke bisnis (B2B) maupun bisnis ke konsumen (B2C). Sejak mulai beroperasi pada November 2020, sebanyak 1.000 pelaku usaha Indonesia telah bergabung dalam platform itu.
Kehadiran aplikasi dagang digital itu diharapkan bisa mengatasi permasalahan yang dihadapi pelaku UKM. Selama ini, pelaku UKM dan eksportir baru relatif sulit menjajaki pasar ekspor karena keterbatasan akses pemasaran produk dan penyediaan informasi serta data (intelijen bisnis).
”Ini bagian penting untuk memenetrasi pasar China. Meminjam istilah sepak bola, ini bisa menjadi serangan balik kita setelah selama ini Indonesia digempur banyak platform digital (asal China),” kata Lutfi.
Ini bagian penting untuk memenetrasi pasar China. Meminjam istilah sepak bola, ini bisa menjadi serangan balik kita setelah selama ini Indonesia digempur banyak platform digital (asal China).
Kolaborasi lintas negara
Menurut Lutfi, tren perdagangan ke depan tidak lagi menitikberatkan pada persaingan, tetapi kolaborasi lintas negara. Strategi berdagang tidak lagi sekadar menjual sebanyak-banyaknya dan membeli sesedikit mungkin, tetapi menyeimbangkan di antara keduanya.
”Untuk menjual lebih banyak, di saat bersamaan, kita juga harus mau membuka pasar kita supaya tercipta imbal balik,” katanya.
Pekerjaan rumah untuk mencapai titik keseimbangan perdagangan bilateral itu tidak mudah. Industri dalam negeri harus disiapkan untuk memproduksi barang yang berkualitas dan berdaya saing. Diplomasi dengan China pun perlu lebih giat dilakukan untuk menyeimbangkan ekspor dan impor di antara kedua negara.
Salah satu produk yang ekspornya menjanjikan untuk ditingkatkan adalah sarang burung walet. Indonesia saat ini menduduki peringkat pertama sebagai negara eksportir sarang burung walet ke China dengan pangsa pasar 75,3 persen. Nilai impor sarang burung walet China dari Indonesia pada Januari-November 2020 sebesar 350,93 juta dollar AS, meningkat 88,6 persen dari 2019.
Duta Besar RI untuk China Djauhari Oratmangun mengatakan, kehadiran platform dagang digital sebagai pusat promosi dapat menjadi peluang untuk lebih agresif menggempur pasar China. Namun, dengan pasar yang semakin terbuka, persaingan perdagangan bertambah ketat.
Saat ini, ada beberapa hambatan perdagangan yang harus dilalui Indonesia. ”Kita jangan sampai terlena. Persaingan semakin ketat di China sehingga peraturannya semakin banyak. Proses negosiasi beberapa hambatan ini tidak akan mudah,” ujarnya.
Kita jangan sampai terlena. Persaingan semakin ketat di China sehingga peraturannya semakin banyak. Proses negosiasi beberapa hambatan ini tidak akan mudah.
Pada 12-13 Januari 2021, Indonesia bertemu dengan delegasi China yang dipimpin Menteri Luar Negeri China Wang Yi. Beberapa isu, seperti hambatan nontarif dalam perdagangan Indonesia-China, dibahas.
Wakil Menteri Perdagangan Jerry Sambuaga menuturkan, dalam pertemuan itu, Indonesia meminta Pemerintah China membuka akses pasar lebih luas untuk produk Indonesia, terutama beberapa produk yang dihentikan aksesnya.
Salah satu produk itu adalah porang (konjac chips) yang sejak 1 Juni 2020 tidak bisa lagi dijual karena dinilai tidak memenuhi ketentuan keamanan pangan China. Indonesia telah menyampaikan Questionnaire for Risk Assessment of Konjac Chip lewat nota diplomatik kepada GACC sejak 24 September 2020.
Indonesia juga meminta China membuka akses untuk buah nanas asal Indonesia. Negosiasi untuk kasus ini telah tertunda selama lebih dari empat tahun. ”Indonesia mengharapkan dukungan China agar dapat segera menandatangani protokol ekspor pada 2021 mengingat akses pasar produk buah segar Indonesia ke China masih sangat terbatas,” ujarnya.
Dalam pertemuan itu, Indonesia dan China juga sepakat membentuk Tim Kerja Perdagangan (WGT) untuk meningkatkan perdagangan bilateral dan mengonkretkan perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP).