Sampai akhir 2020 porsi energi baru terbarukan di Indonesia diperkirakan berkisar 11,51 persen atau lebih rendah dari target 13,4 persen. Indonesia mesti berupaya lebih keras untuk mengejar target 23 persen tahun 2025.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meskipun meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya, porsi energi baru dan terbarukan dalam bauran energi di Indonesia pada akhir 2020 diperkirakan 11,51 persen. Pandemi Covid-19 menghambat penyelesaian sejumlah proyek sehingga target 13,4 persen tidak tercapai.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Dadan Kusdiana menyebutkan, porsi bauran energi baru terbarukan (EBT) pada 2020 berkisar 11,51 persen. Capaian itu lebih tinggi dibanding capaian tahun 2019 yang 9,2 persen.
”Capaian yang ada dipengaruhi pandemi Covid-19 yang memundurkan tanggal operasional komersial ke tahun 2021,” ujarnya saat konferensi pers secara daring, Kamis (14/1/2021).
Porsi 11,51 persen itu mencakup total kapasitas pembangkit listrik EBT yang mencapai 10.467 megawatt (MW) pada 2020. Angka itu naik dari posisi tahun 2019 yang 10.291 MW. Kontributor pembangkit yang menduduki urutan tiga teratas yakni panas bumi (2.130,67 MW), bioenergi (1.903,5 MW), dan air (6.121 MW).
Pada akhir 2021, kementerian menargetkan kapasitas total EBT meningkat jadi 11.373 MW. Tambahan itu berasal dari pembangkit listrik tenaga panas bumi (196 MW), tenaga air (557,93 MW), tenaga surya (138,8 MW), dan tenaga biomassa (13 MW). Dampaknya, bauran EBT diharapkan naik menjadi 14,5 persen.
Perkembangan EBT di Indonesia juga tercermin dari realisasi investasi sepanjang 2020 yang diperkirakan mencapai 1,36 miliar dollar AS. Realisasi ini di bawah target 2,02 miliar dollar AS serta di bawah capaian 2019 yang 1,71 miliar dollar AS. Meski demikian, Dadan optimistis realisasi penanaman modal tahun ini dapat mencapai 2,05 miliar dollar AS.
Executive Vice President Divisi Energi Baru dan Terbarukan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN, Cita Dewi memperkirakan, untuk mencapai bauran EBT sebesar 23 persen tahun 2025, Indonesia mesti memiliki pembangkit listrik dengan total kapasitas 19 gigawatt (GW).
”Kami berkomitmen untuk berupaya mengembangkan EBT di atas situasi terkini keseimbangan permintaan dan penawaran (listrik) serta kapasitas pembangkit listrik yang ada secara keseluruhan,” katanya dalam seminar daring yang digelar Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan Institut Teknologi Bandung dan W2POINTS, Kamis.
Saat ini, terdapat pembangunan pembangkit listrik EBT berkapasitas 5 GW yang sedang berlangsung. Pembangkit-pembangkit itu berasal dari tenaga air, surya, dan panas bumi. Dia menambahkan, perusahaan mengupayakan substitusi 5 persen penggunaan batubara dengan biomassa.
Selain itu, PLN juga berencana mengonversi pembangkit listrik tenaga diesel di 2.130 area yang total kapasitasnya 2 GW. Pada tahap pertama, 200 area menjadi sasaran dengan total kapasitas 225 MW.
Dalam seminar yang sama, Asisten Deputi Keamanan dan Ketahanan Maritim Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Basilio Dias Araujo memaparkan, pemerintah tengah berupaya menghasilkan energi dari sampah. Program ini menyasar 12 area di Indonesia.
Sebanyak lima area, yakni Surabaya, Surakarta, DKI Jakarta, Palembang, dan Tangerang, yang telah melalui tahap persiapan penawaran dengan skema non-PPP (public-private partnership). Tujuh kota lainnya, yaitu Jawa Barat, Tangerang Selatan, Semarang, Bali, Makassar, Sulawesi Utara, dan Bekasi, memanfaatkan skema PPP dan masih berada dalam tahap persiapan penawaran.
Dia menyebutkan, ada sejumlah pilihan pendanaan, seperti dana kekayaan negara (sovereign wealth fund) dan kemitraan dengan swasta. ”Saat mengenalkan program ini ke pasar, terdapat 10-30 perusahaan di setiap area yang tertarik,” katanya.
Belum implementasi
Dadan mengatakan, kebijakan B-40 (campuran bahan bakar biodiesel sebanyak 40 persen) belum diimplementasikan pada tahun ini. Pemerintah sudah melaksanakan uji mesin di laboratorium selama 1.000 jam atau setara dengan 50.000 kilometer di lapangan.
Penundaan kebijakan tersebut disebabkan dinamika harga sawit dan bahan bakar minyak (BBM) di taraf global. ”Harga sawit tengah naik dan diperkirakan mencapai nilai tertinggi pada bulan ini atau bulan depan. Dampaknya, selisih antara harga sawit dan harga BBM melebar. Konsumsi juga belum bertambah,” katanya.
Sepanjang 2020, realisasi implementasi kebijakan B-30 mencapai 8,46 juta kiloliter dan berdampak pada penghematan devisa sekitar 2,66 miliar dollar AS. Pada tahun ini, angka tersebut ditargetkan naik menjadi 9,2 juta kiloliter.