Kelebihan pasokan listrik PLN di masa pandemi menciptakan tantangan sekaligus peluang. Merangsang masuknya industri baru dan menaikkan rasio elektrifikasi nasional adalah pekerjaan rumah berikutnya.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
Sepanjang 2020, pasokan listrik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) berlimpah sebanyak lebih dari 16.675 megawatt. Kelebihan pasokan ini bisa menjadi berkah kesiapan menarik investor untuk mendirikan pabrik atau industri agar setrum listrik terjual. Namun, ketersediaan pasokan listrik saja belum cukup.
Pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia sejak awal Maret 2020 lalu memang menjadi masa yang suram bagi segala macam bisnis, tak terkecuali penjualan setrum PLN. Konsumsi listrik PLN turun dari 243,1 terawatt jam (TWh) menjadi 221,87 TWh akibat pembatasan aktivitas selama pandemi. Namun, konsumsi listrik rumah tangga tumbuh 9,96 persen di 2020 lantaran kebijakan bekerja dari rumah.
Kelebihan pasokan listrik sebanyak itu terbesar ada di sistem Jawa-Bali, yaitu mencapai 10.849 MW. Disusul Sumatera 3.308 MW, Sulawesi 1.146 MW, Kalimantan 874 MW, dan Papua 498 MW. Agar tidak salah dipahami, kelebihan listrik bukan mengindikasikan rasio elektrifikasi nasional sudah mencapai 100 persen. Masih ada penduduk atau desa di Indonesia yang sama sekali belum teraliri listrik karena belum terjangkau jaringan listrik PLN.
Naik turun penjualan setrum sangat memengaruhi bisnis PLN. Apalagi, beberapa kontrak jual beli tenaga listrik antara PLN dan produsen listrik swasta berskema take or pay. Dengan skema ini, PLN diwajibkan menyerap listrik dihasilkan dari pembangkit listrik swasta dalam jumlah tertentu dari kapasitas pembangkit. Apabila serapan di bawah kesepakatan, PLN akan dikenai penalti.
Dengan skema take or pay, PLN diwajibkan menyerap listrik dihasilkan dari pembangkit listrik swasta dalam jumlah tertentu dari kapasitas pembangkit.
Lalu, bagaimana agar semua setrum yang dihasilkan bisa laku terjual? Tentu harus ada permintaan. Permintaan ini bisa saja datang dari sektor rumah tangga, bisnis, industri, atau layanan khusus pelanggan PLN. Sayangnya, pandemi Covid-19 menyebabkan aktivitas ekonomi lesu yang berujung pada merosotnya konsumsi listrik nasional.
Untuk merangsang tumbuhnya permintaan, khususnya dari sektor bisnis atau industri, PLN tak bisa berusaha sendiri. Industri atau investor akan datang apabila iklim investasi di Indonesia menarik dan menguntungkan. Memang, sejumlah persyaratan yang dipertimbangkan investor sebelum mendirikan pabrik, misalnya, adalah ketersediaan infrastruktur, seperti jalan raya, pelabuhan, dan kecukupan pasokan listrik.
Hanya saja, pasokan listrik belumlah cukup. Tarif listrik di suatu negara juga berpengaruh terhadap ketertarikan investor. Belum lagi masalah kemudahan perizinan, upah buruh, ataupun kemudahan-kemudahan lain dalam berbisnis. Untuk tarif listrik, PLN berani bersaing lantaran tarifnya masih lebih murah dibanding sejumlah negara di ASEAN di sektor bisnis dan industri.
Menyinggung soal kemudahan berbisnis, faktor ketersediaan pasokan listrik menjadi salah satu indikatornya. Dalam susunan daftar pemeringkatan kemudahan berbisnis yang disusun Bank Dunia pada 2020, kemudahan mendapat akses listrik Indonesia berada di peringkat ke-33 dari 190 negara di dunia. Posisi tersebut membaik dibanding pada 2015 lalu yang ada di peringkat ke-75.
Dalam susunan daftar pemeringkatan kemudahan berbisnis yang disusun Bank Dunia pada 2020, kemudahan mendapat akses listrik Indonesia berada di peringkat 33 dari 190 negara di dunia.
Posisi Indonesia tepat di bawah Filipina yang ada di peringkat ke-32. Untuk kawasan ASEAN, peringkat tertinggi dipegang Malaysia yang ada di posisi ke-4, kemudian Thailand (6), Singapura (19), dan Vietnam (27). Adapun Timor Leste dan Myanmar masing-masing di peringkat ke-126 dan ke-148.
Meski demikian, dalam hal kemudahan berbisnis, Indonesia berada di peringkat ke-73. Di kawasan ASEAN, Indonesia tertinggal dari Vietnam (70), Brunei Darussalam (66), Thailand (21), Malaysia (12), dan Singapura (2). Peringkat kemudahan berbisnis tertinggi dipegang Selandia Baru. Menariknya, kemudahan mendapat listrik di Selandia Baru ada di peringkat 47 atau lebih rendah dari Indonesia. Namun, negara tersebut unggul dalam hal kemudahan perizinan dan birokrasi yang tak rumit.
Jadi, kendati ada limpahan daya listrik lebih dari 16.000 MW, masih ada pekerjaan rumah yang tak kalah penting untuk meningkatkan serapan setrum tersebut. Pekerjaan rumah itu adalah bagaimana mempermudah perizinan berbisnis, penyederhanaan birokrasi, dan kepastian hukum. Tanpa kemudahan-kemudahan seperti itu, pasokan listrik yang melimpah akan menganggur.
Selain itu, tantangan berikutnya adalah menaikkan rasio elektrifikasi nasional menjadi 100 persen. Apa artinya pasokan listrik melimpah, tetapi masih ada penduduk Indonesia yang hidup dalam gelap gulita?