Majunya Keuangan Digital Kenya di Tengah Ketertinggalan Afrika
M-Pesa, layanan keuangan digital di Kenya, dapat menjadi contoh untuk meningkatkan inklusi keuangan. Dukungan pemerintah diperlukan untuk menyusun regulasi dan menyediakan fasilitas, termasuk infrastruktur digital.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
Pembayaran digital di Nairobi, Kenya, dapat dikatakan sudah menjadi budaya, bahkan lebih maju daripada banyak negara Barat. Perusahaan M-Pesa dinilai telah berhasil meningkatkan inklusi keuangan dengan memperluas akses keuangan digital di Kenya.
Dalam buku The Digital Banking Revolution (2020) dijelaskan, pembayaran digital M-Pesa yang telah membudaya di Kenya terlihat dari keseharian masyarakat, mulai dari naik taksi hingga membeli minuman dan makanan di toko. Pada 2018, M-Pesa menangani 1,7 miliar transaksi per tahun, setengah dari Produk Domestik Bruto (PDB) Kenya.
Bank Dunia mencatat, pada 2018 diperkirakan 96 persen orang Kenya telah menggunakan ponsel mereka untuk bertransaksi. Layanan M-Pesa memampukan pengguna untuk melakukan transfer, membayar tagihan, dan membeli pulsa telepon.
Fenomena Kenya menjadi anomali di Benua Afrika. Secara keseluruhan di Benua Afrika, transaksi tunai masih sangat mendominasi, mencapai 80 persen dari total transaksi. Luigi Wewege dan Michael C Thomsett, penulis buku ini, menggambarkan betapa terbelakangnya sistem pembayaran di Afrika.
Cepatnya perkembangan M-Pesa yang diluncurkan pada 2007 disebabkan sistem pengiriman uang melalui ponsel sangat membantu masyarakat dalam mentransfer uang secara aman, cepat, dan dalam jarak jauh. Pengguna pun hanya perlu mendaftar dengan Safaricom untuk akun M-Pesa, tidak memerlukan rekening bank.
Sejalan dengan itu, dalam buku Bank 4.0: Banking Everywhere, Never at a Bank (2019) disebutkan, ada lebih dari 200.000 agen atau distributor M-Pesa yang tersebar di seluruh Kenya. Para agen membantu pelanggan untuk mengubah uang tunai menjadi uang elektronik.
Pesatnya perkembangan keuangan digital membuat perbankan konvensional di Kenya mulai ditinggalkan. Jumlah agen M-Pesa kini melebihi setiap cabang bank, mesin ATM, penyedia penukaran mata uang, dan penyedia keuangan lainnya di Kenya. Bank Sentral Kenya memperkirakan, dengan adanya layanan pembayaran digital, rata-rata orang Kenya menabung 20 persen lebih banyak dari sebelumnya.
Dengan adanya M-Pesa, orang Kenya lebih memercayai ponsel mereka daripada uang tunai dalam hal keamanan dan utilitas. Bahkan, mereka menjahit kartu SIM (Subscriber Identity Module) ke pakaian atau menyembunyikannya di sepatu sehingga dapat membawa uang dengan lebih aman.
Semua layanan keuangan digital ini dimungkinkan karena M-Pesa dibuat oleh operator telekomunikasi Safaricom yang telah memiliki jangkauan luas. Saat ini, setidaknya 40 persen dari PDB Kenya didapat melalui layanan M-Pesa.
Dukungan
Kesuksesan perusahaan M-Pesa dalam pendiriannya juga melibatkan Vodafone, perusahaan telekomunikasi swasta berbasis di Perancis, dengan mitra lokal dalam membentuk perusahaan baru bernama Safaricom. Berkembangnya inklusi keuangan di Kenya tidak lepas dari peran dan dukungan pemerintah.
Studi kasus oleh International Finance Corporation menunjukkan, kesuksesan M-Pesa didorong oleh dukungan regulasi, khususnya Bank Sentral Kenya. Bank ini bekerja sama dengan Safaricom untuk memberikan lampu hijau terhadap layanan M-Pesa.
Sementara itu, di Indonesia, dari 100 orang terdapat lebih dari 76 orang yang bisa mengakses layanan (inklusi) lembaga keuangan. Namun, baru 38 orang yang memahami bagaimana memanfaatkannya (literasi).
Dengan kata lain, masyarakat menggunakan produk keuangan tanpa pemahaman memadai tentang pengelolaannya. Data ini merupakan hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 2019.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, berpendapat, pemerataan dan perluasan inklusi keuangan dapat ditopang dengan adanya digitalisasi. Namun, persoalan berikutnya memang infratruktur digital yang belum memadai.
”Digitalisasi sudah pasti membutuhkan infrastruktur dan butuh dana besar. Untuk itu, perannya bukan hanya di pemerintah, tetapi bisa mengajak swasta, termasuk perusahaan telekomunikasi yang tertarik memperkuat infrastruktur digital,” ujar Esther.
Sebelumnya, Kepala Departemen Literasi dan Inklusi Keuangan OJK Kristrianti Puji Rahayu menuturkan, kolaborasi memang sangat penting guna menumbuhkan inklusi dan literasi keuangan. OJK bersinergi dengan sejumlah kementerian atau lembaga untuk meningkatkan literasi dan inklusi keuangan.
Kementerian Dalam Negeri, misalnya, telah menyediakan anggaran bagi satuan kerja perangkat daerah agar dapat merealisasikan operasionalisasi program kerja Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah. Adapun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggelar program Kejar atau Satu Rekening Satu Pelajar.
”Kami juga bekerja sama dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi untuk meningkatkan peran BUMDes Center, sedangakan dengan Kementerian Pertanian untuk asuransi pertanian,” kata Kristrianti (Kompas, 16 Oktober 2020).