Merosotnya pendapatan membuat pemerintah tak punya banyak pilihan untuk membiayai penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi selain dengan berutang. Beban berat tahun lalu mesti dipikul untuk mengawali tahun 2021.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
Indonesia harus memikul beban berat tahun lalu untuk mengawali tahun 2021. Merosotnya pendapatan negara dan meningkatnya utang pemerintah berisiko memperkecil ruang fiskal yang akhirnya mengganggu proses pemulihan ekonomi tahun ini.
Kinerja APBN sepanjang 2020 baru akan diumumkan pertengahan Januari 2021. Namun, Kementerian Keuangan memproyeksikan pendapatan negara yang terdiri dari penerimaan pajak, bea cukai, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) berpotensi turun hingga 15 persen. Angka penurunan itu jauh lebih tajam dari perkiraan sebelumnya di kisaran 10 persen.
Anjloknya pendapatan negara ditengarai karena penerimaan pajak yang tertekan. Penerimaan pajak per 30 November baru terealisasi Rp 925,34 triliun atau turun 18,55 persen dari periode sama tahun lalu. Penurunan penerimaan pajak berdampak signifikan karena kontribusinya mencapai 70 persen dari total pendapatan negara.
Jika penerimaan pajak tahun 2020 benar turun 15 persen, realisasinya akan sekitar Rp 965,71 triliun atau terendah sejak tahun 2014. Saat itu, realisasi penerimaan pajak sebesar Rp 985 triliun atau 91,9 persen target APBN. Mundurnya kinerja penerimaan pajak ke periode enam tahun lalu menjadi lampu kuning bagi pemerintah.
Tekanan terhadap penerimaan pajak disebabkan oleh berbagai faktor. Harus diakui, krisis Covid-19 memperlambat kegiatan ekonomi rumah tangga dan korporasi yang berdampak ke penurunan setoran pajak. Belum lagi pemerintah memberikan berbagai insentif untuk menstimulasi ekonomi yang berimplikasi ke hilangnya potensi penerimaan.
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan memperkirakan hilangnya potensi penerimaan pajak mencapai Rp 80 triliun per tahun akibat penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) badan. Tarif PPh badan diputuskan turun bertahap dari 25 persen menjadi 22 persen pada 2020 dan 2021 kemudian 20 persen pada 2022.
Di sisi lain, tren penurunan penerimaan pajak sudah terjadi sebelum krisis Covid-19. Kondisi ini tecermin dari penurunan rasio pajak atau perbandingan antara penerimaan pajak dan produk domestik bruto (PDB) dari 10,76 persen pada 2015 menjadi 9,76 persen tahun 2019. Rasio pajak bahkan dua kali menyentuh satu digit pada 2019 dan 2017 yang 9,89 persen.
Akibat pendapatan negara merosot tajam, pemerintah tak memiliki banyak pilihan untuk membiayai kebutuhan penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi selain dengan berutang. Rasio utang pemerintah melonjak signifikan dari 29,8 persen pada Desember 2019 menjadi 38,13 persen pada November 2020.
Utang bersumber dari penambahan penerbitan surat berharga negara (SBN). Sepanjang tahun 2020, pemerintah menerbitkan SBN secara gros mencapai Rp 900,4 triliun. Selain membayar bunga utang, tambahan penerbitan SBN untuk membiayai pelebaran defisit APBN 2020 ke level 6,34 persen PDB atau senilai Rp 1.039,2 triliun.
Reformasi pendapatan
Pemerintah terbilang jor-joran menggunakan instrumen APBN untuk menyelamatkan ratusan juta nyawa dan pekerjaan akibat pandemi Covid-19. Namun, belanja yang semakin tinggi ditambah anjloknya pendapatan akibat resesi dan pemotongan tarif PPh badan memperlebar defisit fiskal dan kebutuhan pembiayaan tahun 2020.
Peningkatan utang akibat besarnya kebutuhan pembiayaan berisiko memperketat ruang fiskal dalam jangka panjang jika tidak ada reformasi yang dilakukan terkait pendapatan negara. Bank Dunia memproyeksikan pembayaran bunga utang akan naik menjadi rata-rata 2,4 persen PDB per tahun pada 2021-2022, dibandingkan pada 2019 sebesar 1,7 persen PDB.
Pembayaran bunga utang ini dapat terus meningkat tanpa adanya reformasi. Karena itu, pemerintah mesti menyusun strategi agar instrumen APBN tidak hanya mendukung pemulihan ekonomi atau merespons krisis Covid-19 sementara, tetapi mencapai tujuan jangka menengah panjang.
Bank Dunia memproyeksikan pembayaran bunga utang akan naik menjadi rata-rata 2,4 persen PDB per tahun pada 2021-2022.
Bank Dunia merekomendasikan beberapa reformasi pendapatan negara yang bisa ditempuh. Salah satunya meningkatkan PPh untuk orang-orang berpenghasilan tinggi, serta menaikkan cukai produk yang berdampak negatif bagi kesehatan dan lingkungan, seperti tembakau, bahan bakar fosil, kantong plastik sekali pakai, dan mengurangi subsidi energi.
Pemerintah juga diminta tetap mengoptimalkan penerimaan dari pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) produk digital luar negeri yang dijual kepada konsumen domestik. Sejauh ini tercatat ada 51 perusahaan asing yang sudah memungut PPN, antara lain Netflix, Spotify, Microsoft Corporation, Linkedin, Skype, Zoom Video Communications, dan Tiktok.
Potensi penerimaan PPN atas perdagangan melalui sistem elektornik (PMSE) memang tidak besar. Angkanya sekitar Rp 10,4 triliun dengan asumsi nilai transaksi tahun 2017 sebesar Rp 104,4 triliun. Namun, pungutan PPN atas PMSE ini akan memperbesar basis pajak dalam negeri untuk mendorong peningkatan penerimaan masa depan.
Penurunan pendapatan negara terutama pajak dan peningkatan utang pemerintah tak bisa dihindari. Namun, potensi risiko masa depan masih bisa diantisipasi dengan konsistensi reformasi. Semua pihak berharap 2021 bukan hanya jadi tahun pemulihan sementara, melainkan juga menjadi pijakan yang kokoh bagi perekonomian Indonesia di masa depan.