Tak mudah untuk mendapatkan investasi sebesar Rp 5.900 triliun di tengah ekonomi yang masih lesu akibat pandemi Covid-19. Apabila tak terwujud, target pertumbuhan ekonomi 5 persen pada 2021 sulit tercapai.
Oleh
M Fajar Marta
·4 menit baca
Indonesia membutuhkan investasi sebesar Rp 5.900 triliun untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 5 persen pada 2021, dengan asumsi rasio ICOR sebesar 6,77. ICOR atau incremental capital output ratio merupakan angka yang menunjukkan besarnya tambahan investasi yang dibutuhkan untuk menambah satu unit output. Rasio ICOR 6,77 berarti dibutuhkan investasi sebesar Rp 6,77 untuk menghasilkan tambahan output atau produk domestik bruto senilai Rp 1.
ICOR menjadi salah satu parameter yang menunjukkan tingkat efisiensi investasi suatu negara. Semakin kecil ICOR, semakin sedikit investasi yang dibutuhkan untuk menghasilkan output tertentu. ICOR Indonesia relatif tinggi dibandingkan dengan negara-negara peer, seperti Filipina yang sebesar 3,7; Thailand yang 4,5; Malaysia 4,6; dan Vietnam yang sebesar 5,2.
Tentu tak mudah untuk mendapatkan investasi sebesar Rp 5.900 triliun di tengah ekonomi yang masih lesu akibat pandemi Covid-19. Dilihat dari sumbernya, pembiayaan investasi berasal dari anggaran dan utang pemerintah/BUMN, kredit perbankan, pasar modal, investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI), utang luar negeri swasta, dan tabungan masyarakat.
Kontribusi pemerintah diperkirakan sekitar 6 persen atau Rp 350 triliun dan BUMN sekitar 7 persen atau Rp 400 triliun. Ini berarti bagian terbesarnya, sekitar 87 persen, diharapkan dari swasta dan asing.
Dari pasar modal, dana investasi antara lain diperoleh melalui penerbitan saham perdana (initial public offering/IPO), penawaran umum terbatas (PUT), dan penerbitan obligasi. Pada 2021, Bursa Efek Indonesia menargetkan 30 perusahaan melakukan IPO.
Sebagai perbandingan, hingga minggu ketiga Desember 2020, terdapat 45 perusahaan yang melakukan IPO dan 16 perusahaan menggelar PUT. Total saham yang dilepas mencapai Rp 26 triliun. Adapun emisi obligasi dan sukuk yang diterbitkan korporasi pada periode yang sama mencapai Rp 91,3 triliun.
Sementara itu, BKPM memproyeksikan realisasi penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) pada 2021 mencapai total Rp 850 triliun. Hingga triwulan III-2020, total PMA mencapai 21 miliar dollar AS atau setara Rp 294 triliun pada kurs Rp 14.000 per dollar AS. Pada periode yang sama, total PMDN mencapai Rp 310 triliun.
Seiring membaiknya perekonomian global dan domestik pada 2021, dana investasi swasta yang diperoleh dari pasar modal dan FDI diperkirakan akan sedikit lebih baik dibandingkan pada 2020.
Bagaimana dengan kontribusi perbankan dalam menyalurkan kredit untuk kegiatan investasi tahun 2021?
Otoritas Jasa Keuangan memproyeksikan pertumbuhan kredit perbankan sebesar 6-7 persen tahun 2021. Jika menilik pencapaian 2020, target 2021 cukup berat dicapai.
Per November 2020, posisi kredit perbankan sebesar Rp 5.447,49 triliun, terkontraksi sebesar minus 1,39 persen dibandingkan periode sama tahun lalu. Bahkan, secara secara tahun berjalan (year to date/ytd), kredit perbankan terkontraksi minus 3,02 persen.
Ini menandakan kemampuan perbankan dalam menyalurkan kredit menurun drastis pada 2020, yang kemungkinan bakal berlanjut pada 2021. Memang, permintaan kredit juga menurun tajam pada 2020 seiring lesunya sektor riil akibat hantaman pandemi Covid-19. Namun, di sisi lain, perbankan juga cenderung enggan menyalurkan kredit ke sektor riil yang membutuhkan pembiayaan.
Terdapat dua faktor utama yang membuat perbankan mengerem penyaluran kreditnya. Pertama, meskipun rasio kredit bermasalah (NPL) gros yang tercatat tergolong rendah, hanya 3,18 persen, kredit berisiko atau loan at risk (LAR) terbilang tinggi.
Tingginya LAR terindikasi dari jumlah kredit yang direstrukturisasi, yang mencapai Rp 951,23 triliun dari 7,53 debitor per akhir November 2020. Rasio LAR terhadap total kredit mencapai 17,5 persen.
Sebagai bentuk kehati-hatian, perbankan pun melakukan pencadangan kerugian yang cukup besar, yang mengurangi keleluasaan dalam menyalurkan kredit.
Kedua, selama pandemi, perbankan mendapatkan sumber pendapatan lain yang tergolong zero risk, tetapi tetap menawarkan return yang lumayan, yakni membeli surat utang negara yang biasa disebut surat berharga negara (SBN).
Selama pandemi, perbankan praktis hanya menggunakan likuiditasnya untuk membeli SBN. Sejak Maret 2020, perbankan telah memborong SBN sekitar Rp 700 triliun sehingga per 6 Januari 2020, kepemilikan SBN oleh perbankan mencapai Rp 1.501 triliun atau sekitar 23 persen dari total dana pihak ketiga perbankan.
Strategi perbankan pada 2021 kemungkinan tak akan banyak berubah dibandingkan 2020. Perbankan akan menunggu sektor riil betul-betul pulih untuk mau menyalurkan kredit seperti sebelum pandemi. Namun, sepertinya perekonomian masih diliputi ketidakpastian yang besar pada 2021 mengingat ancaman covid-19 belum ada tanda-tanda mereda. Pemberian vaksin juga tidak akan serta-merta memulihkan perekonomian dalam waktu singkat.
Karena itu, sulit mengharapkan perbankan bisa berkontribusi optimal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.