Pasang Surut Sriwijaya Air, Penerus Imperium Sriwijaya
Pendiri Sriwijaya Air, Chandra Lie dan Hendry Lie, memilih nama Sriwijaya bukan tidak sengaja. Mereka ingin maskapai itu dapat mengekor kebesaran kerajaan maritim terbesar di Asia Tenggara itu.
JAKARTA, KOMPAS — Ketika air operator certificate atau AOC Sriwijaya Air diterbitkan pada 28 Oktober 2003, terdengar kasak-kusuk di kalangan pemerhati penerbangan. ”Bukannya Sriwijaya itu kerajaan maritim? Kok, jadi nama penerbangan?”. Faktanya, Sriwijaya Air mampu mewarnai dunia penerbangan Indonesia.
Nama Sriwijaya memang dipilih oleh pendiri oleh Sriwijaya Air, Chandra Lie dan Hendry Lie, agar maskapai itu dapat mengekor kebesaran kerajaan maritim terbesar di Asia Tenggara itu. Visi itu dicantumkan di situs maskapai itu.
Lie bersaudara memang bukan dari Palembang, tapi asal Pangkal Pinang, Pulau Bangka. Namun, pada masa silam, Pulau Bangka adalah wilayah dari Sriwijaya. Berlatar belakang pebisnis garmen, Chandra Lie mengawali bisnis penerbangannya dengan hanya berbekal satu unit Boeing 737-200. Pesawat itu melayani rute Jakarta menuju Pangkal Pinang, kampung halamannya, pulang-pergi.
Kemudian, melayani rute Jakarta-Palembang, Jakarta-Jambi, dan Jakarta-Pontianak. Pada akhir tahun 2004, Sriwijaya Air yang mulai mendapat angin, mendatangkan lagi empat unit Boeing 737-200.
Sriwijaya Air, yang berdasarkan akta didirikan empat orang, yakni Chandra Lie, Hendry Lie, Johannes Bunjamin, dan Andy Halim, kemudian mulai diakui orang. Sebagian orang lainnya juga mulai mencari tahu tentang Chandra Lie, yang tidak terlalu dikenal di dunia penerbangan.
Peruntungan dari Sriwijaya Air boleh jadi merupakan berkah dari deregulasi industri penerbangan. Hal ini tidak lepas dari UU Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara.
Deregulasi penerbangan itu memungkinkan siapa pun bisa mendirikan maskapai penerbangan dengan hanya dua atau bahkan satu unit pesawat. Penambahan pesawat dan juga rute dilakukan seiring pendapatan yang terus bertambah. Sebelum Sriwijaya Air mengangkasa, telah ada Lion Air (1999), Indonesia Airasia (1999), dan Citilink Indonesia (2001). Ketika Sriwijaya Air mengudara pada tahun 2003, juga mengudara armada Wings Abadi Airlines (2003) dan XpressAir (2003).
Sementara Cardig Air dan Susi Air menyusul pada tahun 2004. Kemudian, ikut mengangkasa Transnusa Aviantion Mandiri pada 2005.
Kehadiran Sriwijaya Air langsung mendisrupsi perilaku bertransportasi warga Bangka untuk keluar masuk pulau. Hanya dalam enam bulan, kapal cepat Pangkal Pinang-Jakarta berhenti beroperasi. Tidak mampu bersaing.
Betapa tidak, Sriwijaya Air pada akhir tahun 2003 menjual tiket Jakarta-Pangkal Pinang seharga Rp 175.000 untuk penerbangan selama 1 jam 15 menit. Sementara tarif kapal cepat Rp 155.000-Rp 165.000 untuk 10 jam pelayaran. Warga Bangka jelas memilih terbang untuk mencapai Jakarta.
Baca Juga: Pencarian Jatuhnya Pesawat Sriwijaya Air
Sriwijaya Air kemudian terus berekspansi. Pada April 2005, misalnya, Sriwijaya Air mendarat di Solo. Itu kabar baik karena tadinya masyarakat Solo Raya hanya dilayani Garuda Indonesia dan Lion Air yang membuka rute Solo-Jakarta.
Sriwijaya Air bahkan punya strategi terbang dari Jakarta pada pukul 08.00, lebih pagi daripada Garuda Indonesia dan Lioan Air. ”Businessman dari Jakarta ke Solo dapat terlayani, begitu pula sebaliknya,” kata Maharani, yang saat itu menjadi District Manager Sriwijaya Air Wilayah Semarang yang membawahi wilayah Solo.
Menjelang akhir 2005, Sriwijaya Air telah mengoperasikan 14 unit pesawat Boeing 737-200. Chandra Lie pun mengumumkan akan mendatangkan 10 unit Boeing 737-300 dan B737-400. Sriwijaya Air pun akan terbang dengan pesawat yang setipe dengan Garuda Indonesia. Sriwijaya Air mulai menantang Garuda, meski Chandra Lie selalu merendah apabila ada yang mencoba menyandingkannya Sriwijaya Air dengan Garuda.
Rencana untuk mendatangkan Boeing dengan tipe yang lebih baru itu juga sejalan dengan rencana Sriwijaya Air untuk ekspansi hingga regional. Sriwijaya Air berekspansi ke Penang dan Singapura, yang dulunya menjadi bagian dari wilayah imperium Sriwijaya.
Tahun 2010, Sriwijaya Air telah mengoperasikan 27 unit pesawat dengan mengangkut 7,12 juta orang. Sriwijaya Air menguasai 11,8 persen pasar penerbangan domestik Indonesia di bawah Lion Air, Garuda Indonesia, dan Batavia Air. Dua tahun kemudian, Sriwijaya Air menyalip Batavia Air sehingga menempati posisi ketiga.
Pada tahun 2010 itu, kabar-kabar positif terdengar dari Sriwijaya Air. Pada Oktober 2010, Sriwijaya Air menandatangani kontrak pengadaan 20 unit Boeing 737-800 NG, yang juga digunakan Garuda Indonesia.
Sriwijaya Air menguasai 11,8 persen pasar penerbangan domestik Indonesia di bawah Lion Air, Garuda Indonesia, dan Batavia Air.
Selang beberapa minggu, Sriwijaya Air menandatangani kontrak pengadaan 20 unit Embraer dari Brasil. Pesawat Embraer ini setipe dengan Bombardier yang didatangkan Garuda.
”Penambahan 20 unit pesawat baru pada Sriwijaya Air ini juga merupakan jawaban atas tawaran menarik yang dilontarkan Direktorat Angkutan Udara Kementerian Perhubungan untuk ambil bagian dalam penyediaan 4.000 kursi ke Australia pada tahun 2011,” kata Direktur Utama Sriwijaya Air Chandra Lie, Jumat (12/11/2010), kepada Kompas.
Meski bersaing, Sriwijaya Air kemudian memercayakan pemeliharaan dan perbaikan pesawatnya di Garuda Maintenance Facilities atau GMF AeroAsia. Sebelumnya, Sriwijaya Air merawat semua pesawat jenis Boeing 737 di Singapore International Airlines Engineering Company (SIAEC) dan Malaysia Airlines (MAS). Tahun 2011, giliran Sriwijaya Air ekspansi ke Indonesia timur yang ditandai dengan pembukaan penerbangan rute Makassar-Sorong-Manokwari, Senin (4/7/2011).
Awal tahun 2012, Sriwijaya Air telah terbang ke Manokwari dan Sorong di Papua. Kemudian, terbang menuju Ambon, Kupang, Ternate, dan Manado. Pertengahan 2012, seiring kehadiran Boeing 737-800 NG, Sriwijaya Air juga terbang menuju Biak dan Jayapura.
Sriwijaya Air pun mulai menghadirkan kelas bisnis di armada B737-800 NG mereka. Kompas menghadiri peluncuran kelas bisnis itu pada Selasa (15/5/2012) di Hanggar II Garuda Maintenance Facilities (GMF) AeroAsia di Cengkareng, Banten.
Sebelum kehadiran B737-800 NG, pada Senin (9/4/2012) malam, Sriwijaya Air juga menerima Boeing 737-500 yang pertama. Meski demikian, sebagian dari B737-500 Sriwijaya Air kemudian dialihkan kepada NAM Air, anak perusahaan Sriwijaya Air.
Tahun 2016, Sriwijaya Air makin tak terbendung. Chandra Lie menargetkan tahun itu sebagai tahun pertumbuhan. Armada Sriwijaya Air telah diperkuat dengan 47 unit pesawat. ”Saat ini harga avtur sedang rendah, membuat biaya operasional kami tak terlalu besar. Apalagi, pesawat yang dimiliki adalah pesawat milik sehingga tidak ada beban cicilan kredit,” ujar Chandra, Selasa (28/6/2016).
Baca Juga: Panglima TNI: Bagian Pesawat Sriwijaya Ditemukan di Kedalaman 23 Meter
Untuk mendorong pertumbuhan, Chandra memberikan modal rugi untuk membuka rute-rute baru yang belum pernah diterbangi maskapai lain. ”Tentu ada perhitungan bisnis sampai berapa jauh bisa merugi untuk rute baru. Kalau pasarnya belum terbentuk, pasti rugi,” katanya.
Sriwijaya Air juga telah menerbangan rute ke China. Yang dibidik Sriwijaya Air adalah wisatawan China yang membanjiri dunia termasuk ke Indonesia. ”Kami sudah mempunyai pengalaman internasional dengan mengangkut turis China. Sekarang kami ingin terbang ke Jeddah,” kata Direktur Komersial Sriwijaya Air Toto Nursatyo.
Untuk dapat memenuhi ambisi mendatangkan 15 unit pesawat per tahun, Sriwijaya Air sempat menargetkan penawaran umum perdana saham atau IPO pada Maret 2017.
Rencana IPO itu tidak terdengar kabarnya. Padahal, waktu itu, Chandra Lie sangat optimismis terlebih dengan necara keuangan Sriwijaya Air yang tidak lagi merah. Tahun 2016, Sriwijaya Air bahkan sudah bagi-bagi bonus ke karyawan.
Hingga 2016, Sriwijaya Air Group memiliki 46 kota tujuan domestik dan tujuh rute penerbangan regional. Pada November 2018, tiba-tiba Garuda Indonesia Group, melalui anak perusahaannya, yakni PT Citilink Indonesia, mengambil alih pengelolaan operasional Sriwijaya Air dan NAM Air.
”Pada tahap awal, Garuda Group hanya mengambil alih manajemen, tidak ada investasi. Namun, kami memiliki opsi untuk membeli saham Sriwijaya setelah lima tahun kerja sama,” kata Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk Ari Askhara, ketika itu, kepada Kompas, di Jakarta, Rabu (14/11/2018).
”Kerja sama operasi ini ditujukan membantu Sriwijaya Air Group memperbaiki kinerja operasi dan keuangan, termasuk dalam hal memenuhi komitmen atau kewajiban mereka terhadap pihak ketiga yang di antaranya ada pada lingkungan Garuda Indonesia Group,” kata Ari.
Tidak ada cukup informasi untuk mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi di Sriwijaya Air. Maskapai itu juga bukan perusahaan publik sehingga kinerja manajemen dan keuangannya tidak mudah didapat, apalagi dibedah.
Namun, ternyata, kerja sama itu tidak otomatis dapat membalikkan lagi kinerja Sriwijaya Air. Akibat tidak mampu membayar utang Rp 810 miliar kepada GMF AeroAsia, Sriwijaya Air Group tidak lagi mendapat jasa perawatan armada dari GMF sejak 25 September 2019 (Kompas, 1/10/2019).
Konflik antara Sriwijaya Air dan Garuda pun terdengar pada tahun 2019. Pengamat penerbangan Alvin Lie pun menyarankan agar manajemen dua maskapai ini memperbaiki komunikasi. Bagi Alvin, konflik antara dua manajemen jangan sampai mengganggu layanan publik.
Bulan Januari 2020, mengawali tahun baru, ”pilot” baru Sriwijaya Air, Jefferson Jauwena, mengatakan, maskapai itu kini fokus mengembalikan kepercayaan konsumen.
Tahun 2019, armada Sriwijaya Air yang beroperasi berkurang dari 24 pesawat jadi sembilan pesawat. Rute penerbangan otomatis berkurang, tapi Sriwijaya Air berniat mengembalikan layanan maskapai itu demi meraih kembali pelanggannnya.
Baca Juga: Kabar Duka dari Kepulauan Seribu
Namun, dua bulan setelah itu, Maret 2020, Covid-19 menerjang Indonesia. Berbagai maskapai di seluruh dunia berguguran. Garuda Indonesia, flag carrier Indonesia, pun tidak luput dari kesulitan, apalagi maskapai-maskapai swasta nasional.
Kesulitan serupa terdengar dari maskapai-maskapai di seluruh dunia. Dengan ketidakpastian itu, salah satu orang terkaya di dunia, Warren Buffett, pada Mei 2020 memilih cut loss, melepas seluruh kepemilikannya pada empat maskapai Amerika. Buffett melihat suramnya bisnis penerbangan setidaknya dalam jangka pendek.
Industri penerbangan belum sepenuhnya pulih bahkan hingga awal 2021. Satu per satu pesawat kemudian mulai lepas landas meski dibayangi kabar lonjakan kasus positif Covid-19.
Kinerja maskapai ibarat burung yang hendak terbang, tapi kakinya selalu ditarik kembali oleh kabar-kabar kurang baik dari penyebaran Covid-19. Pada Sabtu (9/1/2021) sore pun, kita dengar kabar duka dari Kepulauan Seribu.