Sejak pembatasan sosial berskala besar tahun lalu, gerak sektor perdagangan ritel tertekan, sebagian peritel telah tumbang. Tahun ini, ”ujian” sepertinya belum akan berakhir sebab pembatasan digelar lagi.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
Pusat perbelanjaan dan mal telah sejak lama menjadi ruang interaksi sosial. Selain tempat belanja, mal juga jadi tempat jalan, bertemu, atau sekadar menongkrong untuk bertukar cerita. Sayangnya, pandemi Covid-19 mengubah drastis pemandangan itu.
Kala pemerintah menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) pertama kali tahun lalu, pengunjung berkurang, dan sebagian gerai tutup. Menonton bioskop di mal pun tak lagi jadi opsi hiburan karena keharusan menjaga jarak fisik dan menghindari penularan virus.
Meski dapur tetap mengepul, kursi-kursi di restoran dan kafe berada di atas meja. Pelayan tak lagi memberikan nampan berisi piring atau mangkuk yang menguapkan uap panas. Mereka memberikan makanan-minuman dalam kemasan rapat untuk dibawa pulang atau diantarkan kepada konsumen.
Tak banyak yang berubah dari gerai ritel yang menjual barang kebutuhan sehari-hari dan barang konsumsi bergerak cepat (FMCG), kecuali masker yang dikenakan pengunjung dan karyawan. Lorong-lorong gerai tampak lebih lengang dibandingkan dengan sebelum pandemi.
Laporan Nielsen Report on Covid-19 Impact to Mall Visit Behavior di Indonesia menyebutkan, sebelum pandemi Covid-19, tingkat kunjungan ke mal mencapai 100 persen. Ketika PSBB diberlakukan, tingkat kunjungan menurun jadi 49 persen. Kunjungan naik lagi ke posisi 67 persen saat kebijakan PSBB dicabut.
Pertentangan
Publikasi Deloitte memaparkan masa depan mal melalui risetnya berjudul ”The future of mall: Building a new kind of destination for the post-pandemic world”. Riset ini muncul berdasarkan survei terhadap pemilik mal dan pelaku ritel di Kanada.
Penelitian itu menyebutkan, pengunjung mal mengalami pertentangan batin di tengah pandemi. Mereka ingin keluar-masuk pusat perbelanjaan secepat mungkin. Namun, mereka juga membutuhkan interaksi sosial yang dapat terjadi di dalam mal.
Di tengah konflik itu, sebuah gagasan membuat ruang komunitas di mal yang memungkinkan pengunjung bertemu dan bersosialisasi dengan aman dan nyaman muncul. Ide ini muncul seiring pelonggaran aturan pembatasan jarak fisik yang membuat orang mengidam-idamkan interaksi sosial.
Selain itu, konsumen mengharapkan mal jadi destinasi yang memadukan aspek rekreasi, hiburan, interaksi sosial, hingga kesehatan fisik dan mental. Contohnya ”medi-mall”, mal yang berpadu dengan layanan kesehatan, farmasi, klinik, terapi, dan spa.
Konsep-konsep itu bisa jadi alasan bagi konsumen untuk berkunjung ke mal. Riset Deloitte juga menyatakan, mal yang hanya memiliki fungsi tunggal, seperti berbelanja, sulit menjaga relevansinya.
Laporan Nielsen yang sama mengemukakan pergeseran alasan konsumen ke mal. Sebelum pandemi, lebih dari 70 persen responden berkunjung ke mal untuk membeli makanan cepat saji atau minuman kekinian dan ke bioskop. Setelah pandemi, tiga alasan teratas mengunjungi mal menjadi berbelanja kebutuhan sehari-hari (65 persen responden), penyegaran dan mencari suasana baru (65 persen), serta membeli kudapan (64 persen).
Makan di restoran bisa jadi sarana penyegaran. Oleh sebab itu, Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah menyoroti dampak kebijakan PSBB terhadap pengunjung pusat perbelanjaan yang ingin makan di tempat (dine-in). PSBB membuat restoran mesti mengurangi pengunjung hingga 50 persen dari kapasitas. Belum lagi jam operasional yang turut berkurang.
Kelesuan sektor ritel diperkirakan berlanjut awal tahun ini. Sebab, pemerintah kembali membatasi kegiatan guna menekan penularan Covid-19 selama 11-25 Januari 2021. Pembatasan, antara lain, ditempuh dengan membatasi jam operasional pusat perbelanjaan hingga puku 19.00, sementara restoran hanya boleh melayani makan dan minum di tempat 25 persen dari kapasitas.
Paduan
Dengan kondisi seperti itu, menurut Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Fernando Repi, paduan antara pengalaman belanja fisik dan dalam jaringan atau multisaluran (omnichannel) tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Oleh karena itu, pelaku ritel mesti berinvestasi pada pengadaan teknologi informasi untuk mewujudkan pengalaman belanja tersebut. Ritel juga menyediakan fitur belanja-antar lewat Whatspp serta berkolaborasi dengan e-dagang ataupun perusahaan jasa pengantaran untuk melayani konsumen secara daring.
Penelitian Deloitte menyatakan, teknologi peran baru bagi ritel terhadap pengalaman belanja konsumen. Karena sudah terbiasa meriset produk yang hendak dibeli secara daring, konsumen datang ke gerai ritel dan sudah mengetahui barang yang diinginkan secara spesifik. Contoh teknologi digital yang dapat diterapkan, pengalaman mencoba produk berbasis realitas virtual (AR/VR) atau sistem yang mampu mengumpulkan pesanan dari beragam gerai ritel untuk diambil di satu titik.
Walaupun mesti menghabiskan sebagian besar waktu di tempat tinggal, keinginan untuk belanja, jalan-jalan, dan menongkrong di mal tak pudar. Kini saatnya peritel dan pengelola pusat perbelanjaan menarik langkah ke belakang dan ancang-ancang adaptasi agar ke depan bisa melesat.
Para pelaku usaha, termasuk peritel, berharap segenap pembatasan bisa segera menekan angka penularan dan kasus Covid-19. Dengan demikian, masyarakat bisa lebih leluasa beraktivitas di luar rumah. Kelompok menengah-atas yang menyokong konsumsi nasional pun terdorong untuk lebih banyak berbelanja. Hal ini penting mengingat konsumsi rumah tangga menopang 55-57 persen produk domestik bruto Indonesia.