Mendorong Ekonomi Hijau Melalui Pemanfaatan Energi Baru Terbarukan
Penggunaan energi baru terbarukan harus terus didorong untuk menjaga kelestarian lingkungan. Meski diperlukan investasi yang besar, manfaat yang didapat juga akan sangat besar.
Oleh
SHARON PATRICIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Industri dan konsumsi bahan bakar fosil secara global berdampak pada meningkatnya emisi gas rumah kaca dan polusi. Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, pun didorong untuk terus mempromosikan penggunaan energi baru terbarukan.
Pemanfaatan energi baru terbarukan oleh negara-negara di dunia diharapkan dapat terus berlanjut. Komitmen ini sejalan dengan kesepakatan 187 negara yang telah meratifikasi Persetujuan Paris (Paris Agreement) pada 12 Desember 2015, termasuk Indonesia.
Melalui Persetujuan Paris, ditargetkan emisi gas rumah kaca (GRK) dapat dikontrol untuk menghindari pemanasan global hingga 2 derajat celsius pada 2100. Sejalan dengan itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan penurunan emisi GRK sebesar 314 juta ton karbon dioksida (CO2) pada 2030.
Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Postdam Institute for Climate Impact Research (PIK), emisi GRK tahunan Indonesia adalah 2,4 miliar ton pada 2015. Emisi Indonesia mewakili 4,8 persen dari total emisi global dunia pada tahun tersebut.
Pengurangan emisi ditargetkan mencapai 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional. Indonesia saat ini pun mulai beralih untuk berinvestasi pada energi baru terbarukan (EBT).
Pemerintah menargetkan sektor EBT dapat berkontribusi menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 156,6 juta ton CO2 atau sebesar 49,8 persen dari total aksi mitigasi sektor energi. Sementara itu, kebutuhan investasi sektor EBT sebesar Rp 1.690 triliun.
Dalam buku berjudul Renewable Energy Management in Emerging Economies: Strategies for Growth (2020) dituliskan, Indonesia menjadi salah satu negara dengan investasi pada EBT yang meningkat signifikan. Peningkatan investasi pada 2019 disebutkan mencapai lebih dari 80 persen hingga 500 juta dollar AS atau sekitar Rp 7,04 triliun.
Henry K H Wang, Presiden Gate International sekaligus penulis buku tersebut, menuliskan, kebijakan pemerintah yang baik serta strategi korporasi dibutuhkan untuk mendukung penerapan EBT di masa depan. Langkah ini juga akan menentukan kesuksesan dari investasi yang dilakukan.
”Tak dimungkiri, ada banyak tantangan serius yang menanti di masa depan bagi negara-negara berkembang saat menerapkan EBT. Mulai dari inovasi, ekonomi dan tata kelola hijau, serta manajemen keamanan siber dan digital,” tulis Wang.
Sejalan dengan itu, dalam laporan DBS Group Research yang bertajuk ”Environmental, Social and Governance: Turning carbon into gold” dikatakan, emisi karbon di negara berkembang meningkat, mengingat, selain batubara, bahan bakar fosil masih menjadi instrumen utama pembangunan negara berkembang. Ekonom Bank DBS juga memprediksi bahwa bahan bakar fosil masih bertahan hingga 2035 di Asia.
Untuk itu, perlu ada pertimbangan risiko dan peluang. Secara khusus, perusahaan yang bergerak pada bidang pertambangan, pembangkit listrik, dan eksplorasi bahan bakar fosil dalam proses transisi bisnis menjadi lebih ramah lingkungan.
Masih dalam laporan yang sama, ekonom Bank DBS memperkirakan akan ada risiko potensi penurunan pendapatan serta penurunan nilai dari aset-aset yang menghasilkan karbon tersebut karena adanya transisi ke energi ramah lingkungan. Lebih dari itu, biaya operasional juga akan meningkat karena peraturan yang lebih ketat ketika pemerintah mengubah batas emisi.
Meski demikian, tetap ada peluang baru yang mungkin muncul dari perubahan iklim. Perusahaan dapat mendorong pengurangan konsumsi melalui peningkatan efisiensi energi, mengembangkan produk hijau baru yang lebih ramah pasar, dan perluasan bisnis EBT.
Proyek tenaga surya
Cleantech Solar, salah satu pengembang photovoltaic (PV) berskala industri dan komersil terbesar di Asia, menjalin kerja sama jangka panjang dengan PT Elangperdana Tyre Industry untuk proyek energi tenaga surya sebesar 4,5 megawatt (MW). Cleantech Solar menjamin kinerja sistem PV tenaga surya sepanjang masa perjanjian yang berlangsung selama 25 tahun.
Proyek kerja sama ini mendukung agenda keberlangsungan PT Elangperdana Tyre Industry dengan menghasilkan lebih dari 136.300 megawatt hour (MWh) listrik bersih, atau setara dengan pengurangan lebih dari 117.500 ton emisi CO2. Langkah ini berkontribusi pada target Indonesia untuk meningkatkan jumlah energi terbarukan hingga 23 persen pada 2025.
Direktur Pengelola PT Elangperdana Tyre Industry Dicky Mursalie menyampaikan, kerja sama ini bertujuan membangun masa depan yang ramah lingkungan. Selain itu, untuk meningkatkan kesadaran umum tentang pelestarian lingkungan karena proyek tenaga surya berperan penting dalam mengurangi emisi karbon.
”Letak Indonesia di wilayah tropis sangat strategis karena sinar matahari merupakan sumber daya alam yang sangat melimpah. Upaya berkesinambungan ini diharapkan dapat membawa dampak positif bagi komunitas di mana kami beroperasi,” kata Dicky.
Pendiri dan Ketua Eksekutif Cleantech Solar Raju Shukla mengatakan, hubungan kemitraan dengan Elangperdana dalam melakukan transisi menuju sumber daya energi terbarukan merupakan langkah awal yang baik.
”Kami menantikan semakin banyak kolaborasi serupa di Indonesia, yang akan membantu perusahaan mencapai target keberlangsungan lingkungan dan penghematan biaya, serta berkontribusi terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan Indonesia,” ujarnya.