Pembatasan Kegiatan Masyarakat, Pengelola Pusat Perbelanjaan Harapkan Insentif
Para peritel dan pengelola pusat perbelanjaan di Jakarta khawatir kinerja mereka akan semakin anjlok akibat penerapan pembatasan kegiatan masyarakat di Jawa dan Bali.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para pengelola pusat perbelanjaan di Jakarta khawatir kinerja mereka akan semakin anjlok akibat penerapan pembatasan kegiatan masyarakat di Jawa dan Bali. Bantuan dari pemerintah pun diharapkan agar pusat perbelanjaan tetap bisa bertahan.
Instruksi Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 01 Tahun 2021 memastikan sebagian wilayah Jawa dan Bali melaksanakan penerapan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) mulai Senin, 11 Januari-25 Januari 2021. Upaya pengendalian penyebaran Covid-19 dipastikan diimplementasikan di DKI Jakarta sebagai salah satu wilayah dengan pertambahan jumlah kasus yang tinggi.
Instruksi Mendagri tersebut mengatur pembatasan operasional pusat perbelanjaan atau mal sampai pukul 19.00 dan kegiatan restoran hanya untuk 25 persen pengunjung yang makan dan minum di tempat. Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) DKI Jakarta Ellen Hidayat, Sabtu (9/1/2021), mengatakan, aturan ini menjadi awal yang burukpada tahun 2021.
”Tahun 2020 sudah berlalu, kerugian sudah dibukukan. Kami semua pengelola pusat belanja dan tenant saat memasuki tahun 2021 mulai bersemangat lagi dan memprediksi akan ada titik cerah, tetapi kembali lagi adanya berbagai peraturan yang meredupkan semangat itu,” ujarnya.
Ia menjelaskan, sejak Maret 2020, sebanyak 82 anggotanya sudah mengalami pasang surut karena berbagai perubahan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). PSBB transisi saat ini pun masih membatasi kapasitas mal dan restoran hanya maksimal 50 persen dengan waktu operasional sampai pukul 21.00.
Dengan adanya pembatasan, rata-rata jumlah pengunjung hanya sekitar 40 persen, masih di bawah jumlah yang diizinkan, yakni 50 persen. Kunjungan ke mal juga minim saat libur akhir tahun 2020. Operasional mal yang hanya diizinkan sampai dengan pukul 19.00 turut menyebabkan masyarakat enggan ke pusat belanja, khususnya untuk menikmati makan malam.
”Selama ini, salah satu daya tarik pusat belanja adalah adanya variasi F&B (makanan dan minuman) dengan konsep makan di tempat. Namun, adanya batasan restoran, termasuk perkantoran hanya 25 persen, maka dapat dipastikan traffic ke pusat belanja akan turun lagi,” tuturnya.
Ellen pun berharap pemerintah mengevaluasi aturan pembatasan operasional menjadi sampai pukul 20.00 dan kapasitas restoran menjadi 50 persen. Hal ini diusulkan karena mal dan restoran selalu patuh memberlakukan protokol kesehatan. Di sisi lain, mal dan peritel diakui tidak merasakan langsung insentif pemerintah.
Ketua Umum Dewan Perwakilan Pusat Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey, dalam keterangan tertulis, Jumat (8/1/2020), mengatakan, penerapan PPKM perlu dijadikan momentum pemerintah untuk menyalurkan subsidi bantuan langsung tunai (BLT) kepada para pekerja di ritel modern dan mal.
"Bantuan bisa dengan memberikan subsidi upah sebesar 50 persen, untuk mencegah potensi kebangkrutan atau penutupan gerai usaha peritel maupun mal akibat pandemi,” sarannya.
Selama tahun 2020, pendapatan kinerja peritel modern rata-rata turun 12 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Situasi tersebut dikhawatirkan menambah jumlah pekerja yang dirumahkan ataupun pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat ketidakmampuan peritel menanggung biaya operasional.
”Kami berharap pula pada kebijakan fiskal dan moneter yang berkelanjutan. Peritel dan mal juga menunggu alokasi dan akses untuk kredit korporasi dana pemulihan ekonomi nasional (PEN) dengan bunga murah 3 persen sampai 3,8 persen dibandingkan dengan bunga tinggi 9 persen sampai 10 persen seperti saat ini,” imbuhnya.
Roy meyakini, upaya peningkatan kedisiplinan semua lapisan masyarakat dalam menjalankan protokol kesehatan adalah kunci pemulihan ekonomi. Namun, di sisi lain, upaya meningkatkan daya beli masyarakat juga tetap penting. Ia pun berharap BLT bagi masyarakat golongan ekonomi lemah dapat digulirkan segera dan tepat sasaran kepada masyarakat penerima.
”Penyaluran dengan memanfaatkan digitalisasi melalui teknologi finansial adalah salah satu cara yang efisien dan efektif. Ini dapat menghindari interaksi pemberi dan penerima, serta dapat memfokuskan masyarakat penerima hanya membelanjakan kebutuhan pokok sehingga memberi dampak bagi peningkatan demand konsumsi rumah tangga,” ujarnya.