Kondisi ini mengonfirmasi bahwa ”sense of crisis” mayoritas pemerintah daerah masih sangat rendah. Pola kerja di luar kebiasaan dibutuhkan untuk bertahan melawan pandemi Covid-19.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
Masalah belanja daerah mencuat sejak tiga bulan sebelum tahun 2020 berakhir. Banyak pihak mengkritisi dan menyoroti eksekusi anggaran yang lelet dan berbelit. Apa iya pemerintah daerah tak siap menghadapi Covid-19? Atau, ruang gerak mereka justru terbatas akibat intervensi pusat?
Harus diakui, realisasi Anggaran Pendapatan an Belanja Daerah (APBD) memang mengkhawatirkan. Per 30 November 2020, belanja APBD baru terealisasi Rp 823,59 triliun atau 76,21 persen dari target Rp 1.080,71 triliun. Bahkan, secara nominal, realisasi belanja pada November 2020 lebih rendah dibandingkan November 2019 yang sebesar Rp 889,42 triliun.
Penurunan belanja daerah masih bisa dimaklumi karena dampak Covid-19 luar biasa. Pendapatan asli daerah (PAD) secara tahunan turun 9,6 persen sejalan dengan penurunan pajak yang terkait dengan mobilitas dan konsumsi penduduk, seperti pajak hotel, pajak restoran, pajak kendaraan bermotor, dan pajak atas penggunaan bahan bakar kendaraan bermotor.
Masalah utama yang patut dibenahi dan disoroti terkait perencanaan dan penyerapan anggaran. Pada kenyataannya, dalam kondisi krisis maupun tidak krisis, tabiat daerah dalam mengeksekusi belanja tak berubah. Realisasi anggaran tetap menumpuk pada akhir tahun yang sebenarnya tidak optimal menciptakan efek berganda bagi perekonomian.
Beban daerah sejak pandemi Covid-19 melanda memang berat. Secara tiba-tiba dan dalam tempo singkat, daerah diminta melakukan realokasi dan penajaman APBD 2020 yang fokusnya pada program Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN). Jika tidak, mereka terancam gagal mendapat atau ditunda pencairan dana transfernya dari pusat.
Beban daerah sejak pandemi Covid-19 melanda memang berat.
Realokasi dan penajaman APBD tidak semudah harapan. Instruksi pusat kerap bertabrakan dengan regulasi daerah sehingga memperlambat proses penyesuaian. Akibatnya, perangkat daerah sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan. Mereka khawatir kebijakan yang diambil saat ini menjadi prahara di kemudian hari alias temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Pada Mei 2020 lalu, Kementerian Keuangan sempat menunda penyaluran dana alokasi umum (DAU) milik 380 pemerintah daerah. Penyaluran DAU ditunda karena daerah belum melaporkan hasil realokasi APBD. Selain masalah birokrasi, realokasi APDB bagi sebagian daerah menyulitkan karena porsi belanja pegawai lebih dari 50 persen dari total belanja.
Seluruh daerah baru menyelesaikan realokasi APBD pada paruh kedua 2020 meliputi anggaran kesehatan senilai total Rp 30,46 triliun, jaring pengaman sosial Rp 22,8 triliun, dan dukungan ekonomi Rp 3,4 triliun. Sayangnya, realokasi belanja ini tidak dibarengi perencanaan yang matang sehingga penyerapan anggaran sangat lambat.
Hingga 30 November 2020, realisasi belanja kesehatan baru 55,6 persen dari pagu, sedangkan jaring pengaman sosial 65 persen pagi. Yang lebih mengkhawatirkan realisasi anggaran dukungan ekonomi hanya 18,7 persen. Keseluruhan realisasi anggaran baru 48,8 persen atau Rp 35,37 triliun.
Masalah penyerapan anggaran juga tecermin pada temuan dana transfer pemerintah pusat yang mengendap di rekening pemerintah daerah. Per 30 November 2020, dana pemerintah daerah di perbankan mencapai Rp 218,6 triliun atau seperempat dari transfer pemerintah pusat. Kondisi ini mengonfirmasi bahwa sense of crisis mayoritas pemerintah daerah masih sangat rendah.
Pola kerja di luar kebiasaan dibutuhkan untuk bertahan melawan pandemi Covid-19. Harus ada kolaborasi yang solid antara pemerintah pusat dan daerah.
Dari sisi pemerintah daerah, paling tidak ada tiga alasan mendasar realisasi belanja PC-PEN masih bermasalah, yaitu sulitnya komunikasi dan koordinasi dengan pihak terkait, waktu pelaksanaan tender untuk program/kegiatan relatif sempit, serta pengawasan pelaksanaan program/kegiatan yang belum kuat.
Alasan bukan berarti pembenaran. Dalam kondisi krisis, pemerintah harus mengambil peran dominan untuk menstimulasi dan menggerakkan roda ekonomi. Lebih dari Rp 1.000 triliun belanja pemerintah dieksekusi di tingkat daerah. Dampak tidak langsung yang diciptakan dari anggaran belanja pemerintah itu bisa 3-4 kali lipat bagi perekonomian.
Oleh karena itu, pola kerja di luar kebiasaan dibutuhkan untuk bertahan melawan pandemi Covid-19. Harus ada kolaborasi yang solid antara pemerintah pusat dan daerah. Kolaborasi bukan hanya pada tataran kebijakan, tetapi eksekusi dan implementasi berkelanjutan. Sikap saling menyalahkan antara pusat dan daerah jangan ada lagi di tahun ini.