Kebijakan Pembatasan di Jawa dan Bali Bikin Galau Pengguna dan Pengusaha Angkutan Umum
Aturan penerapan pembatasan kegiatan masyarakat di Jawa dan Bali diharapkan tidak hanya fokus mengurangi mobilitas masyarakat, tetapi juga melindungi masyarakat yang tetap memerlukan angkutan umum.
Oleh
ERIKA KURNIA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Angkutan umum menjadi sektor yang turut menjadi obyek kebijakan penerapan pembatasan kegiatan masyarakat di Jawa dan Bali. Kebijakan untuk mengendalikan penyebaran Covid-19 ini lantas membuat pengguna dan operator angkutan umum, khususnya di darat, kembali galau.
Aturan ini pun diharapkan tidak hanya fokus mengurangi mobilitas masyarakat, tetapi juga melindungi masyarakat yang tetap memerlukan angkutan umum.
Mulai Senin, 11 Januari, hingga 25 Januari 2021, pemerintah akan memperketat aktivitas di beberapa wilayah di Pulau Jawa dan Bali. Kebijakan yang disebut penerapan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) itu tertuang dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2021.
Transportasi umum pun menjadi salah satu sektor yang tidak lepas dari implementasi kebijakan. Hingga Jumat (8/1/2021) sore, Satuan Tugas Penanganan Covid-19 belum mengeluarkan aturan turunan untuk sektor tersebut setelah Kementerian Perhubungan menyusun penyesuaian jam operasional dan kapasitas angkutan umum.
Menanggapi rencana penerapan PPKM, sejumlah masyarakat khawatir kebijakan yang ada nantinya menyulitkan rencana bepergian mereka. Seperti Adikarya Purnama (36), warga Jakarta yang telah berencana pulang ke kampung halaman di Semarang, Jawa Tengah, dengan bus antarprovinsi.
Pekerja konstruksi itu mengaku memutuskan cuti pada pertengahan Januari demi menghindari keramaian saat libur Natal dan Tahun Baru. ”Saya sengaja enggak cuti saat libur besar karena takut ramai. Bahkan, kemarin juga ada kewajiban tes Covid-19 di terminal. Kali ini berharap enggak ada kewajiban tes berbiaya mahal,” ujarnya.
Kewajiban tes usap antigen seperti yang diterapkan selama musim libur Natal dan Tahun Baru dinilai Adi memberatkan dirinya. Dengan biaya naik bus lebih kurang Rp 200.000 sekali jalan, ia perlu mengeluarkan lagi uang senilai setengah harga tiket bus untuk tes.
”Bukannya saya enggak mau dites. Cuma keberatan saja dengan biaya tesnya. Kalau bisa disubsidi jadi lebih murah atau gratis, saya mau saja. Uang tes segitu lebih baik saya kasih buat keluarga di kampung,” ujarnya.
Sementara itu, Joko Hendrawan (30), karyawan swasta di Jakarta Selatan, yang berencana pulang ke Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, untuk bertemu orangtua, berpikir ulang setelah mendengar rencana pemerintah menerapkan PPKM. Kebijakan itu ditakutkan membuat akses masuk dan keluar ditutup.
”Apalagi Jakarta dan Sleman saat ini sama-sama zona merah. Kalau pas saya di Sleman tiba-tiba akses ke Jakarta ditutup, berabe. Soalnya, saya enggak bisa meninggalkan pekerjaan,” kata pria yang bekerja sebagai teknisi telekomunikasi tersebut.
Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Organisasi Angkutan Darat (Organda) Ateng Aryono, yang dihubungi Kompas hari Jumat, mengaku masih menunggu keputusan pemerintah pusat dan daerah terkait penyesuaian operasional transportasi selama PPKM.
Ateng berharap pemerintah tidak kembali memperketat kebijakan yang sudah dibuat sebelumnya. Pasalnya, tanpa pengetatan aturan bertransportasi, tingkat keterisian angkutan umum penumpang harian rata-rata masih 30 persen. Sementara berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 41 Tahun 2020, daya angkut penumpang transportasi rute jarak jauh maksimal 70 persen dari kapasitas tersedia.
Jumlah kasus Covid-19 di Indonesia yang terus meningkat, menurut dia, sudah menahan keinginan masyarakat untuk bepergian. Selain itu, preferensi masyarakat untuk menggunakan moda transportasi pribadi selama pandemi juga membuat operator angkutan umum antarkota antarprovinsi gigit jari.
”Namun, kami sebagai penyedia transportasi tetap komitmen untuk menerapkan 3M, termasuk pemeriksaan suhu untuk penumpang dan pengemudi, serta pembersihan perangkat,” kata Ateng.
Pengamat transportasi dan Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran), Deddy Herlambang, juga berharap pemerintah membuat win-win solution bagi penyedia angkutan umum. Apalagi, angkutan umum darat sudah kehilangan banyak penumpang karena masyarakat beralih ke kendaraan pribadi ketika banyak jalan tol baru hadir di Pulau Jawa.
Pengawasan penerapan protokol kesehatan di terminal dan di dalam kendaraan adalah salah satu cara. Selain itu, pemerintah diharapkan membantu operator dan pengguna agar kegiatan mobilitas bisa dilakukan dengan aman, yaitu dengan memudahkan akses tes Covid-19.
”Kalau pemerintah mau mendongkrak perekonomian nasional, tes antigen seharusnya bisa disubsidi atau digratiskan. Dengan demikian, ada pergerakan masyarakat dan operator bus bisa bersemangat lagi,” ujarnya.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setiyadi, yang dihubungi melalui pesan singkat, mengatakan, aturan penyesuaian kebijakan untuk masa PPKM masih didiskusikan oleh Satuan Tugas Penanganan Covid-19 dan direktur jenderal terkait lainnya.