Pelaku Usaha Jawa Timur Khawatir Pembatasan Kegiatan Bakal Kembali Pukul Perekonomian
Rencana pembatasan kegiatan masyarakat di Jawa Timur diprediksi akan memukul perekonomian. Untuk itu, pemerintah daerah di Jawa Timur yang akan menempuh pembatasan kegiatan agar memperhatikan sektor ekonomi.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Rencana pembatasan kegiatan masyarakat di Jawa Timur diprediksi bakal kembali memukul perekonomian. Pelaku usaha berharap pemerintah mempertimbangkan kondisi perekonomian saat ini saat menerapkan kebijakan itu.
”Pelaku ekonomi menyambut tahun ini dengan keyakinan positif pandemi Covid-19 akan teratasi dan perekonomian membaik. Namun, rencana pembatasan itu kembali menghantam, khususnya sektor konsumsi,” kata Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Jawa Timur Adik Dwi Putranto di Surabaya, Jumat (8/1/2021).
Rencana pembatasan itu sesuai Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan untuk Pengendalian Penyebaran Covid-19. Daerah terdampak, seperti kawasan Surabaya Raya, terdiri dari Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik. Daerah Malang Raya juga mengalaminya, terdiri dari Kota dan Kabupaten Malang, serta Batu.
Instruksi itu, di antaranya, mengatur pembatasan makan minum di tempat hanya 25 persen, tetapi diizinkan melayani pesan antar atau dibawa pulang. Waktu operasional pusat perbelanjaan hanya diperbolehkan hingga pukul 19.00.
Adik menilai, aturan itu sebenarnya memuat beberapa kelonggaran, seperti sektor konstruksi padat karya yang bisa beroperasi 100 persen. Selain itu, sektor esensial pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat juga dapat beroperasi 100 persen meski ada pengaturan waktu operasional dan penerapan protokol kesehatan.
”Akan tetapi, untuk industri bukan konstruksi dan tidak bisa kerja dari rumah, misalnya pengolahan, bagaimana penerapannya?” katanya.
Ketua Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia Jatim Sutandi Purnomosidi mengatakan, mal-mal akan terpukul kembali dengan aturan itu. ”Kami menyayangkan kebijakan itu diterbitkan dengan pukul rata tanpa melihat kondisi riil terkini,” kata Sutandi.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Jatim Dwi Cahyono mengatakan, aturan itu akan semakin memukul sektor perhotelan. ”Sejak pertengahan Maret 2020, kunjungan ke hotel secara akumulatif tidak sampai 40 persen,” kata Dwi. Kunjungan yang rendah memaksa sejumlah pengelola hotel merumahkan karyawan hingga menempuh pemutusan hubungan kerja.
Kepala Badan Pusat Statistik Jatim Dadang Hardiwan mengatakan, pandemi mengakibatkan angka pengangguran bertambah 466.020 orang. Di Jatim, penduduk yang bekerja 20,9 juta jiwa. Jumlah itu berkurang 69.650 jiwa dibandingkan dengan tahun 2019.
Sektor usaha yang paling banyak kehilangan lapangan pekerjaan adalah industri pengolahan 1,23 persen, konstruksi (0,47 persen), dan jasa pendidikan (0,39 persen). Namun, ada juga yang meningkat, seperti pertanian (1,73 persen) dan perdagangan (0,51 persen).
Dadang mengatakan, pandemi juga mengakibatkan Jatim mengalami inflasi 1,44 persen atau terendah dalam beberapa tahun terakhir. Inflasi pada 2019 sebesar 2,12 persen dan tahun 2018 adalah 2,86 persen. ”Pandemi mengakibatkan penurunan situasi ekonomi, terutama produksi. Penerimaan masyarakat juga menurun sehingga melemahkan daya beli atau konsumsi barang dan jasa,” kata Dadang.
Sementara itu, Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa belum menerbitkan peraturan tentang pembatasan di Surabaya Raya dan Malang Raya. Terbuka kemungkinan, aktivitas daerah di luar Surabaya dan Malang Raya juga akan dibatasi. Alasannya, ada daerah yang mengalami kasus tinggi dan masuk zona merah, seperti Jember, Banyuwangi, Blitar, Lamongan, dan Ngawi.