Produksi BBM nasional hanya separuh dari konsumsi BBM nasional yang sebanyak 1,5 juta barel per hari. Sementara 75 persen elpiji yang dikonsumsi diperoleh dari impor. Energi terbarukan wajib dikembangkan.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tantangan pengelolaan energi di Indonesia adalah kian tingginya impor minyak mentah dan bahan bakar minyak lantaran kemampuan produksi minyak di dalam negeri terus menurun. Pengembangan energi terbarukan diharapkan dapat mengurangi impor energi Indonesia. Kebijakan energi nasional juga perlu dikaji menyusul berubahnya indikator ekonomi nasional.
Demikian dikatakan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif dalam pidato pelantikan anggota Dewan Energi Nasional (DEN) periode 2020-2025 dari unsur pemangku kepentingan sebanyak delapan orang, Jumat (8/1/2021), di Jakarta.
Ketua dan Wakil Ketua DEN dijabat oleh Presiden dan Wakil Presiden, sedangkan Ketua Harian DEN dijabat Menteri ESDM. Dari unsur pemerintah, anggota DEN terdiri dari Menteri Keuangan, Menteri Perhubungan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Perindustrian, Menteri Pertanian, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, serta Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi.
Menurut Arifin, selain bergantung pada impor minyak mentah dan BBM, Indonesia juga bergantung pada impor elpiji. Di satu sisi, ekspor batubara menghadapi sejumlah tekanan. Sementara pembangunan infrastruktur gas dan ketenagalistrikan di Indonesia masih belum terintegrasi.
”Beberapa strategi yang akan ditempuh adalah menaikkan produksi minyak dan gas bumi, membangun infrastruktur dan jaringan gas, mengoptimalkan pemanfaatan gas bumi, mengembangkan kendaraan listrik, membangun pembangkit listrik berbasis energi terbarukan, serta membangun pembangkit listrik tenaga nuklir berskala kecil,” kata Arifin.
Selain bergantung pada impor minyak mentah dan BBM, Indonesia juga bergantung pada impor elpiji.
Arifin juga menyinggung perlunya kajian terhadap Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang ditetapkan dalam Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017. Menurut dia, RUEN perlu disesuaikan dengan kondisi ekonomi dan kebutuhan energi yang mutakhir, apalagi Indonesia sedang dilanda pandemi Covid-19. Indikator ekonomi makro saat penyusunan RUEN pada 2017 sudah banyak yang berubah.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, kebijakan energi di Indonesia yang diversifikasi dengan memanfaatkan semua potensi yang ada tetap saja terfokus pada fosil, terutama batubara. Pasalnya, batubara adalah komoditas yang diperdagangkan di pasar ekspor dan menjadi salah satu sumber penerimaan negara, selain migas.
”Dunia sedang membatasi penggunaan karbon sehingga Indonesia tak bisa mengoptimalkan sumber daya yang ada. Apabila hendak dikembangkan, akan ada biaya dalam bentuk pajak karbon atau cukai dan itu bakal dikompensasikan pada harga energi,” katanya.
Sementara itu, anggota DEN, Satya Widya Yudha, menuturkan, rencana evaluasi RUEN tetap menjadi prioritas dan sangat memungkinkan. Pasalnya, sejumlah asumsi yang menjadi dasar penyusunan RUEN tak lagi sesuai dengan keadaan sekarang. Terlebih pada masa pandemi Covid-19.
”Kami segera menyusun rencana strategis dan rencana kerja tahunan, termasuk konsolidasi internal dengan semua unsur anggota DEN agar bisa sinergi satu sama lain,” ujar Satya.
Dunia sedang membatasi penggunaan karbon sehingga Indonesia tak bisa mengoptimalkan sumber daya yang ada.
DEN didirikan berdasar Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi. Tugas DEN adalah merancang dan merumuskan kebijakan energi nasional, menetapkan rencana umum energi nasional, menetapkan langkah-langkah penanggulangan krisis dan darurat energi, serta mengawasi pelaksanaan kebijakan energi yang bersifat lintas sektoral.
Dalam peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, ditetapkan bauran energi primer pada 2025 yang terdiri dari batubara sebesar 30 persen, energi baru dan terbarukan 23 persen, minyak bumi 25 persen, dan gas bumi 22 persen.
Adapun target bauran pada 2050 adalah penggunaan batubara turun menjadi 25 persen, energi baru dan terbarukan naik menjadi 31 persen, minyak bumi turun menjadi 20 persen, dan gas bumi naik menjadi 24 persen. Status sampai akhir 2020 lalu, bauran energi baru dan terbarukan sebesar 10,9 persen.