Prospek penyerapan emisi hasil aksi IPO di pasar modal menjanjikan. Namun, investor perlu cermat dalam memilih saham pendatang baru yang umumnya akan memiliki harga fluktuatif mengingat jumlah saham beredar tidak besar.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Prospek penyerapan emisi hasil aksi penawaran saham perdana atau IPO di pasar modal dengan nilai jumbo pada tahun ini semakin menjanjikan. Tingginya likuiditas di sektor keuangan menandakan ketersediaan dana masyarakat cukup tebal untuk dialihkan menyerap emisi di pasar modal.
Pada awal 2021, perusahaan perkebunan PT FAP Agri Tbk mencatatkan namanya di papan Bursa Efek Indonesia (BEI). Emiten berkode saham FAPA ini menerbitkan emisi senilai Rp 1 triliun.
Selain FAPA, sejumlah calon emiten baru dengan nilai emisi jumbo sudah berada di antrean IPO tahun ini. Salah satunya, perusahaan yang bergerak di bidang peternakan dan pakan ternak, PT Widodo Makmur Unggas Tbk, yang mengincar dana segar Rp 841 miliar-Rp 1,2 triliun di pasar modal.
Analis PT Phillip Sekuritas, Anugerah Zamzami, Kamis (7/1/2021), menilai, tahun ini prospek penyerapan emisi dari IPO akan semakin baik seiring dengan meningkatnya jumlah investor ritel domestik. ”Kenaikan jumlah investor, lanjutnya, menjadi momentum yang tepat untuk merealisasikan rencana IPO,” ujarnya saat dihubungi di Jakarta.
Pada 2020, jumlah investor saham yang tercatat dalam sistem single investor identification (SID) tercatat sebesar 1,69 juta, melonjak 53,47 persen dari akhir 2019.
Tahun ini prospek penyerapan emisi dari IPO akan semakin baik seiring dengan meningkatnya jumlah investor ritel domestik.
Selain kenaikan jumlah investor domestik, tingginya kondisi likuiditas pasar domestik dan global akibat tren pelonggaran kuantitatif oleh mayoritas bank sentral di dunia juga membuat tahun ini menjadi tahunnya perusahaan untuk mencari sumber pendanaan di pasar modal.
”Tren suku bunga rendah juga dianggap menjadi iklim yang tepat untuk perusahaan melakukan go public. Jadi, IPO jumbo masih prospektif penyerapannya tahun ini,” kata Anugerah.
Meski begitu, Anugerah tetap mengingatkan kepada investor untuk cermat dalam memilih saham pendatang baru yang umumnya akan memiliki harga fluktuatif mengingat jumlah saham beredar tidak besar.
”Investor perlu mempertimbangkan kembali likuiditas dan sustainibilitas dalam pergerakan sahamnya,” ujarnya.
Investor perlu cermat dalam memilih saham pendatang baru yang umumnya akan memiliki harga fluktuatif mengingat jumlah saham beredar tidak besar.
Sementara itu, Head of Market Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana mengatakan, penyerapan IPO jumbo akan sangat prospektif tahun ini. Hal itu terutama untuk beberapa sektor tertentu, seperti kesehatan, telekomunikasi, dan produsen ataupun pengolah logam mineral, terutama nikel.
”Apalagi dana pihak ketiga di perbankan cukup tinggi yang menjadi penanda ketersediaan dana di masyarakat cukup tebal dan bisa dialihkan untuk menyerap aksi IPO emiten yang menarik,” ujarnya.
Daftar anteran perusahaan yang berpotensi melantai di pasar modal dengan emisi jumbo, lanjut Wawan, dapat mengompensasi minimnya himpunan dana yang dihasilkan oleh aksi IPO emiten pasar modal sepanjang 2020.
Sepanjang tahun lalu, nilai penghimpunan dana dari 51 perusahaan yang melakukan IPO sepanjang 2020 hanya mencapai Rp 5,49 triliun. Padahal, pemerintah telah memberikan insentif fiskal berupa diskon Pajak Penghasilan (PPh) bagi perusahaan yang melakukan IPO di BEI melalui RUU perpajakan.
Dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas, Rabu (6/1/2020), PT Widodo Makmur Unggas memastikan akan menggelar penawaran umum saham perdana dalam waktu dekat. Perusahaan bakal melepas sebanyak-banyaknya 5,92 miliar lembar saham, dengan harga di kisaran Rp 142-Rp 200 per lembarnya.
Direktur Utama Widodo Makmur Unggas Ali Mas’adi menyatakan, jumlah saham yang dilepas ke publik setara dengan 35 persen dari modal yang ditempatkan dan disetor setelah IPO. Dana bersih dari pasar modal, menurut rencanan, akan digunakan untuk ekspansi dengan menambah serta memperluas sarana produksi.
Sementara itu, BEI berencana mengajak diskusi para pemberi pengaruh atau influencer di media sosial yang kerap memberikan ajakan atau rekomendasi kepada publik untuk membeli saham tertentu. Upaya tersebut dinilai cukup berisiko dan dapat merugikan investor publik.
Dalam keterangan tertulis, Direktur Perdagangan dan Penilaian Anggota Bursa BEI Laksono Widodo menuturkan, BEI berencana mengajak para tokoh publik itu untuk mengikuti sekolah pasar modal (SPM). BEI juga akan mengingatkan para tokoh publik tersebut tentang potensi tuntutan hukum dari para pengikutnya apabila ada yang merasa dikecewakan akibat rekomendasi mereka.
”Di satu pihak, kami menyambut positif influencer seperti mereka, tetapi juga perlu mengingatkan mereka akan tanggung jawab moral untuk para pengikutnya,” kata Laksono.
Kami menyambut positif influencer seperti mereka, tetapi juga perlu mengingatkan mereka akan tanggung jawab moral untuk para pengikutnya.
Adapun ajakan membeli saham yang dilakukan oleh influencer juga menimbulkan kekhawatiran terjadi aksi perdagangan dengan orang dalam (insider trading). Insider trading merupakan istilah untuk aksi pembelian saham tertentu setelah mendapatkan fakta dan rencana emiten pada masa depan sebelum diketahui publik. Praktik dengan tujuan memperoleh keuntungan lebih ini pun termasuk tindak pidana sebagaimana diatur UU Pasar Modal.