Pemerintah menyatakan tidak akan mengintervensi harga kedelai impor di dalam negeri dan menyerahkannya pada mekanisme pasar. Lonjakan harga kedelai dunia mencerminkan stok dan permintaan di pasar global.
Oleh
Agnes Theodora / M Paschalia Judith J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memastikan tidak akan mengintervensi dan menyerahkan harga kedelai sesuai mekanisme pasar. Lonjakan harga kedelai di dalam negeri dinilai sebagai hal yang tidak bisa dihindari sejalan dengan situasi harga di pasar global.
Sebelumnya, para produsen tahu dan tempe di sejumlah daerah di Indonesia mogok produksi pada 1-3 Januari 2021. Mereka meminta pemerintah menstabilkan harga kedelai impor di dalam negeri yang melonjak dari Rp 7.200 per kilogram (kg) menjadi Rp 9.500 per kg dalam sebulan terakhir.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Syailendra, Senin (4/1/2021), mengatakan, pemerintah tidak akan mengintervensi harga kedelai impor. Sejak 2015 pemerintah tidak lagi mengatur tata niaga kedelai dan menyerahkannya pada mekanisme pasar. Selama ini ketersediaan dan pasokan kedelai berjalan baik.
Akan tetapi, kali ini ada sejumlah faktor yang mendisrupsi harga dan pasokan kedelai dunia. Pertama, pasokan dari negara produsen, seperti Brasil dan Argentina, terbatas karena dampak La Nina. Kedua, pasokan di Amerika Serikat (AS) sebagai eksportir terbesar menipis. Pada saat yang sama, ada kenaikan permintaan yang berlipat dari China, importir utama kedelai dunia.
Menurut dia, meski tidak mengintervensi harga di pasar, pemerintah telah meminta importir kedelai agar menerapkan harga yang kompetitif dan tidak memberatkan produsen tahu dan tempe sekaligus konsumen. Di sisi lain, pemerintah menjamin produksi tahu dan tempe tetap berjalan meski harga bahan bakunya naik.
Menurut pegiat Komite Pendayagunaan Petani dan Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia Khudori, ketergantungan Indonesia yang tinggi pada kedelai impor dari AS membuat harga tahu dan tempe otomatis naik setiap terjadi ketidakseimbangan di rantai pasok global. Data Badan Pusat Statistik, impor kedelai Indonesia sepanjang semester I-2020 mencapai 1,27 ton senilai 510,2 juta dollar AS. Sebanyak 1,14 ton di antaranya berasal dari AS.
Dalam jangka menengah dan panjang, kata Khudori, satu-satunya solusi adalah membenahi kebijakan swasembada padi, jagung, dan kedelai yang selama ini berantakan dan kontradiktif. Selama 10 tahun terakhir, produksi kedelai dalam negeri terus turun. Petani tidak tertarik menanam kedelai karena dinilai tidak menguntungkan.
Selain itu, pemerintah juga dinilai tidak punya instrumen yang melindungi atau mendorong produktivitas petani kedelai lokal. Impor kedelai yang dibebaskan membuat tujuan swasembada kedelai sulit dicapai. ”Ketika harga kedelai impor murah, otomatis harga kedelai dalam negeri tertekan. Petani pun memilih menanam komoditas lain yang lebih menguntungkan,” kata Khudori.
Di sisi lain, kebijakan pemerintah kontradiktif, yakni membolehkan impor kedelai GMO (produk rekayasa genetika), tetapi melarang petani menanam kedelai GMO. ”Ke depan, kalau tidak ada kebijakan yang sifatnya promotif dan protektif terhadap petani kedelai, hal seperti (gejolak harga) ini akan terus-menerus terjadi,” ujarnya.
Bahan lokal
Menurut Guru Besar Bidang Pangan, Gizi, dan Kesehatan IPB University sekaligus Ketua Forum Tempe Indonesia Made Astawan, gejolak kedelai impor jadi momentum bagi konsumen Indonesia untuk mengenal tempe berbahan baku lokal, khususnya kacang-kacangan non-kedelai. Mayoritas kedelai impor dimanfaatkan untuk membuat tempe.
”Selama ini, perspektif terhadap rasa, aroma, dan bentuk fisik yang ada pada konsumen terasosiasi pada tempe berbahan baku kedelai impor. Demi kemandirian pangan, konsumen harus mulai membuka diri terhadap tempe berbahan kacang-kacangan lokal,” ujarnya.
Saat ini produksi kedelai lokal belum mampu memenuhi kebutuhan nasional yang diperkirakan 2,6 juta ton per tahun. Kedelai lokal biasanya langsung terserap di pasar setempat.
Sementara itu, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian menandatangani nota kesepahaman dengan Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia, Gabungan Kelompok Tani, dan sejumlah investor, Senin (4/1/2021). Penandatanganan ini bertujuan meningkatkan kemitraan produksi, pemasaran, dan penyerapan kedelai lokal dari petani.
Menurut Direktur Jenderal Tanaman Pangan Suwandi, bantuan pengembangan kedelai disalurkan ke Sulawesi Utara untuk lahan seluas 9.000 hektar, Sulawesi Barat 30.000 hektar, dan Sulawesi Selatan 9.000 hektar sepanjang 2021.
Ada juga pembangunan kemitraan hiliriasi dan pasar industri tahu-tempe dengan petani Jawa Tengah dengan lahan 15.000 hektar (ha), Jawa Barat 15.000 ha, Jawa Timur 15.000 ha, dan Nusa Tenggara Barat 4.000 ha.
Kementerian Pertanian menargetkan peningkatan produktivitas kedelai dari 1,5 ton per hektar menjadi 2 ton per hektar. Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menambahkan, implementasi program peningkatan produksi kedelai berlangsung dalam 200 hari ini.