Sektor pertanian konsisten tumbuh positif sepanjang triwulan I-III tahun 2020 di tengah pandemi. Namun, sektor penyerap tenaga kerja terbesar ini sejatinya rapuh, tecermin dari segudang problem yang dihadapi pelakunya.
Oleh
Mukhamad Kurniawan
·3 menit baca
Ketika sejumlah sektor terguncang pandemi Covid-19, pertanian menjadi tempat ”pulang” bagi sebagian orang. Sektor ini menampung para pekerja yang ”terlempar” dari sektor lain. Namun, sebagai tempat kembali sekaligus penopang pertumbuhan di tengah resesi, sektor pertanian Indonesia sejatinya masih rapuh.
Berdasarkan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), jumlah tenaga kerja di sektor pertanian mencapai 38,23 juta orang atau 29,76 persen dari total penduduk bekerja pada Agustus 2020. Angka itu naik dibandingkan dengan 35,45 juta orang atau 27,53 persen dari total 128,76 juta penduduk bekerja pada Agustus 2019.
Sektor yang mencakup pertanian, kehutanan, dan perikanan ini masih tercatat sebagai penyedia lapangan kerja terbesar di Indonesia. Selain itu, ketika penduduk yang bekerja cenderung berkurang di tengah tekanan pandemi Covid-19, tenaga kerja di pertanian per Agustus 2020 justru bertambah 2,23 persen dibandingkan pada Agustus 2019.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, peningkatan tenaga kerja di pertanian merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan lapangan kerja lain, sementara industri pengolahan menjadi sektor yang mengalami penurunan jumlah tenaga kerja terbesar. Pandemi Covid-19 memaksa sebagian pelaku usaha mengurangi jam kerja dan sebagian tenaga kerjanya demi efisiensi.
Menurut BPS, sebanyak 29,12 juta tenaga kerja terdampak pandemi Covid-19. Mayoritas di antaranya, yakni 24,03 juta orang atau 82,5 persen, mengalami dampak berupa pengurangan jam kerja. Adapun 1,77 juta orang lainnya berhenti kerja karena dampak pandemi.
Selain itu, ketika sebagian besar sektor terkontraksi, pertanian konsisten tumbuh positif selama tiga triwulan berturut-turut pada tahun ini. Pada triwulan III-2020, pertanian tumbuh 2,15 persen secara tahunan (YoY) ketika perekonomian nasional masih terkontraksi (menyusut) 3,49 persen. Ekonomi Indonesia terkontraksi selama dua triwulan berturut-turut dan menjadi resesi yang pertama dalam dua dekade terakhir.
Akan tetapi, terlepas dari segenap sumbangan itu, pertanian Indonesia masih jauh dari ideal sebagai penopang ekonomi sekaligus penampung terbesar tenaga kerja nasional. Upah buruh di sektor pertanian, misalnya, tercatat hanya Rp 1,91 juta per bulan pada Agustus 2020. Angka ini di bawah rata-rata upah buruh nasional yang tercatat Rp 2,76 juta per bulan.
Fluktuasi harga menjadi problem lain yang masih dihadapi pelaku sektor ini. Harga jual hasil panen berulang anjlok di bawah ongkos produksi sehingga menekan pendapatan dan motivasi petani. Surplus produksi bahkan sering kali berubah menjadi bencana karena karakteristik produk yang mudah rusak, fasilitas rantai dingin belum tersedia atau terbatas jumlahnya, dan industri di hilir belum terbangun.
Segenap permasalahan di hulu, seperti keterbatasan lahan, modal, dan penguasaan teknologi, menekan daya saing. Problem semakin kusut ketika petani mesti berhadapan dengan pasar yang makin terbuka bagi produk impor. Pengalaman bertahun-tahun membuktikan bahwa petani rentan terdampak oleh kebijakan importasi bahan pangan.
Regulasi berorientasi konsumen, seperti penetapan harga eceran tertinggi, juga menekan pendapatan petani. Dengan keuntungan yang mini dan serba tak pasti, pertanian rentan ditinggalkan meski fleksibilitasnya menguntungkan dalam situasi pandemi seperti saat ini.
Sektor pertanian juga rentan terhadap perubahan iklim. Situasi hujan dan kemarau menjadi faktor yang menentukan bagi keberhasilan produksi. Perubahan iklim akan menjadi salah satu tantangan terbesar pertanian.
Kesejahteraan petani masih menjadi isu krusial yang membutuhkan perhatian. Pemerintah memang telah mengupayakannya melalui sejumlah program, seperti korporatisasi yang diharapkan dapat mengefisienkan proses produksi, mendongkrak daya saing produk, dan meningkatkan nilai tawar petani. Namun, sejauh ini hasilnya belum signifikan. Keberhasilan di satu dua kelompok masih perlu diduplikasi dalam skala yang lebih masif.
Isu kesejahteraan petani semestinya menjadi poros sekaligus visi pembangunan sektor pertanian. Sebab, jika para pelakunya tidak kunjung sejahtera, pertanian akan semakin ditinggalkan dan kemandirian pangan terancam. Sebaliknya, jika petani sejahtera, pertanian akan tumbuh berkelanjutan dan kokoh sebagai penopang.