Dalam setiap proses penempatan investasi akan dilakukan asesmen terlebih dahulu. Dana program Investasi Pemerintah dalam rangka Pemulihan Ekonomi Nasional (IP-PEN) itu diharapkan dapat memperbaiki kinerja BUMN penerima.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) menutup tahun 2020 dengan menggulirkan dana program Investasi Pemerintah dalam rangka Pemulihan Ekonomi Nasional atau IP-PEN senilai total Rp 15 triliun bagi tiga badan usaha milik negara. Dana IP-PEN ini ditempatkan dengan membeli surat utang ketiga perusahaan pelat merah itu.
Ketiga badan usaha milik negara (BUMN) itu adalah PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk yang menerima dana investasi Rp 8,5 triliun, PT Kereta Api Indonesia (Persero) Rp 3,5 triliun, dan PT Krakatau Steel (Persero) Tbk Rp 3 triliun. Ketentuan pelaksanaan investasi pemerintah itu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 118 Tahun 2020.
Direktur Manajemen Risiko PT SMI Faaris Pranawa, Rabu (30/12/2020), mengatakan, PT SMI ditugaskan menjadi pelaksana program IP-PEN bagi ketiga BUMN itu. Penempatan dana IP-PEN itu dengan cara membeli surat utang BUMN.
”Dalam setiap proses penempatan investasi akan dilakukan asesmen terlebih dahulu. Dana IP-PEN itu diharapkan dapat memperbaiki kinerja BUMN penerima,” ujarnya dalam telekonferensi pers di Jakarta.
Menurut Faaris, investasi pemerintah itu diberikan secara bertahap sesuai dengan kesepakatan dengan setiap BUMN. Contohnya, investasi pemerintah untuk Krakatau Steel ditempatkan dalam dua termin, yaitu Rp 2,2 triliun pada akhir 2020 dan Rp 800 miliar pada akhir 2021. Hal serupa dilakukan terhadap Garuda Indonesia dan PT KAI yang setiap termin penempatan investasinya masih didiskusikan.
Dalam setiap proses penempatan investasi akan dilakukan asesmen terlebih dahulu. Dana IP-PEN itu diharapkan dapat memperbaiki kinerja BUMN penerima.
Faaris juga menyebutkan, kriteria BUMN penerima IP-PEN itu adalah BUMN yang kegiatan operasionalnya terimbas Covid-19 dan berpengaruh besar terhadap masyarakat. Selain itu, BUMN tersebut menjadi penopang utama aktivitas ekonomi domestik di bidangnya.
PT SMI juga akan mengawasi dan memantau ketiga BUMN itu secara berkala. Pengawasan meliputi kepatuhan membayar pokok bunga, proses pengembalian investasi, serta perbaikan operasional BUMN.
”Adapun terkait model penyelesaian investasi bagi PT KAI, obligasi tidak wajib dikonversi menjadi saham pemerintah. Sementara Garuda Indonesia dan Krakatau Steel wajib mengonversi surat utang menjadi tambahan saham milik pemerintah ketika jatuh tempo,” ujarnya.
Direktur Kekayaan Negara Dipisahkan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Meirijal Nur mengatakan, Kemenkeu telah merealisasikan investasi pemerintah senilai Rp 19,7 triliun untuk lima BUMN. Namun, penyaluran ke BUMN tergantung kesepakatan dengan pelaksana investasi.
Kelima BUMN penerima investasi pemerintah nonpermanen ini adalah Garuda Indonesia, PT KAI, PT Perkebunan Nusantara (Persero), Krakatau Steel, dan Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perumnas). Adapun pelaksana investasi yang ditunjuk pemerintah adalah badan usaha dengan misi khusus (special mission vehicle/SMV) Kemenkeu), yaitu PT SMI, PT Sarana Multigriya Finansial (Persero), dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia.
”Proses berjalan terus. Hari ini semua akan dicairkan ke pelaksana investasi,” kata Meirijal.
Meirijal menambahkan, bentuk investasi pemerintah untuk setiap BUMN berbeda tergantung kondisi neraca keuangan, permasalahan yang dihadapi, dan prospek perbaikan yang direncanakan BUMN. Tidak semua investasi pemerintah berupa obligasi wajib konversi menjadi tambahan saham.
Dihubungi terpisah, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio menuturkan, salah satu risiko dari konversi obligasi menjadi saham tambahan pemerintah akan ada pemegang saham minoritas yang terdelusi. Untuk itu, perlu ada aturan lebih detail tentang ketentuan obligasi wajib konversi.
Salah satu risiko dari konversi obligasi menjadi saham tambahan pemerintah akan ada pemegang saham minoritas yang terdelusi. Untuk itu, perlu ada aturan lebih detail tentang ketentuan obligasi wajib konversi.
”Peraturan yang lebih detail diperlukan, antara lain, untuk mengetahui harga konversi obligasi ke saham dan rasio pertukaran antara obligasi menjadi saham. Hal ini penting agar nantinya tidak dimanfaatkan spekulan,” katanya.
Aturan dalam PMK 118/2020 itu, lanjut Andry, belum mendetailkan skema konversi obligasi menjadi saham atau mandatory convertible bonds (MCB). Umumnya MCB melibatkan pelaku bisnis untuk bisnis (B2B), sedangkan dalam kebijakan investasi pemerintah justru bisnis untuk pemerintah (B2G).