Pandemi berimbas ke produsen pangan dalam negeri, tahun ini. Lesunya permintaan menekan harga dan pendapatan petani. Mereka menempuh segala jalur pemasaran untuk menjual hasil jerih dengan harga layak.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
Di antara seliweran informasi lowongan pekerjaan dan tips profesional, ada konten dagangan ayam potong terpampang di LinkedIn, April 2020. Bukan di lapak e-dagang atau aplikasi pasar pangan daring, penawaran itu muncul di LinkedIn, situs jejaring sosial yang menghubungkan para profesional.
Sang pemilik akun menjual ayam potong bobot 1,5-1,6 kilogram (kg) seharga Rp 30.000 per ekor dan pengantaran khusus di area Boyolali dan Salatiga, Jawa Tengah. Anjloknya harga jual ayam di tingkat peternak menjadi latar belakangnya.
Pada saat yang sama, seorang kawan meneruskan informasi donasi ayam dari sebuah peternakan di Tempel, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, melalui aplikasi LINE. Saat itu, ada 4.500 ekor ayam yang tak terserap pengepul. Alhasil, pemilik peternakan mencari donatur untuk membeli ayam itu dan memberikannya kepada warga yang membutuhkan secara cuma-cuma.
Kedua situasi itu hanya sebagian kecil gambaran kesulitan yang dialami peternak ayam dalam memasarkan hasil produksinya di tengah pandemi Covid-19. Padahal, tanpa pandemi saja, peternak ayam mandiri kerap menghadapi problem serupa dua tahun terakhir.
Menurut Ketua Umum Pengurus Pusat Pehimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Indonesia, Singgih Januratmoko, harga ayam hidup di tingkat peternak anjlok hingga Rp 4.500 per kg-Rp 5.000 per kg. Padahal, ongkos produksinya mencapai Rp 18.000 per kg, sementara Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 7 Tahun 2020 menetapkan harga acuan ayam di tingkat peternak Rp 19.000-Rp 21.000 per kg.
Selain suplai yang dianggap berlebih, pandemi menekan permintaan ayam 40-50 persen, terutama karena aktivitas hotel, restoran, dan kafe lesu. Tak hanya ayam, kebingungan mencari pasar juga dialami peternak sapi perah. Ketua Asosiasi Peternak Sapi Perah Indonesia Agus Warsito memperkirakan, penyerapan susu oleh industri pengolahan turun 20 persen. Dampaknya, sebagian susu tak terserap dan harganya turun hingga Rp 5.000 per liter di peternak.
Petani sayur tak kalah muram. Penawaran sayur dari petani hortikultura berseliweran di media sosial selama pandemi. Mengingat sayur mudah membusuk dalam hitungan hari, penawaran itu membutuhkan tanggapan cepat.
Menurut Ketua Umum Perkumpulan Insan Tani dan Nelayan Indonesia (Intani) Guntur Subagja, penyerapan sayur dan buah lesu karena mayoritas industri hotel, restoran, dan kafe tutup di awal pandemi. Hasil panen petani tak terbeli.
Sementara bagi petani padi, meskipun hasil panennya terserap pasar, mereka belum mendapatkan harga yang layak. Padahal, harga layak menopang kesejahteraan petani sekaligus stimulus bagi produksi periode berikutnya.
Jalan keluar
Ada tiga pemangku kepentingan yang dinilai dapat mengambil langkah strategis sebagai jalan keluar atas problem seretnya penyerapan hasil panen dengan harga yang menyejahterakan produsen pangan. Tiga pihak itu terdiri dari pemerintah, pebisnis, dan konsumen.
Pemerintah bisa mengalokasikan anggaran untuk membeli hasil panen petani dengan harga yang telah mencakup modal dan keuntungan. Tak hanya pusat, pemerintah daerah juga dapat mengambil langkah ini. Langkah pemerintah Tabanan, Bali, dapat menjadi contoh. Pemerintah daerah membeli pangan produksi petani setempat dengan anggaran daerah, lalu mengemasnya menjadi paket bantuan. Paket disalurkan ke keluarga yang membutuhkan.
Pebisnis, khususnya pelaku usaha rintisan, melalui teknologi dapat menjembatani produsen ke konsumen rumah tangga dengan pengendalian kualitas serta sistem distribusinya. Masyarakat memesan lewat aplikasi dari tempat tinggalnya. Namun, langkah ini membutuhkan kolaborasi dengan perusahaan-perusahaan besar yang memiliki sistem pergudangan serta jaringan petani dan distribusi.
Konsumen juga dapat mengambil peran dengan memprioritaskan produk pangan lokal untuk memenuhi kebutuhannya. Upaya membuka akses pasar bagi petani yang tetap bersusah payah di tengah pandemi membutuhkan solidaritas dan kesadaran bersama. Langkah bersama ini menguatkan kemandirian pangan nasional.