Peningkatan daya beli masyarakat akan berdampak ke penjualan usaha mikro, kecil, dan menengah. Ini menjadi kabar baik di tengah lesunya perdagangan selama tahun ini.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 yang berlangsung hampir di sepanjang tahun 2020 menjadi momok bagi sejumlah pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah. Omzet mereka anjlok. Bongkar pasang strategi bisnis dilakukan agar tetap bertahan. Memasuki tahun baru, mereka berharap perekonomian mulai pulih. Orang-orang diharap mulai rajin belanja dan perdagangan bergairah lagi.
Surya Mulyadi (29) tadinya grosir pakaian di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. Ketika pandemi, omzet tokonya turun drastis. Biasanya, omzet toko minimal Rp 7 juta sehari. Namun, selama wabah, omzet hanya Rp 700.000. ”Kadang bisa tak ada pelaris (penjualan pertama) sama sekali,” katanya ketika dihubungi pada Kamis (31/12/2020).
Dalam situasi itu, kebangkrutan terasa kian dekat. Sebelum jatuh lebih dalam, Surya pindah ke Serang, Banten, per Agustus lalu.
Di toko baru, dia mengubah dagangan. Dia tak lagi menjual gamis saja, seperti di Tanah Abang. Dia menaruh semua jenis pakaian untuk remaja ke atas dengan harga selaras dengan kantong kelas menengah bawah. Ia pun pelan-pelan merambah ke e-dagang. Omzet di toko baru ini lebih mendingan dibandingkan dengan di Tanah abang. Dia bisa meraih Rp 5 juta per hari.
”Harapan ke depan semoga perekonomian masyarakat menengah ke bawah membaik dan akan berdampak ke pedagang kecil seperti kami. Kalau kelas menengah ke atas, mereka tentu kebanyakan memilih belanja ke mal,” ujarnya.
Surya juga akan menggencarkan penjualan di e-dagang meski peluangnya kecil. Sebagai pemain baru, dia merasakan betul ketatnya persaingan di lapak daring. Apalagi, dia menjual pakaian umum yang juga dijual oleh pelapak lain.
”Kalau pemain besar atau yang bekerja sama langsung dengan pabrik, mereka bisa menjual di bawah harga saya. Atau dengan margin tipis sebesar Rp 2.000-Rp 3.000. Mereka pemain besar dan modalnya gede. Saya mana kuat begitu,” ucapnya menjelaskan.
Oleh sebab itu, konsumen yang berbelanja langsung ke toko sejauh ini tetap menjadi andalan. Menurut dia, orang baru ingin belanja pakaian kalau urusan makanan sudah terpenuhi. ”Selama kelas menengah bawah masih sulit perekonomiannya, membeli pakaian hanya opsi kesekian dalam deretan daftar kebutuhan,” kata sarjana pendidikan ini.
Di Bekasi, Jawa Barat, pemilik toko bunga palsu De’ Fleur, Mauddy Tridewi Putri (26), berharap vaksin bisa cepat hadir. Dengan begitu, perekonomian mulai pulih dan orang-orang mulai belanja barang-barang tersier, seperti yang dia jual.
”Tahun ini terasa sangat fluktuatif. Di awal Maret, ketika awal pandemi itu, aku merasa orang-orang pada panik dan menahan diri untuk membelanjakan uang untuk kebutuhan enggak terlalu penting. Sebagai penjual barang tersier, ini terasa banget. Apalagi, acara wisuda, pernikahan, dan ulang tahun sempat dilarang juga,” kata lulusan Universitas Indonesia ini.
Mauddy sempat memberhentikan dua pekerja pada Agustus lalu. Keputusan ini dipilih lantaran kas toko tak sanggup lagi membayar gaji. Omzetnya per bulan anjlok 50 persen dari Rp 30 juta. Kini, dia hanya menyisakan seorang karyawan.
Beruntung, di momen Natal 2020 dan Hari Ibu di Desember, pesanan bunga palsu kembali bergairah. Omzetnya pun mendekati normal. Ditambah lagi, pesta pernikahan dan ulang tahun mulai digelar meski dengan pembatasan ketat.
Dia berharap tren perbaikan ini terus berlanjut. Dia menjaganya dengan memperkuat pemasaran. Setiap bulan, dia mengeluarkan sekitar Rp 3 juta untuk biaya iklan. Anggaran itu digunakan untuk membayar selebgram dan memasang iklan platform di media sosial, seperti Facebook dan Instagram.
”Harapannya di tahun depan warga lebih intens membelanjakan uang agar bisa merembes ke UMKM seperti kami. Ini, kan, efeknya berantai. Kalau pesananku ramai, otomatis aku juga akan belanja lebih banyak ke pemasok. Selain itu, opsi menambah karyawan bisa dilakukan apabila omzetnya meningkat,” tuturnya.
Pada triwulan IV-2020, daya beli masyarakat memang sedikit lebih baik.
Berdasarkan data Google Mobility Report, aktivitas masyarakat di tempat-tempat perbelanjaan ritel dan grosir pada Oktober dan November cenderung meningkat dibandingkan dengan bulan-bulan sebelumnya. Kondisi ini mencerminkan daya beli masyarakat yang semakin baik meskipun belum pulih seperti sediakala.
Membaiknya daya beli juga tecermin dari meningkatnya harga-harga barang yang mendorong inflasi pada Oktober dan November 2020 masing-masing 0,07 persen dan 0,28 persen secara bulanan. Meningkatnya aktivitas ekonomi juga tampak dari konsumsi listrik pada Oktober yang naik 1,7 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya seiring naiknya Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur Indonesia dari 47,2 persen pada September menjadi 47,8 persen pada Oktober (Kompas, 16/12/2020).
Sementara itu, pedagang bawang goreng (bagor) Bagor Bulis di Depok, Jawa Barat, Anissa Dini, punya beberapa agenda terkait usahanya tahun depan. Pertama, dia akan mengurus akun Instagram @bagorbulis.
Selama ini, dia promosi lewat akun Instagram pribadi. Dia tak enak sama teman-teman karena story-nya di Instagram sudah membentuk titik-titik lantaran terlalu banyak memuat testimoni pembeli.
Selanjutnya, dia juga harus memikirkan strategi berjualan ketika Ramadhan dan Lebaran di tahun depan. Dia memprediksi pesanan akan meningkat, sementara yang memproduksi bagor saat ini baru dia dan mamanya. Beberapa temannya yang punya usaha juga mengajak kerja sama untuk membuat hampers.
”Aku tertarik, sih, untuk bikin hampers bareng, tetapi masih perlu didiskusikan lebih lanjut. Terus aku sadar banget jualanku ini berkontribusi pada sampah plastik. Jadi, selanjutnya mau bikin gerakan, seperti mengembalikan sekian toples Bagor Bulis nanti dapet potongan sekian untuk pembelian selanjutnya,” tuturnya.