Pemerintah menggelontorkan berbagai insentif perpajakan pada masa pandemi Covid-19. Apakah insentif itu berdampak pada pertumbuhan ekonomi?
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
Berbagai insentif pajak masih akan diberikan pemerintah pada tahun depan, mulai dari penurunan tarif pajak penghasilan badan, pembebasan pajak, pengurangan pajak, pajak ditanggung pemerintah, hingga pajak final bagi usaha mikro, kecil, dan menengah. Namun, apakah relaksasi pajak akan berdampak signifikan bagi perekonomian, terutama pascakrisis akibat pandemi Covid-19?
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021, insentif perpajakan bagi dunia usaha pada pos anggaran penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional (PC-PEN) dialokasikan Rp 20,4 triliun. Adapun estimasi total belanja perpajakan tidak jauh berbeda dari 2019, yakni Rp 257,2 triliun atau sekitar 1,62 persen dari produk domestik bruto (PDB).
SUMBER: BADAN KEBIJAKAN FISKAL KEMENTERIAN KEUANGAN
Rasio Perpajakan terhadap produk domestik bruto.
Pemerintah meyakini, kebijakan perpajakan—dalam hal ini pemotongan, pengurangan, dan pembebasan pajak—dapat mendorong perekonomian tumbuh lebih tinggi. Kebijakan perpajakan akan meningkatkan pendapatan tidak kena pajak sehingga mendorong pertumbuhan konsumsi masyarakat dan ekspansi dunia usaha.
Apakah benar demikian? Harus diakui, sejauh ini pemerintah belum memiliki studi empiris yang membuktikan efektivitas relaksasi perpajakan terhadap peningkatan keluaran atau output perekonomian. Yang jelas, relaksasi perpajakan berimplikasi terhadap peningkatan defisit fiskal karena potensi penerimaan pajak berkurang.
Ada banyak studi empiris yang mencoba membuktikan implikasi penurunan pajak terhadap perekonomian, salah satunya David Ricardo (1772-1823), ekonom neoklasik asal Inggris. Menurut hipotesis Ricardian Equivalence, kebijakan penurunan pajak yang berimplikasi ke defisit fiskal tidak memiliki pengaruh signifikan bagi perekonomian.
Relaksasi perpajakan berimplikasi terhadap peningkatan defisit fiskal karena potensi penerimaan pajak berkurang.
Ricardian mengasumsikan pelaku ekonomi sebagai entitas yang melihat ke arah mendatang dan rasional. Ketika pemerintah menurunkan tarif pajak saat ini, berarti mereka harus membayar pajak lebih tinggi pada masa depan. Akibatnya, pelaku ekonomi lebih memilih menabung ketimbang konsumsi yang pada akhirnya tidak memengaruhi keluaran perekonomian.
Hipotesis Ricardian terbukti di Amerika Serikat. Kebijakan memotong tarif pajak orang-orang kaya yang dilakukan Presiden Donald Trump ternyata tidak berdampak signifikan terhadap perekonomian AS secara keseluruhan, baik konsumsi riil, investasi, maupun kesejahteraan. Pemotongan pajak malah meningkatkan kesenjangan ekonomi masyarakat.
SUMBER: KEMENTERIAN KEUANGAN
Realisasi dan proyeksi penerimaan perpajakan pada 2015-2020. Sumber: Kementerian Keuangan
Dampak kebijakan perpajakan terhadap perekonomian sangat relevan dikaitkan dengan krisis Covid-19. Di Indonesia, salah satu hal yang disorot adalah penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) badan secara bertahap sesuai amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020. Tarif PPh badan turun dari 25 persen menjadi 22 persen pada 2020 dan 2021 kemudian 20 persen pada 2022.
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan mengonfirmasi, potensi penerimaan yang hilang akibat penurunan tarif PPh badan diperkirakan Rp 80 triliun setiap tahun. Ironisnya, potensi itu hilang saat penerimaan pajak tengah tertekan. Pendapatan negara tergerus cukup dalam akibat penurunan aktivitas bisnis selama pandemi Covid-19.
Sebagai gambaran, realisasi penerimaan perpajakan per 30 November 2020 hanya Rp 1.108,8 triliun atau anjlok 15,5 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Realisasi penerimaan itu baru sekitar 59,4 persen dari target APBN 2020 atau 78,9 persen dari target APBN perubahan sesuai Peraturan Presiden No 72/2020.
Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi Indonesia terkontraksi cukup dalam kendati berbagai relaksasi perpajakan telah diberikan. Perekonomian tumbuh minus dua triwulan berturut-turut, yaitu negatif 5,32 persen pada triwulan II-2020 dan negatif 3,49 persen pada triwulan III-2020.
Untuk melihat dampak kebijakan perpajakan terhadap perekonomian, memang tak bisa memakai kacamata kuda. Ditilik dari kendala likuiditas, misalnya, penurunan pajak bisa berdampak signifikan terhadap perekonomian apabila menyasar penduduk berpendapatan menengah-bawah. Mereka akan meningkatkan konsumsi karena pendapatan naik.
Untuk melihat dampak kebijakan perpajakan terhadap perekonomian, memang tak bisa memakai kacamata kuda.
KOMPAS/ALIF ICHWAN
Petugas pajak dari Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Cilandak, Jakarta, Jumat (20/12/2019), melayani wajib pajak yang melaporkan masalah terkait dengan E-Faktur, NPWP PPh, serta surat lainnya. Kantor pelayanan pajak merupakan unit kerja dari Direktorat Jenderal Pajak yang melaksanakan pelayanan di bidang perpajakan kepada masyarakat baik yang telah terdaftar sebagai wajib pajak maupun belum, di dalam lingkup wilayah kerja Direktorat Jenderal Pajak.
Kebijakan penurunan pajak juga bisa berdampak positif apabila dibarengi perluasan basis pajak. Semakin banyak orang membayar pajak, potensi penerimaan yang hilang akan terkompensasi tanpa harus meningkatkan tarif pajak di kemudian hari. Namun, perluasan basis pajak dan keadilan pajak ini masih menjadi tantangan dan pekerjaan rumah bagi Indonesia.