Industri tekfin diyakini akan lebih berkembang jika dinaungi regulasi yang menopang pergerakannya yang cair. Regulasi juga mesti memuat perlindungan konsumen, data pribadi, dan mengantisipasi risiko serangan siber.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah guncangan ekonomi akibat pandemi Covid-19, industri teknologi finansial atau tekfin dinilai mampu menopang pergerakan ekonomi Indonesia. Iklim usaha tekfin diyakini akan lebih berkembang jika dinaungi regulasi yang menopang cairnya pergerakan industri ini.
Pendiri forum diskusi dan analisis kebijakan yang menyoroti perkembangan dunia tekfin, Indonesia Fintech Society (IFSoc), Mirza Adityaswara, menilai, ekosistem tekfin perlu dibangun secara sehat agar berkontribusi optimal terhadap perekonomian nasional. Dengan demikian, manfaatnya bisa dirasakan oleh masyarakat secara optimal.
”Kalau negara ini ingin terus mendapat manfaat digitalisasi ekonomi, ekosistem tekfin harus dibangun sehat. Konsumennya dapat pelayanan, investornya dapat keuntungan, penyelenggaranya dapat ruang untuk berinovasi,” ujar Mirza dalam diskusi virtual Fintech Outlook 2021, Selasa (29/12/2020).
Di sisi lain, perlindungan terhadap konsumen juga mesti disempurnakan, begitu pula perlindungan terhadap risiko teknologinya. Oleh karena itu, IFSoc mengajak pemerintah dan regulaor untuk membuka ruang diskusi sebelum melahirkan kebijakan.
Ia pun mewanti-wanti agar regulasi untuk tekfin dibuat secara cair dan berbasis pada prinsip agar tidak tertinggal dengan perkembangan teknologi yang berlangsung secara cepat.
”Jangan sampai regulasi dibuat, tetapi tahu-tahu teknologinya sudah berkembang lebih cepat, lalu akhirnya inovasinya jadi mandek gara-gara regulasinya yang terlaku kaku,” ujar Mirza.
Kepala Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri menilai, industri tekfin perlu menyiapkan langkah strategis, antara lain, terkait antisipasi risiko serangan siber, pencucian uang, dan risiko penyalahgunaan data pribadi.
Berdasarkan riset Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech), 95 persen dari 154 penyelenggara tekfin mengaku, kurang dari 100 penggunanya mengalami serangan siber pada tahun lalu.
Sejalan dengan riset yang dilakukan Aftech, riset Palo Alto Networks menyebutkan, 66 persen dari 400 responden menilai platfom e-dagang berpotensi dibobol peretas. Sementara 62 persen resonden menyebut sistem pembayaran digital berpeluang diretas.
”Pemangku kepentingan dan kebijakan tekfin di Indonesia harus mulai menyoroti adanya potensi fraud terkait data secara lebih lanjut,” ujar Yose.
Penyelenggara tekfin juga harus mulai bersiap menyesuaikan diri dengan regulasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Data Pribadi (PDP) yang pembahasannya ditargetkan rampung pada 2021.
Regulasi tekfin
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah menyiapkan aturan baru terkait tekfin pembiayaan (peer to peer lending). Beleid itu akan mengatur modal inti, perizinan, dan komposisi minimal untuk pinjaman produktif.
Regulasi itu, lanjut Yose, bakal menyempurnakan Peraturan OJK (POJK) Nomor 77 Tahun 2016. OJK juga menyiapkan aturan baru terkait empat jenis tekfin, yakni agregator, perencana keuangan, penilai risiko kredit (credit scoring), dan pendanaan proyek (project financing).
Selain regulasi terkait RUU PDP dan kebijakan tekfin pembiayaan, proyeksi akan maraknya bank digital pada 2021 turut membuat semakin banyak perusahaan rintisan yang akan berkolaborasi dengan perbankan tahun depan. Regulator semestinya sudah siap dengan ketentuan khusus mengenai bank digital, seperti Pemerintah Singapura yang sudah mengeluarkan lisensi untuk perbankan digital.
”Sampai akhir tahun 2020, setidaknya Singapura telah mengeluarkan empat lisensi bagi bank digital. Kami berharap Indonesia bisa mengatasi ketertinggalannya,” ujarnya.
Akomodasi pemerintah
Steering Committee IFSoc sekaligus Rektor Universitas Atmajaya Agustinus Prasetyantoko mengemukakan, faktor kunci perkembangan tekfin pada 2021 adalah perluasan fungsi tekfin terhadap sistem keuangan pemerintah.
Hal tersebut ditandai inisiasi pemerintah melakukan elektronifikasi transaksi pemerintah daerah (ETP), bahkan sebelum pandemi Covid-19. Momentum pandemi seharusnya dimanfaatkan untuk mempercepat implementasi ETP yang menyangkut distribusi keuangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.
”Memang banyak problem karna pemda punya aturan yang berbeda sehingga untuk menerapkan ETP perlu ada satu upaya penyeragaman dari sisi mekanisme dan teknologi,” kata Prasetyantoko.
Perluasan fungsi tekfin terhadap program pemerintah sebenarnya telah dilakukan lewat program Kartu Prakerja. Sementara program pemerintah lainnya seperti bantuan sosial (bansos) yang disalurkan secara nontunai belum diakselerasi secara maksimal dengan kehadiran tekfin.