Larangan Pesta Kembang Api Tak Redupkan Semangat Mencari Rezeki
Jelang pergantian tahun kali ini, bukanlah hujan yang menjadi penghalang pedagang terompet dan kembang api, melainkan larangan berkerumun selama pandemi.
Oleh
ERIKA KURNIA
·5 menit baca
Hujan rintik yang tidak lama kemudian digantikan panas terik sinar matahari menyelubungi Pasar Pagi Asemka, Roa Malaka, Jakarta Barat, Selasa (29/12/2020) tengah hari. Perubahan cuaca itu tidak membuat Deden (36) ketar-ketir menyelamatkan lapak kembang apinya. Bersama seorang anak buah, mereka tetap memasang badan untuk melayani pembeli.
Perubahan cuaca yang sesaat, baginya tidak seberat kenyataan penjualan kembang api kali ini yang kemungkinan lebih sepi dari tahun-tahun sebelumnya. Kemeriahan pesta pergantian tahun sudah dipastikan akan jauh berkurang di masa pandemi Covid-19. Apalagi pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mencegah kerumunan di libur akhir tahun.
Larangan penyelenggaraan pesta atau perayaan malam pergantian tahun sudah jauh-jauh hari dibuat pemerintah. Kepala Kepolisian Negara RI (Kapolri) pada 23 Desember, misalnya, mengeluarkan maklumat bernomor Mak/4/XII/2020 tentang Kepatuhan terhadap Protokol Kesehatan dalam Pelaksanaan Libur Natal Tahun 2020 dan Tahun Baru 2021.
Maklumat itu, antara lain, melarang adanya pesta penyalaan kembang api. Di DKI Jakarta, larangan ini didukung dengan ditutupnya berbagai tempat wisata dan kawasan publik pada 31 Desember 2020 dan 1 Januari 2021, sebagaimana diamanatkan Instruksi Gubernur Nomor 64 Tahun 2020 dan Seruan Gubernur Nomor 17 Tahun 2020.
Pedagang seperti Deden pun telah ikhlas jika kembang api termahal yang ia jual tidak laku. Seperti tahun-tahun sebelumnya, ia selalu menyetok kembang api premium dengan bola-bola yang bisa meledakkan percikan api berwarna-warni puluhan hingga ratusan kali.
Kembang api yang harganya berkisar antara ratusan hingga jutaan rupiah tersebut biasa dibeli pengelola tempat wisata, hiburan, atau warga yang merayakan pesta besar. Sejak perayaan yang mengundang kerumunan dilarang, pembeli yang datang biasanya hanya mencari kembang api dengan belasan bola-bola atau kembang api lidi, baik grosiran maupun eceran.
”Walaupun tahun ini bakalan sepi, kami tetap ambil momentum aja. Sedikit (pembeli) juga tetap rezeki buat kami,” ujar Deden yang sudah 10 tahun berjualan kembang api di musim libur hari raya dan akhir tahun.
Sama dengan Deden, Jihad juga tetap yakin masih ada keuntungan dari berjualan kembang api di masa sulit seperti saat ini. Di salah satu sisi jembatan kali di kolong Jalan Layang Pasar Pagi, ia membuka lapak dengan seorang rekannya dan seorang anak buah.
Karena penjualan kali ini akan lebih sepi, ia hanya belanja setengah barang dagangan dari biasanya dan hanya mempekerjakan satu tenaga penjual, dari empat biasanya. Hingga beberapa hari jelang pergantian tahun, lapaknya baru menjual 30 persen persediaan.
Pembeli yang kebanyakan mampir dengan berjalan kaki atau dengan motor biasanya hanya membeli dalam partai kecil. Padahal pada periode sama tahun lalu, ia biasanya sudah harus berbelanja lagi. Namun, sampai saat ini kebanyakan barang yang dipajang belum berganti sejak pertama dibeli pertengahan Desember 2020.
”Sehari-hari saya jualan di toko kelontong, yang juga relatif lebih sepi sejak pandemi. Sekarang ini emang sulit (jualan), padahal Tahun Baru harusnya jadi momen ambil untung. Tapi, kalau kita diam aja, ya rezeki enggak akan ngedeketin kita,” ujarnya.
Terompet
Di Pasar Pagi Asemka, penjual kembang api jauh lebih ramai dibandingkan penjual terompet. Jenis terompet yang dijajakan pun semakin sedikit, dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Terompet kertas mengilat yang bisa dibentuk dengan beragam model kini tidak lagi tampak. Terompet berbahan utama plastik seperti terompet dengan tenaga pompa dan gas kini mendominasi. Selain tidak mudah rusak, terompet tersebut mampu mengeluarkan suara nyaring, seperti yang biasa dibunyikan penggemar sepak bola saat menonton pertandingan di stadion.
Salah satu pedagang yang menjual terompet adalah Nina, pemilik Toko Mainan Laupan. Terompet pompa dan gas menjadi barang dagangannya, selain kembang api dan mainan anak lainnya. Secara eceran, terompet pompa dijual dengan harga Rp 15.000 dan terompet gas Rp 50.000.
Nasib penjualan terompet ini pun tidak jauh berbeda dengan kembang api. Sepekan terakhir, Nina hanya dapat menjual 30 persen stok terompet dibandingkan 70 persen seperti tahun sebelumnya. Pengunjung yang membeli dalam jumlah eceran ataupun grosiran lebih sedikit dari biasanya.
”Sejak jualan awal pekan ini, yang beli buat dijual lagi baru ambil tiga karton. Masih bisa dihitung jarilah,” katanya.
Bagaimanapun, Nina berharap, situasi seperti ini hanya sementara. Jika tahun depan pandemi Covid-19 dapat diredakan, nasib penjual terompet atau kembang api tentu bisa cemerlang lagi. Apalagi, dua benda tersebut selalu dicari masyarakat sejak berpuluh-puluh tahun lalu.
Sejak tahun 1960-an, Kompas sudah merekam kemeriahan terompet dan kembang api setiap hari raya atau pergantian tahun. Momen tersebut selalu menghadirkan ratusan pedagang musiman, seperti Deden dan Jihad.
Tidak sedikit juga orang dari luar Jakarta, seperti Tambun di Bekasi, Jawa Barat, dan daerah lain di Pulau Jawa, sampai datang untuk mencari peruntungan rezeki dengan menjajakan terompet atau kembang api.
Pada 1991, Mardi dari Sragen, misalnya, sengaja datang ke Jakarta menjelang Natal dan membuat terompet untuk ikut meramaikan suasana. Dengan modal tak terlalu besar, rata-rata per hari ia bisa menjual 20 terompet dengan harga antara Rp 250 sampai Rp 500 per batang.
Sami, seorang ibu perajin terompet, juga bisa menjual sedikitnya 100 terompet sehari, yang dijualnya kepada pedagang keliling seharga Rp 500 sebatang. Saat itu, penghalang rezeki mereka hanyalah hujan yang bisa menyurutkan semangat orang-orang untuk berpesta di luar ruangan.
Kali ini, para pedagang terompet dan kembang api diuji dengan hadirnya pandemi Covid-19 yang masih sulit dienyahkan dari muka bumi. Namun, yang pasti, mereka tetap semangat mencari peluang mendapat rezeki di masa sulit.