Vaksinasi bukan jawaban satu-satunya untuk menghentikan penularan Covid-19. Protokol pencegahan penularan Covid-19 mesti diterapkan agar risiko penularan dapat ditekan.
Oleh
ENNY SRI HARTATI -- Peneliti Senior Institute for Development of Economics and Finance
·5 menit baca
Pemerintah akhirnya memutuskan akan memberikan vaksin secara gratis kepada seluruh masyarakat Indonesia. Sejak pernyataan Presiden Joko Widodo disampaikan dan memuncaki pembahasan, antusiasme berbagai pihak mencuat. Seolah muncul anggapan bahwa dengan kedatangan vaksin, Covid-19 akan teratasi dengan sendirinya. Bahkan, ada ekspektasi berlebihan, seperti vaksin datang ekonomi melaju kencang.
Padahal, semua tahu, vaksin bukanlah obat. Artinya, penghentian penularan Covid-19 tidak bisa serta merta hanya mengandalkan vaksin. Sejatinya, justru perilaku masyarakat tetap mematuhi protokol kesehatan untuk mencegah penularan Covid-19 merupakan penentu utama. Belum lagi masih banyak masalah krusial dalam pengadaan vaksin, terutama terkait 1,2 juta vaksin Sinovac, mulai dari perdebatan tingkat keamanan dan keampuhan proteksinya (efikasi), ketersediaan alokasi anggaran, hingga efektivitas pola distribusi vaksin kepada seluruh masyarakat.
Sejatinya, justru perilaku masyarakat tetap mematuhi protokol kesehatan untuk mencegah penularan Covid-19 merupakan penentu utama.
Pemerintah mengklaim telah mengalokasikan anggaran vaksin Rp 18 triliun ditambah sisa anggaran pemulihan ekonomi nasional (PEN) kesehatan tahun 2020 sebesar Rp 36,44 triliun. Namun, jika pemerintah memutuskan menggratiskan vaksin kepada seluruh masyarakat, setidaknya harus tersedia 250-300 juta dosis vaksin. Kebutuhan anggarannya bisa Rp 120 triliun. Sementara total belanja kesehatan dalam APBN 2021 justru turun, hanya Rp 169,7 triliun, dibandingkan dengan 2020 yang sebesar Rp 212,5 triliun.
Jika persoalannya hanya pada ketersediaan anggaran, masih memungkinkan dilakukan realokasi dari anggaran Kementerian Pertahanan yang justru naik menjadi Rp 136,99 triliun atau dari anggaran kepolisian Rp 111,9 triliun. Atau pemerintah tidak perlu menggratiskan vaksin untuk seluruh masyarakat. Setidaknya, untuk kelompok pendapatan menengah ke atas, hanya perlu memastikan ketersediaan, tingkat keamanan, dan risiko efek samping vaksin. Selebihnya, kelompok tersebut mampu membeli vaksin dari kantong masing-masing.
Tantangan utama program vaksinasi ternyata tidak hanya terletak pada kepastian ketersediaan anggaran, tetapi juga tingkat kepercayaan masyarakat. Hal tersebut terlihat dari hasil survei Kementerian Kesehatan bersama Komite Penasihat Ahli Imunisasi Nasional (Itagi), Badan PBB untuk Anak-anak (Unicef), dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terkait penerimaan vaksin Covid-19 di Indonesia. Survei dilakukan secara dalam jaringan pada 19-30 September 2020 dengan 115.000 responden dari 34 provinsi.
Sekalipun vaksin disediakan oleh pemerintah, ternyata hanya sekitar 65 persen responden yang bersedia menerima vaksin, 8 persen menolak, dan 27 persen masih ragu dengan rencana pemerintah mendistribusikan vaksin. Tingkat penerimaan vaksin tertinggi, yakni 69 persen, justru dari kelompok kelas menengah, sedangkan terendah dari kelompok miskin, yakni 58 persen. Alasan utama keraguan dan penolakan terhadap vaksin, antara lain, kekhawatiran terhadap keamanan (30 persen), keefektifan vaksin (22 persen), ketidakpercayaan terhadap vaksin (13 persen), kekhawatiran adanya efek samping seperti demam dan nyeri (12 persen), serta alasan keagamaan (8 persen).
Melihat kompleksitas persoalan dan tantangan tersebut niscaya program vaksinasi gratis sekalipun belum mampu menjadi solusi pemulihan ekonomi. Bahkan, jika berbagai tantangan ketidakpercayaan masyarakat tidak segera diselesaikan, pemberian vaksin belum tentu mampu segera menghentikan penyebaran Covid-19. Apalagi, sampai saat ini masih terjadi peningkatan kasus baru.
Ditambah lagi, momentum libur panjang yang diharapkan menggerakkan sektor pariwisata yang kolaps selama pandemi. Pasalnya, risiko potensi penularan kluster baru masih cukup tinggi dibandingkan dengan manfaat ekonominya. Meskipun pengelola tujuan wisata menerapkan protokol Covid-19, kerumunan masyarakat pasti tetap sulit terhindarkan. Setidaknya, saat antrean masuk, membeli makanan, dan aktivitas wisata lain harus benar-benar mematuhi protokol Covid-19. Jika tidak, upaya pengetatan yang sudah dilakukan lebih dari delapan bulan akan sia-sia. Oleh karena itu, sekali lagi, rencana vaksinasi baru sekadar sinyal kemajuan penanganan Covid-19. Jika perilaku masyarakat tetap abai, potensi dan risiko penularan Covid-19 tetap tinggi.
Risiko potensi penularan kluster baru masih cukup tinggi dibandingkan dengan manfaat ekonominya.
Waspada impor
Kendati upaya vaksinasi berdampak pada penanganan dan pengendalian Covid-19, perjalanan pemulihan ekonomi Indonesia masih cukup terjal. Apalagi, jika penanganan Covid-19 masih tersendat-sendat, niscaya pemulihan berbagai aktivitas ekonomi juga sulit kembali normal. Padahal, amunisi utama pertumbuhan ekonomi adalah konsumsi rumah tangga yang bersumber dari pemulihan kegiatan ekonomi sektor riil.
Salah satu indikator utama yang menunjukkan pergerakan sektor riil justru masih terkontraksi. Pertumbuhan kredit perbankan per November 2020 terkontraksi 1,39 persen secara tahunan setelah Oktober 2020 juga negatif 0,47 persen. Sebaliknya, dana pihak ketiga (DPK) yang dihimpun perbankan justru tumbuh tinggi mencapai dua angka. Pada September 2020, secara tahunan, DPK tumbuh 12,88 persen, Oktober 2020 tumbuh 12,12 persen, dan November 2020 tumbuh 11,55 persen.
Berbagai program insentif likuiditas melalui program PEN ternyata tidak cukup mampu menggerakkan sektor-sektor produktif. Penyaluran kredit yang rendah akibat permintaan dunia usaha yang terbatas sekaligus sebagai cermin permintaan atau daya beli masyarakat yang rendah.
Di tengah kondisi daya beli masyarakat yang masih rendah, satu ancaman berat yang harus diwaspadai adalah ledakan impor barang-barang konsumsi. Meskipun neraca perdagangan Mei-November 2020 surplus, tekanan impor barang konsumsi justru meningkat. Secara statistik, porsi impor barang konsumsi relatif kecil, yakni akumulasi Januari-November 2020 hanya 12,93 miliar dollar AS atau sekitar 9,44 persen dari total impor. Namun, jika melihat rincian impor bahan baku/penolong yang mencapai 73,17 persen, sebagian besar adalah barang permintaan akhir atau barang konsumsi.
Di tengah kondisi daya beli masyarakat yang masih rendah, satu ancaman berat yang harus diwaspadai adalah ledakan impor barang-barang konsumsi.
Berbagai produk industri, terutama di sektor elektronika, tekstil dan produk tekstil (alas kaki), aneka industri (sepeda), bahkan industri dasar (besi dan baja), hampir seluruh komponennya berasal dari impor. Banyak merek elektronik dari China, termasuk sepeda dan kebutuhan rumah tangga.
Di satu sisi, produk ”murah” impor dari China tersebut seolah mampu menggerakkan konsumsi rumah tangga. Namun, jika penetrasi produk impor tersebut terus berlanjut, daya tahan dan daya saing industri dalam negeri semakin tersingkir. Artinya, minat dan daya tarik investasi di sektor industri manufaktur juga semakin melemah. Daya tarik omnibus law Cipta Kerja akan sia-sia. Bisa jadi, melalui ratifikasi perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP), penetrasi impor dari China tidak hanya 33,61 persen seperti pada November 2020 dan terus akan meningkat. Demikian juga penetrasi impor gula rafinasi dari India tidak akan memberi ruang terhadap kebangkitan industri gula dalam negeri.
Berbagai program propaganda ”sale” akhir tahun dan tahun baru mestinya tidak menjadi surga bagi produk-produk impor. Sebagaimana angin surga kehadiran vaksin yang membuai harapan dan optimisme masyarakat.
Semoga menteri-menteri baru mampu memenuhi harapan besar masyarakat yang sudah cukup lama bersabar akibat tekanan dampak Covid-19. Selamat bekerja dan menjalankan amanah, serta menjadi harapan baru bagi pemulihan ekonomi Indonesia.