Emiten Kecil Mendominasi Penawaran Saham Tahun 2020
Sentimen pandemi Covid-19 memengaruhi minat terhadap pasar modal. Situasi ini menambah pertimbangan perusahaan beremisi besar untuk melantai di bursa saham.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dana yang dihimpun melalui penawaran umum saham perdana di pasar modal pada 2020 lebih kecil dibandingkan dengan 2019. Penyebabnya, kondisi perekonomian yang serba tak pasti akibat pandemi Covid-19.
Situasi ini mengurangi minat perusahaan emisi besar untuk melantai di bursa saham.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), sampai dengan Senin (28/12/2020), 50 perusahaan tercatat di pasar modal Indonesia melalui skema penawaran umum saham perdana (IPO). Total dana yang dihimpun dari IPO Rp 5,49 triliun.
Tahun lalu, 55 perusahaan IPO berhasil menghimpun dana Rp 14,87 triliun dari investor.
Dari 50 perusahaan yang melantai di bursa saham tahun ini, 32 perusahaan di antaranya meraih dana hasil emisi kurang dari Rp 100 miliar.
Analis senior CSA Research Institute, Reza Priyambada, menilai pasar modal sepi dari investor institusi yang mengincar emisi jumbo di masa pandemi. Hal ini menjadi pertimbangan perusahaan berkapitalisasi besar untuk IPO.
Umumnya, IPO dipilih korporasi untuk menggalang dana melalui penawaran saham. Namun, saat memutuskan IPO, calon emiten mencermati kondisi pasar modal dan kondisi perekonomian, selain mempertimbangkan kondisi internal perusahaan dan industri.
”Tahun ini kondisi pasar modal turun dengan adanya sentimen tambahan dari Covid-19 sehingga turut memengaruhi suasana dan minat pelaku pasar terhadap pasar modal,” kata Reza yang dihubungi Senin.
Namun, saat memutuskan IPO, calon emiten mencermati kondisi pasar modal dan kondisi perekonomian, selain mempertimbangkan kondisi internal perusahaan dan industri.
Nilai emisi paling besar dari IPO tahun ini didapat PT Metro Healthcare Indonesia Tbk (CARE), yakni Rp 1,03 triliun dari IPO pada 13 Maret. Adapun nilai IPO paling mini diperoleh PT Esta Multi Usaha Tbk (ESTA) sebesar Rp 24 miliar pada 9 Maret.
Menurut Reza, dalam kondisi pandemi dan krisis kesehatan saat ini, aksi IPO yang didominasi emiten beremisi di bawah 1 triliun bisa dipahami. Pasalnya, persiapan perusahaan besar untuk menggelar aksi penawaran umum perdana saham tidak sesederhana perusahaan yang relatif lebih kecil.
”Selain itu, perusahaan yang besar lebih punya banyak alternatif pembiayaan dan berbagai strategi pengembangan usaha. Hal yang perlu diperhatikan dengan saksama oleh investor adalah kualitas perusahaan yang melakukan IPO,” ujarnya.
Usaha rintisan
Dihubungi terpisah, Kepala Riset NH Korindo Sekuritas Indonesia Anggaraksa Arismunandar mengatakan, nilai IPO pada 2020 jauh lebih kecil daripada 2019. Namun, dengan berbagai tantangan yang dihadapi pada tahun ini, jumlah emiten yang hampir sebanyak 2019 perlu diapresiasi.
”Hal ini justru sejalan dengan aspirasi otoritas bursa untuk mendorong tidak hanya perusahaan besar untuk IPO, tetapi juga perusahaan rintisan dan UMKM dengan kapitalisasi yang lebih kecil,” katanya.
Berdasarkan data BEI, dari 50 perusahaan yang melakukan IPO pada tahun ini, ada lima perusahaan level kecil-menengah dan usaha rintisan yang tercatat di papan akselerasi.
Lima perusahaan itu adalah PT Planet Properindo Jaya Tbk (PLAN), PT Prima Globalindo Logistik Tbk (PPGL), PT Boston Furniture Industries Tbk (SOFA), PT Cashlez Worldwide Indonesia Tbk (CASH), dan PT Tourindo Guide Indonesia Tbk (PGJO).
Menurut Anggaraksa, ada korelasi antara IPO bernilai emisi kecil dan jumlah investor ritel yang bertambah. Harga saham IPO dengan nilai kecil lebih terjangkau investor ritel. Sementara, investor institusi cenderung fokus pada IPO bernilai besar.
Ada korelasi antara IPO bernilai emisi kecil dan jumlah investor ritel yang bertambah.
Berdasarkan data sistem identifikasi investor tunggal (single investor identification/SID) Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) per 19 November 2020, ada 3,53 juta investor pasar modal. Jumlah itu bertambah 1,5 juta akun sejak awal tahun ini.
Dalam Market Outlook & Trend 2021 MINDS Trading Institute bersama Panin Sekuritas, pekan lalu, analis Panin Sekuritas Nico Laurens mengatakan, pergerakan harga saham berkapitalisasi kecil relatif lebih sulit diprediksi daripada saham berkapitalisasi besar.
”Penguatan dan penurunan harga saham berkapitalisasi kecil dapat terjadi secara signifikan. Imbasnya, investor yang mengoleksi saham-saham tersebut cenderung memiliki horizon investasi jangka pendek,” ujar Nico.
Di sisi lain, saham berkapitalisasi besar merupakan instrumen incaran investor institusi dalam negeri dan luar negeri. Dalam kondisi ekonomi stabil, investor institusi cenderung memiliki horizon investasi jangka panjang.
Pada perdagangan Senin (28/12/2020), Indeks Harga Saham Gabungan ditutup pada posisi 6.093,554 atau menguat 1,41 persen.