Rencana dan penyerapan anggaran memengaruhi kredibilitas APBN.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sisa lebih pembiayaan anggaran negara atau silpa per 30 November 2020 sebesar Rp 221,1 triliun. Nilai yang cukup tinggi ini mengindikasikan permasalahan dalam perencanaan dan penyerapan anggaran.
Jumlah ini meningkat signifikan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pada 2015, silpa sebesar Rp 24,61 triliun. Sementara, pada 2016 senilai Rp 26,16 triliun dan pada 2017 sebesar Rp 25,65 triliun. Pada 2018 sebanyak Rp 36,2 triliun dan pada 2019 sebesar 46,4 triliun.
Peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menyebutkan, silpa meningkat karena ada masalah dalam perencanaan dan penyerapan anggaran. Kendati tidak menimbulkan risiko langsung, peningkatan silpa berpengaruh terhadap kredibilitas APBN.
Ia mencontohkan, di sisi perencanaan, alokasi anggaran kesehatan dalam penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional tidak dirancang optimal untuk menurunkan jumlah kasus Covid-19 terkonfirmasi. Akibatnya, penanganannya berlarut-larut. Kondisi ini diperparah masalah koordinasi antar-kementerian/lembaga dalam penyaluran anggaran.
Kendati tidak menimbulkan risiko langsung, peningkatan silpa berpengaruh terhadap kredibilitas APBN.
Adapun di sisi penyerapan anggaran, sebagian besar belanja kementerian/lembaga, termasuk penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional, baru terealisasi pada semester II-2020. Bahkan, Presiden Joko Widodo berulang kali menegur pihak yang dinilai menahan penyaluran anggaran. Hal ini menyebabkan daya dorong ekonomi berkurang.
”Peningkatan silpa yang signifikan sebenarnya merupakan akibat. Penyebabnya pada perencanaan dan penyerapan anggaran,” kata Yusuf yang dihubungi Minggu (27/12/2020).
Yusuf menekankan, silpa yang tinggi juga membebani APBN di masa mendatang. Silpa diperoleh dari penerbitan surat utang pemerintah yang bunganya tetap harus dibayar kendati dananya tidak digunakan. Beban bunga utang ini akan menggerogoti ruang fiskal sehingga belanja pemerintah yang produktif berpotensi berkurang.
Padahal, belanja pemerintah menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi di masa krisis akibat pandemi. Jika belanja tidak optimal, daya dorong terhadap perekonomian juga tidak maksimal. Konsekuensi ini patut menjadi perhatian, apalagi dalam konteks upaya pemerintah mendorong pertumbuhan ekonomi.
”Tantangan penyerapan anggaran tahun depan masih akan muncul khususnya serapan belanja daerah,” kata Yusuf.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, akhir pekan lalu, menyampaikan, APBN 2020 tertekan luar biasa akibat pandemi Covid-19. Hal ini tecermin dari perubahan postur APBN berdasarkan UU APBN 2020 menjadi Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020. Perubahan postur terjadi di sisi pendapatan, belanja, dan pembiayaan.
Ketidakpastian yang ditimbulkan pandemi Covid-19 menjadi salah satu penyebab silpa per November 2020 sebesar Rp 221,1 triliun. Hal ini tidak terlepas dari realisasi pembiayaan APBN 2020 yang meningkat 162,1 persen menjadi Rp 1.104,8 triliun. Padahal, target pembiayaan dalam Perpres No 72/2020 ditetapkan Rp 1.039,2 triliun.
”Sampai dengan akhir November 2020, pembiayaan anggaran naik 162,1 persen dibandingkan dengan 2019. Oleh karena itu, masih memiliki silpa Rp 221,1 triliun,” kata Sri Mulyani.
Pemerintah pernah menggulirkan wacana reformasi belanja negara yang akan dilaksanakan mulai 2021. Sistem penganggaran akan diubah dan disinkronkan antara pusat dan daerah untuk meningkatkan kualitas belanja.
Sejumlah ekonom telah memperingatkan pemerintah untuk mewaspadai peningkatan silpa akibat penambahan utang. Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, penambahan utang pemerintah merupakan konsekuensi peningkatan defisit fiskal di atas 3 persen PDB.
Penambahan utang pemerintah merupakan konsekuensi peningkatan defisit fiskal di atas 3 persen PDB.
Dalam kondisi krisis pemerintah diminta mengambil peran untuk menanggung risiko. Namun, risiko harus dibarengi strategi perencanaan yang baik. Dana yang dihimpun dari penambahan penerbitan surat utang harus dimanfaatkan optimal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lesu.