Halangi Kapal Cantrang, Nelayan Natuna dan Anambas Mulai Tanam Rumpon
Nelayan di Kepulauan Anambas dan Natuna mulai memasang rumpon untuk menghalangi kapal cantrang beroperasi di perairan 0-30 mil. Protes penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan terus meluas.
Oleh
PANDU WIYOGA
·4 menit baca
BATAM, KOMPAS — Nelayan di Kepulauan Anambas dan Natuna, Kepulauan Riau, mulai memasang rumpon untuk menghalangi kapal cantrang beroperasi di perairan 0-30 mil. Protes terhadap penggunaan alat penangkap ikan yang tidak ramah lingkungan terus meluas, dan diikuti kelompok nelayan dari kabupaten lain.
Sekretaris Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Kepulauan Anambas, Dedi Syahputra, Senin (28/12/2020), mengatakan, warga mulai memasang rumpon di perairan yang berjarak sekitar 20 mil dari garis pantai Pulau Matak. Pemasangan rumpon tetap dilakukan meskipun cuaca sedang buruk dan ketinggian ombak mencapai 2 meter atau lebih.
”Rumpon itu kami gunakan untuk menandai zona tangkap nelayan tradisional di Anambas. Kami tidak mau kapal cantrang dari pantai utara Jawa memasuki perairan 0-30 mil,” kata Dedi saat dihubungi dari Batam.
Pemasangan rumpon itu merupakan rangkaian aksi bersama nelayan di Kepulauan Anambas dan Natuna untuk menolak Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) Nomor 59 Tahun 2020 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) RI dan Laut Lepas. Dalam Pasal 23 Ayat 4 disebutkan, kapal cantrang berukuran di atas 30 gros ton diizinkan beroperasi di Jalur Penangkapan Ikan III WPP 712 Laut Jawa dan zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI) di WPP 711, Laut Natuna Utara.
Permen KP No 5/2020 merevisi Permen KP No 71/2016 yang melarang penggunaan cantrang, dogol, dan pukat udang. Dedi mengatakan, nelayan Anambas sudah tiga kali melakukan unjuk rasa untuk memprotes langkah pemerintah yang tidak konsisten dalam mengatur penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan.
”Kami sama sekali tidak menolak nelayan luar daerah menangkap ikan di Anambas. Yang kami tolak adalah penggunaan alat penangkap ikan yang merusak lingkungan, salah satunya adalah cantrang,” ujar Dedi.
Keresahan serupa juga dialami nelayan tradisional di Natuna. Pada 14 Desember, nelayan lokal menangkap satu kapal cantrang asal Pati, Jawa Tengah, yang beroperasi di perairan yang berjarak kurang dari 8 mil dari Pulau Kepala. Pemilik kapal asal Pati itu kemudian didenda Rp 60 juta karena dituduh cantrang mereka merusak rumpon warga.
Saya harap pemerintah pusat tidak menutup telinga kepada kritik masyarakat terhadap Permen KP No 59/2020. (Bupati Anambas Abdul Haris)
Ketua Aliansi Nelayan Kabupaten Natuna Hendri mengatakan, belajar dari peristiwa di Pulau Kepala itu, nelayan tradisional lalu sepakat memagari zona tangkap mereka dengan rumpon untuk menghalangi kapal cantrang. Bersamaan dengan gerakan di Anambas, kini nelayan Natuna juga memasang sejumlah rumpon di Pulau Selaut.
Menurut dia, pemasangan rumpon di Natuna dan Anambas itu akan dilakukan di perairan yang berjarak 0-30 mil dari garis pantai. Alasannya, perairan 0-12 mil tidak mengandung sumber daya ikan yang bernilai tinggi. Sejak dulu, nelayan Natuna harus melaut paling tidak hingga 30 mil untuk menangkap ikan tongkol dan berbagai jenis ikan karang.
”Langkah pemerintah mengizinkan kapal cantrang beroperasi di perairan yang mencakup zona di bawah 30 mil itu sama saja menghancurkan zona tangkap nelayan tradisional. Penggunaan cantrang akan merusak karang Acropora yang kecil dan rapuh. Karang rusak tentu ikan akan lenyap,” kata Hendri.
Penolakan terhadap Permen KP No 59/2020 juga didengungkan nelayan di Kabupaten Lingga. Ketua DPC HNSI Kabupaten Lingga Distra Wandi mengatakan, kesenjangan ukuran kapal ditambah masalah perbedaan jenis alat tangkap berpotensi membuat kerawanan konflik antarnelayan di perairan Kepri meningkat.
”Saya enggak menyangka pemerintah melegalkan lagi penggunaan alat tangkap yang merusak lingkungan. Hal itu sangat merugikan untuk nelayan Kepri yang tinggal di pulau-pulau kecil dan hidupnya sangat bergantung pada kelestarian ekosistem laut,” ujar Wandi.
Bupati Kepulauan Anambas Abdul Haris mengatakan, penggunaan cantrang mengancam kelestarian sumber daya perikanan yang menjadi cadangan masa depan generasi muda di daerah itu. Ia memohon kepada Menteri KP Sakti Wahyu Trenggono agar mengevaluasi izin penggunaan cantrang yang diatur dalam Permen KP No 59/2020.
”Saya harap pemerintah pusat tidak menutup telinga kepada kritik masyarakat terhadap Permen KP No 59/2020. Kelestarian ekosistem laut sangat penting bagi hidup warga di Anambas yang 98 persen wilayahnya merupakan laut,” kata Abdul.