Dengan memperkaya varian produk, Sulaihan berharap para penikmat bandeng asap tidak lekas bosan, sementara usaha dan dapurnya tetap mengepul. Dia gigih mencari resep agar cita rasa produknya benar-benar ”nendang”.
Oleh
RUNIK SRI ASTUTI
·5 menit baca
Ketidaksengajaan Sulaihan (55) mengikuti pelatihan cabut duri ikan membawa perhatiannya pada bandeng asap. Produk makanan olahan ini menjadi oleh-oleh khas Sidoarjo, Jawa Timur. Namun, agar penikmat bandeng tidak lekas bosan, dia memperkaya varian bandeng asap. Asap dapurnya pun terus mengepul berkat rezeki bandeng asap.
Lahir dan tumbuh besar di Desa Kalanganyar, Kecamatan Sedati, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, membuat Sulaihan akrab dengan ikan bandeng (Chanos chanos). Ikan yang menjadi ikon ”Kota Delta”, julukan Sidoarjo karena berada di delta Sungai Brantas, ini banyak dibudidayakan oleh masyarakat petambak.
Dengan luas tambak yang mencapai sekitar 3.000 hektar, budidaya bandeng bisa dikatakan telah menjadi mata pencarian mayoritas penduduk desa. Orangtua dan kakak Sulaihan juga pembudidaya bandeng. Namun, dia tidak tertarik mengikuti jejak keluarganya dan memilih membuka toko kelontong.
Baru pada tahun 2006 Sulaihan tertarik pada bandeng setelah menjadi koordinator peserta program pelatihan cabut duri ikan dari Desa Kalanganyar. Pelatihan yang digelar oleh Akademi Perikanan Sidoarjo (APS) ini bagian dari upaya mengembangkan usaha budidaya bandeng dan membuka peluang usaha baru.
Seusai pelatihan, Sulaihan dan peserta lain ditantang untuk membuka usaha baru yang mengandalkan keterampilan cabut duri. Dia kemudian membuka jasa cabut duri di toko kelontongnya. Tak disangka, peminatnya banyak, mulai para pemancing ikan, pedagang bandeng segar, hingga pembuat makanan olahan berbahan bandeng.
Desa Kalanganyar memang dikenal sebagai sentra wisata memancing. Banyak tambak bandeng yang dimodifikasi menjadi kolam pancing. Tempat wisata ini ramai pada akhir pekan karena menjadi tujuan orang-orang kota yang ingin pelesiran tak jauh dari rumah. Kemudahan mengolah bandeng tanpa duri justru menjadi daya tarik tersendiri bagi pemancing.
Permintaan jasa cabut duri ikan juga datang dari kota besar seperti Jakarta. Dalam sehari, permintaan bandeng tanpa duri mencapai 100 kilogram sehingga Sulaiman harus merekrut pekerja untuk membantunya. Dari pendapatan usaha cabut duri itulah, dia memiliki modal untuk mengembangkan produk olahan bandeng.
Sejak dulu, Sidoarjo dikenal dengan bandeng asapnya yang lezat. Bandeng berwarna coklat keemasan itu mudah ditemui di toko oleh-oleh yang tersebar di pusat kota maupun di gerai-gerai di Bandara Juanda. Banyak penumpang menentengnya sebagai buah tangan untuk keluarga atau rekan kerja.
Bandeng Sidoarjo memiliki ciri khusus berbibir merah dan berpunggung hitam. Bandeng ini dikenal memiliki rasa gurih, segar, dan tidak bau tanah karena pembudidaya memperhatikan sirkulasi air di tambak dengan baik. Keunggulan itulah yang menggugah selera dan memicu rindu bagi yang pernah mencicipinya.
Seiring dengan berkembangnya pangsa pasar bandeng asap, Sulaihan menciptakan varian baru agar pelanggannya tidak bosan. Ada bandeng asap tanpa duri, bandeng asap presto, dan sambal bandeng asap. Selain berkutat dengan bandeng asap, Ketua Asosiasi Makanan dan Minuman (Asmaminda) Sidoarjo ini juga memproduksi bandeng krispi dan abon duri bandeng.
Bagi sebagian orang, duri ikan bandeng yang jumlahnya banyak menjadi persoalan tersendiri.
Ide bandeng krispi terinspirasi dari ayam krispi yang populer di masyarakat pada tahun 2007-an. Produk ini menyasar generasi muda yang cenderung menyukai makanan cepat saji. Bandeng krispi Sulaihan disajikan tanpa duri. Bagi sebagian orang, terutama anak muda, duri ikan bandeng yang jumlahnya banyak menjadi persoalan tersendiri.
Pantang menyerah
Di awal produksi, produk-produk itu memiliki cita rasa yang jauh dari harapan. Namun, hal itu tidak pernah membuatnya berkecil hati. Sebaliknya, suami Erni Prihati ini semakin gigih mencari resep agar cita rasanya benar-benar ”nendang”. Ikhtiar itu dinilai berhasil ketika para tetangga yang menjuri masakannya memberikan apresiasi.
Dalam kondisi normal, Sulaihan mengolah 30 kilogram bandeng setiap hari atau berkisar 700-900 kg per bulan. Produk hasil olahan itu dipasarkan dengan harga Rp 45.000 per ekor bandeng asap lengkap dengan sambalnya. Bandeng asap presto dijual Rp 49.000 per ekor. Adapun bandeng krispi tanpa duri mulai dari Rp 20.000 per ekor. Abon duri ikan Rp 20.000 per kemasan.
Selain mengurus produksi, Sulaihan juga mengelola pemasaran dan rantai distribusi. Jaringan pemasaran yang dibangun telah merambah sejumlah kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bali, dan Balikpapan. Produknya juga banyak dibawa para pekerja migran ke banyak negara seperti Arab Saudi.
Dalam memasarkan produk, Sulaihan menggunakan merek Maharani Crispy dan D’Bay. Dia juga menggunakan beragam strategi pemasaran dari yang konvensional dengan memajang produk di gerai sendiri dan toko pusat oleh-oleh khas Sidoarjo hingga mengikuti pameran lokal ataupun nasional.
Ayah dua anak ini bekerja sama dengan restoran dan sejumlah ritel modern untuk memperluas pangsa pasar. Namun, belakangan ini dia mengeluhkan sistem konsinyasi yang memberatkan pelaku usaha kecil sepertinya. Itu terjadi karena pembayaran dilakukan dalam jangka panjang sehingga dibutuhkan modal besar untuk menjaga roda usahanya tetap berputar.
Bandeng asap produksi Sulaihan dilekati Indikasi Geografis (IG) dari Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sejak 2019. IG Bandeng asap Sidoarjo yang diusulkan oleh pemerintah daerah ini menjadi IG pertama di Indonesia dengan produk ikan bandeng.
Pelaku usaha yang memegang IG ini dituntut memperjelas identifikasi produk dan menetapkan standar produksi, serta menjamin kualitas sebagai produk asli sehingga memberikan kepercayaan kepada konsumen.
IG bandeng asap Sidoarjo terdaftar di Uni Eropa sehingga berpeluang besar menembus pasar negara-negara di kawasan tersebut. Meski demikian, Sulaihan belum percaya diri menembus pasar ekspor secara langsung. Dia mengaku harus belajar meningkatkan kualitas produk agar mampu bertahan lama secara alami.
Indikasi geografis (IG) bandeng asap Sidoarjo terdaftar di Uni Eropa sehingga berpeluang besar menembus pasar negara-negara di kawasan tersebut.
”Untuk pasar ekspor, idealnya produk olahan bisa bertahan selama enam bulan, bahkan setahun. Selama itu, mutu dan keamanan pangan harus tetap terjaga. Resep inilah yang masih menjadi pekerjaan rumah,” kata Sulaihan.
Selama pandemi Covid-19, permintaan produk olahan bandeng Sidoarjo turun drastis karena penurunan daya beli masyarakat. Selain itu, pangsa pasar terbesar olahan bandeng mengandalkan pembelian oleh-oleh dari pelaku perjalanan, terutama wisatawan domestik. Industri pariwisata juga masih lesu.
Sulaihan berharap, pandemi segera berakhir agar produksi bandeng asap kembali menggeliat. Dia juga terus berkreasi menciptakan produk baru olahan bandeng seperti risoles bandeng agar asap dapurnya terus mengepul.