Teknologi dapat menjembatani antara kebutuhan industri daur ulang dan kebiasaan masyarakat dalam memilah sampah turut mengangkat pekerja informal.
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
Ember sampah terbuka bertengger di depan rumah makan. Tumpukan campuran kemasan plastik, sedotan kertas, sisa daging ayam, hingga nasi menyembul di permukaan. Tangan telanjang manusia dan mesin tampaknya enggan menyentuhnya.
Pandemi Covid-19 membuat sejumlah restoran mengganti alas, wadah, dan peralatan makan sekali pakai yang terbuat dari plastik atau kertas. Idealnya, pelaku industri daur ulang dapat memanfaatkan sampah yang dihasilkan dari peralihan itu sebagai bahan baku.
Sayangnya, bahan baku impor masih berkontribusi. Badan Pusat Statistik mencatat, impor limbah plastik mencapai 150.296,1 ton dan limbah kertas sebanyak 14.569,7 ton sepanjang Januari-Oktober 2020. Jenis kode sistem terharmonisasi (HS) limbah yang diimpor tertera pada Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 92 Tahun 2019 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun sebagai Bahan Baku Industri yang sebagian pasalnya diubah melalui Permendag Nomor 58 Tahun 2020.
Ketua Umum Indonesia Plastic Recyclers Ahmad Nuzuluddin menyatakan, kebiasaan masyarakat untuk memilah sampah dapat memudahkan ekosistem industri daur ulang dan memberikan nilai tambah lebih baik. ”Sayangnya, hal ini masih menjadi tantangan. Masyarakat belum terbiasa memilah sampah sehingga menghambat industri daur ulang berkembang cepat,” tuturnya.
Dia memaparkan, terdapat 50 pelaku industri daur ulang. Industri ini melibatkan lebih dari 3 juta tenaga kerja yang terdiri dari pemulung, pengepul, penggiling, pekerja pabrik, dan pedagang produk daur ulang.
Terdapat 50 pelaku industri daur ulang. Industri ini melibatkan lebih dari 3 juta tenaga kerja yang terdiri dari pemulung, pengepul, penggiling, pekerja pabrik, dan pedagang produk daur ulang.
Tantangan pandemi
Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Novrizal Tahar menyatakan, industri daur ulang nasional juga tengah menghadapi tantangan turunnya harga minyak dunia akibat pandemi Covid-19. Penurunan ini membuat ongkos produksi plastik baru lebih berdaya saing dibandingkan mengolah plastik daur ulang.
Pelaksana Tugas Kepala Subdirektorat Industri Hilir Plastik dan Karet Kementerian Perindustrian Danil Zuhry Akbar mengatakan, bahan baku plastik Indonesia terdiri dari dua macam, yakni virgin dan daur ulang. Bahan baku virgin dari dalam negeri 2,5 juta ton dan impor 3,84 juta ton.
Pada 2019, bahan baku daur ulang yang berasal dari domestik 1,27 juta ton, sedangkan dari impor 767.109 ton. Padahal, rata-rata kapasitas industri daur ulang nasional berkisar 2 juta ton per tahun. ”Artinya, masih ada ruang untuk mengoptimalkan kapasitas tersebut,” katanya.
Persoalan-persoalan tersebut menggambarkan ada jurang antara kebiasaan memilah sampah rumah tangga dengan kebutuhan bahan baku industri daur ulang. Teknologi dari usaha rintisan dapat menjembataninya. Salah satu contohnya adalah kerja sama MallSampah dengan Smart City Nusantara PT Telekomunikasi Indonesia (Tbk) yang melahirkan program MallSampah Smartcity.
CEO MallSampah Adi Saifullah Putra menuturkan, program MallSampah Smartcity menyediakan sistem pengelolaan sampah terpadu skala kota atau kabupaten. ”Sistem ini terdiri dari layanan pengangkutan sampah di tingkat rumah tangga atau fasilitas umum. Pemerintah daerah dapat melacak pengangkutan, daur ulang, dan potensi pencemaran,” katanya saat dihubungi, Minggu (20/12/2020).
Program MallSampah Smartcity menyediakan sistem pengelolaan sampah terpadu skala kota atau kabupaten. Pemerintah daerah dapat melacak pengangkutan, daur ulang, dan potensi pencemaran.
Menurut Adi, pengguna dapat memesan layanan pengangkutan melalui aplikasi. Aplikasi MallSampah seolah meminta pengguna untuk memilah dan memisahkan sampah elektronik, kaleng aluminium, botol kaca, besi dan logam, kertas, serta plastik.
Hal ini dapat membangun kebiasaan masyarakat. Sampah yang sudah terpilah dan terpisah diangkut dan dibawa ke pelaku industri daur ulang yang membutuhkan.
”Program ini secara perdana akan diterapkan di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Kami terbuka dengan setiap pemerintah daerah yang ingin bekerja sama. Sistem dan teknologinya sudah ada. Kini, tinggal menunggu kemauan dari pemerintah daerah,” ujarnya.
Direktur Sustainable Waste Indonesia Dini Trisyanti berpendapat, saat ini cakupan layanan persampahan dari pemerintah terbatas di area metropolitan dan masih mengandalkan kesukarelaan masyarakat. Padahal, masyarakat dan pemerintah mesti mengurangi ketergantungan terhadap tempat pembuangan akhir.
Teknologi yang menjembatani antara kebutuhan industri daur ulang dan kebiasaan masyarakat dalam memilah sampah turut mengangkat pekerja informal. Salah satunya adalah Hermanto (43), mitra pengepul MallSampah.
”Sehari-harinya, saya keliling hotel untuk mengambil sampah yang sudah terpilah. Saya memakai seragam dan topi sehingga merasa seperti pegawai kantor,” ujar Hermanto yang tinggal di Makassar, Sulawesi Selatan, saat dihubungi, Senin (21/12/2020).
Sebelum bergabung di MallSampah, dia keliling dari rumah ke rumah untuk mengangkut sampah. Sampah yang diperolehnya itu belum tentu terpilah, terpisah, dan bersih. Dia mengangkutnya dengan karung goni dan gerobak.
Sehari-harinya, saya keliling hotel untuk mengambil sampah yang sudah terpilah. Saya memakai seragam dan topi sehingga merasa seperti pegawai kantor.
Kini, dia menggunakan mobil bak untuk mengambil sampah. Agar sampah-sampah yang dikumpulkan dapat terlindung dari perubahan cuaca, dia merenovasi gudang pengepulannya dan menambahkan atap.
Kisah Hermanto sejalan dengan harapan Novrizal karena pelaku informal, seperti pemulung dan pengepul, memegang peran kunci dalam tata kelola persampahan Indonesia. ”Kita perlu memaksimalkan kapasitas mereka dan melibatkan mereka dalam ekosistmen yang lebih modern, yakni yang memanfaatkan teknologi dan memperhatikan keselamatan kerja,” katanya.
Sentuhan teknologi membuat sampah terlahir kembali menjadi bahan baku bagi industri. Sentuhan yang sama turut mengangkat daya dan citra pemulung dan pengepul. Kini, sentuhan itu menunggu pemangku kebijakan dan kesadaran masyarakat untuk merengkuhnya.