Pembangunan rendah karbon punya dampak berganda, antara lain, menyerap tenaga kerja, mengurangi subsidi fosil, dan menyelamatkan lingkungan. Namun, bergantung pada niat politik para pengambil kebijakan.
Oleh
ARIS PRASETYO
·4 menit baca
Wacana transisi energi, yaitu meninggalkan energi fosil dan beralih ke energi bersih dan terbarukan, menguat di masa pandemi Covid-19. Pandemi membawa perekonomian global, tak terkecuali Indonesia, ke dalam resesi. Pembangunan rendah karbon dipandang sebagai solusi pemulihan ekonomi yang terpuruk akibat pandemi tersebut.
Pembangunan rendah karbon adalah kebijakan, program, dan pelaksanaan pembangunan yang menghasilkan pertumbuhan ekonomi rendah emisi gas rumah kaca. Model ini sebagai respons atas dampak perubahan iklim, perbaikan kualitas lingkungan, dan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG’s). Pembangunan dengan cara ini menempatkan isu perubahan iklim sebagai basis utama untuk mendukung pilar ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Di sektor energi, pandemi Covid-19 mengubah banyak hal. Permintaan energi fosil menurun drastis. Bahkan, harga minyak mentah minus 37 dollar AS per barel pada akhir April 2020 untuk jenis WTI. Harga batubara juga merosot dari 65 dollar AS per ton pada awal tahun ini menjadi 49 dollar AS per ton akibat permintaan yang anjlok. Perekonomian RI pada triwulan II-2020 tumbuh minus 5,32 persen. Sampai dengan sembilan bulan kemudian belum tampak tanda-tanda ekonomi bakal pulih.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024, ada lima kegiatan prioritas dalam pembangunan rendah karbon. Kelima kegiatan itu adalah pembangunan energi berkelanjutan, pemulihan lahan berkelanjutan, penanganan limbah, pengembangan industri hijau, serta rendah karbon pesisir dan laut. Namun, anggaran negara untuk kegiatan tersebut terbatas.
Berdasarkan catatan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), kebutuhan pendanaan ideal untuk pembangunan rendah karbon di Indonesia Rp 306 triliun per tahun. Saat ini pemerintah menganggarkan Rp 23 triliun-Rp 34 triliun per tahun. Ada selisih yang lebar untuk pembiayaan pembangunan rendah karbon.
Kebutuhan pendanaan ideal untuk pembangunan rendah karbon di Indonesia Rp 306 triliun per tahun.
Padahal, diproyeksikan ada penyerapan 4,4 juta lapangan pekerjaan ”hijau” dalam pembangunan rendah karbon di Indonesia. Dari kelima kegiatan prioritas itu, apabila dilaksanakan, potensi kontribusi terhadap perekonomian nasional di 2030 akan mencapai hampir Rp 600 triliun.
Apa tantangan pembangunan rendah karbon di Indonesia? Salah satunya adalah harga energi fosil yang murah. Pandemi Covid-19 menyebabkan harga komoditas minyak dan batubara dunia jatuh. Padahal, pemanfaatan energi terbarukan selalu dikompetisikan dengan harga energi fosil. Dampaknya jelas, harga energi fosil yang murah membuat publik meminggirkan energi terbarukan.
Apalagi, politik anggaran di Indonesia mendukung pemberian subsidi bagi energi fosil. Misalnya, harga bahan bakar minyak (BBM) jenis biosolar tetap disubsidi Rp 1.000 per liter dan harga premium dengan skema kompensasi kepada PT Pertamina (Persero). Begitu pula tarif listrik yang disubsidi untuk kelompok pelanggan tidak mampu. Di Indonesia, 60 persen listrik diperoleh dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang membakar batubara.
Institute for Essential Services Reform, lembaga kajian di bidang energi dan lingkungan, menilai, pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) atap di Indonesia dapat menyediakan lapangan kerja baru dan mengurangi subsidi listrik secara bertahap. Proyek PLTS atap dengan kapasitas 1.000 megawatt (MW) memerlukan investasi Rp 15 triliun. Sekitar 30 persen dari investasi dialokasikan untuk upah pekerja dengan serapan 20.000 orang.
Apabila proyek itu diterapkan pada 660.000 rumah pelanggan penerima subsidi listrik, PLTS atap mampu menghemat subsidi hingga Rp 727 miliar per tahun.
Dalam dokumen Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), pemerintah menargetkan kapasitas terpasang PLTS pada 2025 sebesar 6.500 MW. Sampai dengan 2019, kapasitas terpasang PLTS, berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), baru 231,9 MW. Proyek hijau itu, selain menyediakan lapangan kerja baru dan mengurangi subsidi, juga dapat mempercepat pencapaian target bauran energi terbarukan pada 2025.
Apakah mungkin? Tak ada yang tak mungkin. Pertanyaannya, sebesar apa komitmen pengambil keputusan untuk merealisasikan pembangunan rendah karbon di Indonesia? Sebab, masalah pembangunan adalah masalah politik. Komitmen dan visi jangka panjang pengambil keputusan sangat menentukan.
Selain itu, isu pembangunan rendah karbon sebaiknya ditarik lebih membumi dan tidak eksklusif. Hal ini tidak mudah. Sebab, masih ada kebutuhan dasar penduduk yang 100 persen belum terpenuhi, seperti masalah pangan, pengangguran, dan kemiskinan. Bahkan, akses terhadap energi belum 100 persen andal dan cukup.
Isu pembangunan rendah karbon sebaiknya ditarik lebih membumi dan tidak eksklusif.
Tugas pemerintah adalah mengorkestrasi persoalan tersebut, yakni bagaimana pembangunan rendah karbon menjadi solusi mengatasi kemiskinan, menjaga ketahanan pangan dan energi, memperbaiki kualitas lingkungan, serta solusi atas pengangguran. Sekali lagi, bergantung pada niat politik para pengambil keputusan.