Mengurus Sertifikasi Halal, UMKM Perlu Pendampingan
Kepemilikan sertifikat halal kian menjadi kebutuhan bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM, khususnya di sektor makanan dan minuman. Namun, dalam pengurusannya, banyak pelaku UMKM butuh pendampingan.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepemilikan sertifikat halal kian menjadi kebutuhan bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM, khususnya di sektor makanan dan minuman. Namun, dalam pengurusannya, banyak pelaku UMKM membutuhkan pendampingan.
Hal ini diungkapkan beberapa pelaku UMKM penjual produk olahan tepung terigu, mi, yang mendapat bantuan sertifikat ketetapan halal dan sistem jaminan halal dari PT Indofood Sukses Makmur Tbk Divisi Bogasari.
Dalam acara virtual Penyerahan Sertifikat Ketetapan Halal dan Sistem Jaminan Halal, Rabu (23/12/2020), Ketua Paguyuban Mie Tunggalrasa Pandiono mengatakan, sertifikasi halal dibutuhkan untuk memberikan nilai tambah dan kualitas pada produk usaha mereka.
Apalagi sertifikasi itu tidak hanya untuk mendapatkan label halal, tetapi juga jaminan keamanan dan kesehatan yang masuk kategori halal, baik di bahan baku maupun kualitas dapur produksi.
Sayangnya, pelaku usaha kecil kerap takut dengan berbagai istilah birokrasi dalam pengurusan sertifikasi halal akibat kurangnya sosialisasi dan pemahaman.
”Seperti kata ’audit’. Kami membayangkannya itu sangat ’wah’. Tapi, setelah dapat penjelasan kalau audit itu hanya kunjungan untuk penilaian, kami baru paham dan tidak berpikir untuk mundur,” tuturnya.
Sementara itu, pemilik usaha mi kering Janur Kuning, Sunarto, mengungkapkan, informasi mengenai biaya pengurusan sertifikasi juga kerap menjadi penghalang bagi pelaku UMKM.
”Pengalaman waktu bikin pabrik mi kering, saya pernah bertanya pengurusan izin halal. Ketika saya tanya-tanya, ada yang bilang biayanya sampai Rp 12 juta. Padahal, ternyata, kalau urus sendiri, biayanya hanya ratusan ribu rupiah dengan bantuan pemerintah,” ujarnya.
Dengan berbagai kendala pemahaman tersebut, UMKM perlu mendapat sosialisasi dan pendampingan lebih jauh. Apalagi, sertifikat halal yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) bukan sekadar pencantuman label halal pada kemasan produk.
Untuk membantu UMKM mendapatkan sertifikasi halal, Bogasari memberikan bantuan pendampingan pengurusan sertifikat secara virtual kepada 50 UMKM sepanjang 2020. Jumlah pelaku usaha yang dibantu dua kali lipat dibandingkan dengan hanya 20 UMKM pada 2019 saat program bantuan tersebut mulai diadakan.
”Bogasari berkomitmen menjaga keberlangsungan dan peningkatan usaha para UMKM, apalagi di tengah pandemi Covid-19 ini,” kata Wakil Kepala Divisi Bogasari Erwin Sudharma. Sebanyak 50 UMKM yang dibantu tahun ini tercatat menyerap total tenaga kerja sekitar 5.300 orang.
Lokasi usaha para UMKM tersebar di Jakarta, Tangerang, dan Bekasi (Jatabek), hingga beberapa kota di Jawa Timur, yakni Surabaya, Malang, Kediri, Sidoarjo, Banyuwangi, Pasuruan, Ponorogo, dan Madiun.
”Semua biaya pengurusan halal yang dibutuhkan dengan angka sekitar Rp 135 juta ditanggung Bogasari. Kami bersyukur kali ini bisa bantu sampai 50 UMKM. Kiranya ini dapat meningkatkan usaha para UMKM karena akan berpengaruh terhadap kepercayaan konsumen dan perluasan pasar para UMKM,” lanjut Erwin.
Selain untuk mendukung pengembangan usaha pelaku UMKM, bantuan seperti ini juga diharapkan bisa membantu menggerakkan perekonomian negara, termasuk melalui penjualan produk makanan dan minuman halal.
Di Indonesia, konsumsi produk makanan dan minuman halal, menurut data Global Islamic Economy 2018/2019 pada 2017, mencapai 170 miliar dollar AS. Adapun pada 2018, konsumsinya sekitar 214 miliar dollar AS.
Ini menjadikan Indonesia sebagai konsumen terbesar dibandingkan dengan negara Muslim lainnya. Secara keseluruhan, konsumsi makanan halal penduduk dunia mencapai 1.303 miliar dollar AS sepanjang tahun 2017.