Peluang Baru Pencari Kerja di Tengah Dunia yang Berubah
Pandemi Covid-19 dan perubahan arah pasar ketenagakerjaan di era digital menghadirkan tantangan berat pada pencari kerja. Siapa yang akan memenangi kompetisi?
Oleh
BUDI SUWARNA DAN ESTER LINCE NAPITUPULU
·4 menit baca
Tanpa ada pandemi Covid-19, tantangan untuk mendapatkan pekerjaan sebenarnya sudah berat. Betapa tidak, pasar kerja di era digital telah bergerak ke arah yang baru. Meski begitu, sejarah mengajarkan kepada kita bahwa perubahan paling dahsyat sekalipun selalu menawarkan peluang.
Setahun terakhir, pasar ketenagakerjaan mengalami guncangan hebat akibat pandemi Covid-19. Perusahaan yang terdampak pandemi menjalankan kebijakan pemutusan hubungan kerja atau merumahkan pekerja agar bertahan dari krisis. Jumlahnya, menurut Kementerian Ketenagakerjaan, lebih dari 3,5 juta orang per 31 Juli 2020.
Sebagian pekerja yang terkena kebijakan ini masuk ke sektor informal, sisanya menjadi pengangguran. Biro Pusat Statistik (BPS) mencatat ada sekitar 2,6 juta penganggur baru sehingga angka pengangguran per Agustus 2020 menjadi sekitar 9,77 juta orang. Sebanyak 1,2 juta di antaranya lulusan akademi dan perguruan tinggi.
Di sisi lain, jumlah lowongan pekerjaan baru makin menciut. Sebagai ilustrasi Jobstreet Indonesia mencatat, jumlah lowongan pekerjaan yang tersedia di situsnya turun sekitar sepertiga dibandingkan sebelum pandemi yang mencapai 30.000-an per bulan. Dalam kurun Maret-Mei 2020, jumlah lowongan pekerjaan tinggal 8.000-10.000 per bulan. Turunnya permintaan pasar kerja akibat pandemi juga tecermin dari data BPS yang menunjukkan merosotnya persentase pekerja formal dari 44,12 persen (Agustus 2019) menjadi 39,53 (Agustus 2020).
Bagaimana prospek ketenagakerjaan pada 2021? Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani, Oktober lalu, telah memberi sinyal bahwa pengusaha masih akan meneruskan efisiensi agar bisa pulih dari krisis akibat pandemi. Dia memperkirakan, jumlah pekerja formal di Indonesia akan berkurang 5-30 persen pada 2021.
Situasi ini membuat ketimpangan antara pasokan dan penyerapan tenaga kerja akan kian lebar, terlebih setiap tahun ada tambahan angkatan kerja baru sebanyak 2,25 juta orang.
Pandemi sebenarnya bukan satu-satunya faktor yang mengubah peta pasar ketenagakerjaan. Jauh sebelum pandemi Covid-19, peta ketenagakerjaan telah berubah perlahan tetapi pasti mengikuti gerak industri yang mengarah ke era otomasi, baik di tingkat global maupun lokal. Perubahan ini akan menghilangkan banyak pekerjaan sekaligus menawarkan pekerjaan baru. Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum) memperkirakan, pada 2025, sekitar 85 juta pekerjaan akan digantikan mesin. Di sisi lain, akan muncul 95 juta pekerjaan baru.
Proses berkurang dan bertambahnya permintaan pekerjaan tertentu sudah bisa dilihat sejak 2-3 tahun yang lalu. Jika kita memeriksa situs-situs lowongan pekerjaan, kita akan mendapati pekerjaan yang tersedia banyak terkait dengan dunia digital.
Hal ini juga terekam dalam laporan The Future Jobs 2020 versi Forum Ekonomi Dunia. Menurut laporan itu, pada 2020, ada 20 jenis pekerjaan yang permintaannya di pasar kerja meningkat, terutama pekerjaan terkait teknologi digital. seperti data scientist/analyst, spesialis kecerdasan buatan, specialis bigdata, insinyur robotik, pengembang peranti lunak, dan analis keamanan informasi. Sementara itu, ada 20 jenis pekerjaan yang permintaannya di pasar kerja menurun, antara lain peng-input data, sekretaris, teller bank, pekerja konstruksi, dan spesialis sumber daya manusia.
Tuntutan dunia kerja juga semakin kompleks. Tenaga kerja di era digital tidak hanya dituntut memiliki kemampuan teknis, tetapi juga dituntut memiliki karakter, seperti fleksibel, tahan stres, berpikir kritis dan analitis, inovatif, kreatif, berpengaruh secara sosial, bekerja keras, rajin, mau belajar, serta pantang menyerah.
Suka tidak suka, inilah tuntutan pasar kerja di era digital yang mesti dipenuhi oleh pencari kerja dan bahkan mesti dikejar oleh orang yang telah memiliki pekerjaan agar tetap kompetitif.
Namun, era digital tidak hanya mengubah pasar ketenagakerjaan, tetapi juga memberi banyak kesempatan untuk membuka lapangan pekerjaan sendiri. Selama pandemi, kita bisa melihat banyak orang mencetak uang dengan berjualan produk dan jasa melalui internet. Salah satunya dilakukan Novia Rahma (22), mahasiswa Akuntansi UGM.
Ketika ia melihat mahasiswa berbondong-bondong pergi meninggalkan indekos selama pandemi, ia dan teman-temannya membuat usaha rintisan Beresin Kosmu yang menawarkan jasa pembersihan kamar indekos yang ditinggal penghuninya. Usaha rintisan itu menghasilkan uang Rp 3 juta sebulan.
Jadi, siapakah yang akan bertahan di era digital? Tentu saja mereka yang memiliki kemampuan, karakter yang sesuai dengan tuntutan era digital, serta mereka yang jeli memanfaatkan peluang. Sekecil apa pun! (LITBANG KOMPAS)