Tingkatkan Cakupan Kepesertaan, Pemerintah Harus Tegas
Per November 2020, dari total 92,45 juta pekerja yang seharusnya jadi peserta, baru 55,98 persen pekerja yang terdaftar sebagai peserta program jaminan di BP Jamsostek. Sejumlah program akan bergantung data tersebut.
Oleh
Agnes Theodora
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah kebijakan penting pemerintah pada tahun 2021, seperti program bantuan subsidi upah, Jaminan Kehilangan Pekerjaan, dan vaksinasi, akan bergantung pada pendataan BP Jamsostek. Persoalan utama kepesertaan yang belum maksimal harus segera dibenahi agar terobosan program perlindungan sosial ke depan bisa mencakup seluas-luasnya masyarakat.
Data BP Jamsostek, per November 2020, cakupan pekerja yang tergabung dalam kepesertaan masih minim. Dari total 92,45 juta tenaga kerja Indonesia yang seharusnya menjadi peserta, baru 51,76 juta orang atau 55,98 persen pekerja yang terdaftar dan terlindungi. Jumlah itu terdiri dari 39,65 juta pekerja penerima upah, 2,79 juta pekerja bukan penerima upah, dan 8,89 juta pekerja jasa konstruksi.
Kepesertaan yang minim itu menjadi masalah, mengingat sejumlah program dan kebijakan penting tahun depan akan mengandalkan data BP Jamsostek. Setidaknya, ada tiga program, yakni kelanjutan bantuan subsidi upah bagi pekerja dengan gaji di bawah Rp 5 juta, program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk pekerja korban pemutusan hubungan kerja, dan pendataan penerima vaksin.
Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar mengatakan, masalah utama dalam penyelenggaraan jaminan sosial harus segera dibenahi agar berbagai program penting pada 2021 bisa mencakup masyarakat seluas-luasnya. ”Jika persoalan dan kepesertaan itu tidak diatasi, seluruh program sosial yang didasari pada data BP Jamsostek berpotensi tidak tepat sasaran,” katanya saat dihubungi, Senin (21/12/2020).
Menurut Timboel, pemerintah harus terlebih dahulu fokus mengatasi persoalan data kepesertaan serta melakukan penegakan hukum yang tegas kepada perusahaan yang melanggar kewajiban karena tidak mendaftarkan pekerjanya di BP Jamsostek.
Pasal 55 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial mengatur, pemberi kerja yang tidak membayar dan menyetorkan iuran yang menjadi tanggung jawabnya kepada BPJS dipidana penjara paling lama 8 tahun atau dijatuhi denda paling banyak Rp 1 miliar.
Timboel mengatakan, pemerintah dapat menggandeng Kepolisian Negara RI dan Kejaksaan RI untuk menindak perusahaan yang mengabaikan hal itu. Di sisi lain, BP Jamsostek juga harus membolehkan pekerja untuk mendaftarkan diri sendiri jika perusahaannya lalai.
”Demikian juga untuk pekerja informal, mereka harus diberi sosialisasi, serta kemudahan akses pendaftaran dan pembayaran iuran agar ikut menjadi peserta jamsos,” kata Timboel.
Di kemudian hari, pekerja informal semakin relevan untuk tergabung dalam kepesertaan BP Jamsostek. Sebab, akibat pandemi Covid-19, jumlahnya kini berlipat ganda. Data Badan Pusat Statistik, per Agustus 2020, jumlah pekerja informal melonjak 60,47 persen menjadi 77,68 juta orang.
Pekerja rentan
Direktur Kepesertaan BP Jamsostek Ilyas Lubis mengatakan, pihaknya saat ini sedang menyiapkan tahapan dan langkah menuju program perlindungan sosial kepada seluruh pekerja tanpa perlu terkendala kesulitan finansial (universal coverage).
”Kami mengharapkan semesta BP Jamsostek ini bisa melindungi lebih banyak lagi pekerja bukan penerima upah (informal). Untuk pekerja penerima upah (PU), kita relatif sudah lebih baik, tetapi yang berstatus bukan penerima upah ini yang masih menjadi tugas besar,” kata Ilyas.
BP Jamsostek menargetkan, pada 2021, kepesertaan meningkat menjadi 62,36 juta atau 80 persen dari pekerja formal berstatus PU. Sementara pekerja BPU atau pekerja informal yang menjadi peserta diharapkan naik hingga mencakup 15 persen dari total pekerja BPU, dan pekerja di sektor jasa konstruksi diharapkan bisa terlindungi sepenuhnya 100 persen.
”Kami juga memikirkan, sudah saatnya kelompok pekerja rentan bisa mendapat bantuan iuran seperti di BPJS Kesehatan. Sebab, banyak pekerja rentan yang kemauannya untuk dilindungi itu ada, tetapi kemampuannya untuk membayar iuran itu belum cukup,” kata Ilyas.
Subsidi upah
Sejalan dengan hal itu, program bantuan subsidi upah yang saat ini masih menyasar pekerja berstatus PU diharapkan juga bisa semakin luas. Bantuan subsidi upah yang akan dilanjutkan pada tahun 2021 diharapkan menyasar pekerja bukan penerima upah. Pihaknya juga sedang memperdalam evaluasi data upah pekerja yang dilaporkan perusahaan untuk bantuan subsidi upah.
”Kami lakukan pengecekan ulang dengan lembaga lain. Kalau ada yang data upahnya terindikasi tidak benar, kami tahan dulu. Ini yang menyebabkan mengapa penyaluran di tahap pertama sudah dilakukan, tetapi di tahap kedua belum, karena masih kami dalami lebih lanjut,” ujarnya.
Anggota Dewan Pengawas BP Jamsostek, Rekson Silaban, mengingatkan, jaminan sosial menyangkut hak asasi manusia untuk hidup layak. Oleh karena itu, negara harus menjamin kesejahteraan dan perlindungan untuk semua warga negaranya. Kepesertaan program jaminan sosial tidak bisa dianggap remeh karena jaminan sosial dapat menjadi stabilisator saat krisis ekonomi.
Kepesertaan jaminan sosial yang merosot selama pandemi karena banyaknya pekerja yang di-PHK juga menjadi lampu kuning. Hanya dalam waktu beberapa bulan, capaian kepesertaan BP Jamsostek kembali merosot. ”Negara yang cakupan jaminan sosialnya di atas 50 persen bisa cepat lolos dari krisis. Jika kita tidak berbenah, saat pandemi selesai pun, pemulihan ekonomi kita akan butuh waktu lebih panjang,” kata Rekson.